Bentara Budaya Yogyakarta
14-22 Juli 2018
Bentara Budaya Yogyakarta
14-22 Juli 2018
Oleh: Hardiwan Prayogo
Layang-layang berukuran 2,7 meter berdiri gagah di depan ruang pameran Bentara Budaya Yogyakarta. Layang-layang ini berjudul ‘Kumbakarna Bela Negara’, karya Iskandar. Pameran lukisan duo wayang, Iskandar dan Agus Nuryanto ini berjudul Buka Tutup bertempat di Bentara Budaya Yogyakarta 14-22 Juli 2018. Sejujurnya, menghadiri pameran bertema wayang, terbayang dalam benak adalah gambaran kisah-kisah dan nasihat-nasihat filosofis. Menariknya, bagaimana kisah-kisah ini diwujudkan dalam pameran seni rupa, dalam karya rupa yang statis. Iskandar yang banyak menggunakan medium lukis kaca, lukisan berjudul ‘Serakah’, menggambarkan sosok raksasa yang menghisap gunungan. Lukisan lainnya berjudul ‘Pasar’, menggambarkan Semar dan Punokawan berada di keramaian pasar. Karya Iskandar banyak menggunakan warna-warna yang mencolok. Selain itu, Iskandar juga memamerkan ‘Wayang Uwuh’, wayang berbahan botol mineral dan kardus bekas, karya ini diberinya judul ‘Dilepas Diikat‘.
Jika iskandar hadir dengan wayang uwuhnya, beda lagi dengan Agus Nuryanto. Agus menampilkan figur wayang yang disebutnya sebagai ‘Wayang Jewer’. Alhasil, wayang tampil dalam presentasi yang berbeda (lihat gambar). Paling kentara dalam lukisannya berjudul ‘Pandawa 5’, lukisan 5 panel di atas tutup tong/drum dengan diameter masing-masing 55 cm. Juga lukisan berjudul ‘Face’, berisikan 21 panel di atas tutup tong/drum berdiameter 30 cm. Agus lebih banyak menyandingkan figur wayang dengan persoalan masa kini. Terlihat dalam lukisan ‘Love’, mewujudkan sosok figur wayang perempuan memegang selembar uang 1000 rupiah. Kemudian lukisan ‘Keinginan’, tentang raksasa dengan background gedung tinggi dan langit jingga.
Wayang uwuh dan wayang jewer dalam pameran menjadi upaya dari kedua seniman untuk mem-‘Buka Tutup’ kisah masa lalu yang dikontekstualisasi dengan masa kini. Kisah masa lalu yang seolah ditutup, namun dibuka kembali dengan dengan narasi masa kini. Setidaknya demikian yang ingin diartikulasikan dalam pameran ini, tertulis pula dalam catatan pameran yang ditulis Ons Untoro. Juga disebutkan bahwa kedua seniman kali ini memamerkan ‘pertunjukan wayang’. Melalui keberagaman macam medium namun dengan keseragaman corak, yaitu wayang. Tentu wayang ini dihadirkan oleh kedua seniman dengan interpretasi yang berbeda.
‘Pertunjukan wayang’ rupanya hadir kembali di antara bulan Juli-Agustus ini. Berlokasi di Tahunmas Artroom, pameran lukis kaca bertajuk Berkaca Pada Kaca berlangsung selama 4-10 Agustus 2018. Hampir seluruh seniman yang tergabung dalam kelompok lukis kaca Gedah Sinangling ini, menggunakan sosok wayang dalam karyanya. Meski corak wayang bukan sosok yang terhitung asing muncul dalam karya seni rupa, lukis kaca bukanlah medium yang populer digunakan pada karya seni rupa sekarang. Menengok ke belakang, Hermanu dalam tulisan pengantar pameran, menyebutkan bahwa lukisan kaca yang identik dengan corak tradisional sudah marak sejak 1937 di Yogyakarta. Penelitian terhadap ini dilakukan oleh J.H. Hooykaas-Van Leeuwen Boomkamp, dengan menyambangi toko souvenir hingga pasar malam sekaten. Dia membagi gambar kaca dalam 3 tema, antara lain Wayang Purwa, Legenda Rakyat, dan gambar kaca Islami. Pameran yang diinisiasi oleh kelompok seniman lukis kaca Gedah Sinanggling dan disponsori Dinas Kebudayaan Provinsi Yogyakarta ini ingin kembali menunjukan kekhasan dari lukis kaca.
