Video berikut adalah dokumentasi wawancara antara Arham Rahman dan Akiq Aw. dengan Halim HD di Studio Plesungan, Surakarta, Jawa Tengah. Wawancara dilakukan sebagai bagian dari Festival Arsip IVAA 2017.
Halim Hardja atau Halim HD atau Liem Goan Lay merupakan seorang pemerhati kebudayaan, penulis, kritikus sastra, dan networker yang akrab dengan kerja-kerja manajemen seni. Sejak kecil pria kelahiran Serang, Banten pada 25 Juni 1952 ini sudah akrab dengan dunia kesenian, khususnya sastra dan pementasan drama. Keakrabannya ini juga didukung oleh koleksi buku bacaan yang ada di perpustakaan pribadi orang tuanya. Konteks ini kemudian mempengaruhi dinamika Halim ketika hidup di Yogyakarta. Ia selalu mengikuti acara-acara Kaum Urakan yang dibentuk oleh W.S. Rendra dan Arief Budiman. Perkenalannya dengan Arief Budiman kemudian membawanya untuk bertemu Ariel Heryanto, dan bersama-sama membentuk sarasehan bertajuk Sastra Kontekstual di Taman Budaya Jawa Tengah pada 1984.
Selain itu, beberapa aktivitas yang ia lakukan adalah menjadi editor Antologi Bulaksumur-Malioboro (1975), pengorganisasian workshop teater bersama Philippines Educational Theater Association (PETA) (1983-1988), dosen tamu di Universitas Michigan (1989-1992), asisten penelitian Benedict Anderson, pembicara dalam Konferensi Studi Indonesia-Asia di Melbourne, Australia (1998), penata produksi Takeya Contemporary Dance Company di Solo (1995), dan Makassar Arts Forum.
Di dalam video ini, Halim bicara banyak seputar dinamika pengorganisasian kesenian, khususnya dalam hal jaringan. Bahwa hubungan jejaring kerja kesenian kita bergerak di dalam konteks masyarakat primordial; selalu bergantung pada beberapa figur penggerak. Artinya, figur telah menjadi simbol dari masing-masing simpul jaringan. Bukan bermaksud untuk mengunggulkan figur-figur tertentu, Halim HD justru ingin menekankan penerjemahan karakter masyarakat modern ke dalam konteks masyarakat yang telah disebutkan. Bahwa kerja berjejaring dilandaskan atas kerja organ. Selayaknya tubuh, semua elemen saling terkait secara fungsional. Keterkaitan ini diperkuat dengan hubungan personal, mengutamakan praktik tutur dari mulut ke mulut (bukan hanya teknologi komunikasi sosial media) dan kesamaan ketertarikan tema atau isu tertentu. Dan bukan tanpa maksud praktis, mekanisme ini mampu memotong biaya produksi serta manajemen kegiatan seni-budaya. Halim juga mengatakan bahwa bentuk kerja-kerja kebudayaan yang ‘diformalkan’, yang cenderung khawatir dengan uang, barangkali tidak punya aspek spekulatif dan imajinatif.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Juli-Agustus 2019.