Oleh: Hardiwan Prayogo
Seni lukis kaca dapat mengungkapkan segi-segi kemanusiaan masyarakat kecil yang terpinggirkan. Pernyataan tersebut dikutip dari sambutan Edi Sunaryo untuk pameran Berkaca Pada Lukisan Kaca, tahun 2012 lalu di Galeri Seni ISI Yogyakarta. Dalam pameran yang mempertemukan pelukis-pelukis kaca dari seluruh Jawa dan Bali tersebut, terlibat juga dua seniman dari Gegesik, Cirebon, yaitu Rastika. Dengan teknik melukis yang rumit, dengan figur-figur yang didominasi oleh wayang, lukis kaca bagaikan hidup dalam dunia sendiri pada kancah seni rupa. Aksi-aksi kreatif seniman dalam mengeksplorasi medium kaca, membuatnya lebih dari sekedar benda fungsional. Fungsional dalam artian kaca sebagai properti rumah dan bercermin.
Hermanu dalam tulisan pengantar pameran lukis kaca Berkaca Pada Kaca tahun 2018 di Tahunmas Artroom, menyebutkan bahwa lukisan kaca yang identik dengan corak tradisional sudah marak sejak 1937 di Yogyakarta. Penelitian terhadap ini dilakukan oleh J.H. Hooykaas-Van Leeuwen Boomkamp, dengan menyambangi toko souvenir hingga pasar malam sekaten. Dia membagi gambar kaca dalam 3 tema, antara lain Wayang Purwa, Legenda Rakyat, dan gambar kaca Islami. Pelukis kaca pun biasanya merangkap profesi sebagai pembuat wayang sampai pemain gamelan.
Lukis kaca memang identik dengan tema demikian, tidak terkecuali Rastika dan Kusdono. Dua seniman ini menjadi bahan penelitian Tan Zi Hao, mahasiswa S3 Kajian Asia Tenggara, National University of Singapore. Zi Hao sedang menyelidiki penggambaran hewan-hewan mitos di Nusantara, terutamanya lambang-lambang kerajaan dan keraton di Cirebon, dari segi budaya politik dan kesejarahan simbolnya. Zi hao membaginya dalam 3 poin utama, pertama mengapa hewan-hewan tertentu dipilih dan dimuliakan oleh kerajaan, pelukis, dan pengrajin. Kedua mengapa hewan-hewan sering dijadikan metafora kekuasaan manusia. Dan ketiga apakah filosofi dibalik pemilihan epistemik makhluk setengah hewan. Kendatipun hewan-hewan mitos sering dianggap sebagai satu fragmen ‘imajinasi’, tetapi barangkali terdapat imajinasi kekuasaan penguasa. Melalui penelitian terhadap lukisan-lukisan kaca dari Cirebon, akan coba dianalisis apa yang sedang ingin dikonstruksikan.
Sebagai salah satu bentuk pertukaran arsip, setelah mengakses arsip IVAA, Zi Hao mendonasikan arsip Kusdono dan Rastika. Terdapat 7 lukisan, dan 1 ukir kayu dari karya Rastika. Sedangkan terdapat 28 lukisan dengan tanda tangan tertulis Kusdono dan Rastika. Kusdono adalah putra keempat dari Rastika, tidak heran karakter lukisan keduanya mirip. Bedanya, jika Rastika masih menggambar wayang dengan ornamen klasik, sedangkan untuk lukisan bertanda Kusdono dan Rastika, menggabungkannya dengan gaya kaligrafi. Arsip karya kedua seniman ini dapat diakses pada tautan http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/rastika
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Arsip dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Juli-Agustus 2018.