Sedikit banyak tidak berbeda dengan pameran Buka Tutup, lukis kaca memang cukup identik dengan tema wayang. Baik wayang dengan cerita asli tentang pewayangan, hingga wayang sebagai kritik sosial kehidupan masa kini. Lukis kaca dengan objek wayang sebagai kritik sosial muncul dalam karya Subandi Giyanto dan Agus Nuryanto. Selain itu, Rina Kurniyati melukis realis roda hingga spion mobil, lukisan wayang beber dengan detail isen-isen rumit dari Primadi Priyo Laksono dan Rapanda, Titis dengan gambar ikan koi, Bajra Bagaskara yang melukis ‘Anoman Obong’, komik 4 panel karya Prasetia Pradana, dan berbagai eksplorasi lukis kaca lainnya. Total ada 12 seniman yang ikut pameran pada kesempatan ini.
Timbul Raharjo yang juga menulis catatan pameran, menyebutkan pameran ini merupakan upaya membangun literasi yang dinilai langka dalam bidang seni lukis kaca. Pertanyaan lebih lanjut adalah, kenapa perlu dibangun literasi dalam bidang seni lukis kaca? Apa yang dimiliki oleh medium ini dan tidak dimiliki oleh medium lainnya?. Alih-alih hanya menitikberatkan pada pilihan medium, Pameran Berkaca pada Kaca sebenarnya bisa beranjak lebih jauh dari menjadikan momentum ini ajang berefleksi diri (sebagaimana kaca secara fungsional bisa digunakan sebagai cermin). Pameran seni rupa menjadi ajang refleksi diri tampaknya menjadi narasi yang banal. Di lain hal, dominannya sosok-sosok wayang yang dilukis dengan teknik sungging dan isen-isen yang rumit sebenarnya mampu membuat lukis kaca menemukan posisi yang lebih krusial. Sosok-sosok yang kerap diidentikan dengan terma ‘tradisional’ ini dikreasikan ulang dengan konteks yang lebih aktual. Apa yang disebut tradisional pun selalu melalui berbagai persilangan yang rumit. Persilangan ini juga ada dalam tataran teknis, dari pilihan medium pada kaca, pencampuran cat/ warna, berpadu dengan teknik sungging dan isen-isen yang biasa muncul dalam wayang kulit. Nampaknya ada upaya dari seniman untuk melampauinya lebih dari sekedar objek dan teknis kebendaanya saja.
Dualitas antara benda dan pikiran akan selalu melekat dalam terma apapun, termasuk tradisional. Hubungan dualitas memang tidak selamanya bertentang, bisa jadi tarik-menariknya justru saling menguatkan. Pameran Buka Tutup dan Berkaca Pada Kaca, melalui karya-karya yang dihadirkan, tampaknya ingin menuju upaya tersebut. Jika pada pameran Buka Tutup bisa dipertanyakan ulang mana yang masa lalu dan kini, apakah yang lalu adalah figur wayangnya dan kekinian adalah konteks persoalan sosialnya? Atau justru sebaliknya?. Dalam situasi yang tidak jauh berbeda, pameran Berkaca Pada Kaca, sosok wayang dan medium kaca bisa jadi hanya aspek kebendaan, sejauh apa sebuah pameran bertema wayang dan pameran bertema lukis kaca menyentuh aspek pikiran?. Rentetan pertanyaan ini bisa menjadi pengantar tidur bagi siapapun yang tidak ingin terpenjara dalam pikatan citra visual karya-karya seni rupa.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Juli-Agustus 2018.