Sejak awal 2021, kami menyadari bahwa cukup banyak dokumentasi yang belum dipublikasikan, khususnya acara diskusi yang digelar baik di Rumah IVAA maupun di luar. Terhitung dari Maret hingga awal Juni, kami mengunggah 12 diskusi dengan beragam tema. Kawan-kawan bisa menyimak seluruhnya di kanal youtube Arsip IVAA. Video yang akhirnya kami unggah melalui berbagai pertimbangan, mulai dari konten, komposisi pembicara, dan persoalan teknis video. Berikut adalah beberapa yang kami soroti berdasarkan pada keberagaman tema video. Semoga segala jenis pengetahuan dan informasi dalam video-video ini berguna bagi kawan-kawan semua, atau setidaknya sedikit mengobati kerinduan pada diskusi publik yang cukup berkurang selama pandemi ini.
Visualisasi dalam Tradisi Islam – Tia Pamungkas
Arie Setyaningrum Pamungkas, atau yang akrab disapa Tya, adalah dosen sosiologi Universitas Gadjah Mada. Tya mengawali diskusi dengan menegaskan bahwa dalam Al-Quran tidak ada larangan untuk memvisualkan makhluk hidup. Aturan demikian hanya bersumber pada hadis. Tya kemudian memaparkan beberapa hadis yang meriwayatkan larangan untuk membuat gambar. Meski kemudian tafsirnya juga bisa abu-abu karena tidak dijelaskan gambar macam apa yang dilarang. Menurut beberapa sumber, yang dilarang adalah gambar-gambar sesembahan. Dengan kata lain, hadis tersebut tidak memukul rata bahwa semua gambar itu dilarang. Kemudian menurut Tya, seni visual Islam dimulai dari abad pertengahan. Seni visual Islam yang dimaksud adalah yang berasal dari peradaban masyarakat muslim atau kombinasi yang berakar dari masa pra-Islam dan setelahnya. Ini disebut Tya sebagai aspek sosiologis. Sedangkan dari aspek politis berbeda lagi, yaitu pengaruh dari kontestasi ideologi, atau penaklukan. Jadi ada proses pergantian ekspresi kebudayaan sepenuhnya. Dari sini bisa dipahami bahwa karakter visualisasi Islam di Indonesia menjadi sangat berbeda dari timur tengah. Dalam Islam, dikenal visualisasi figuratif (makhluk hidup), dan visualisasi ikonografis (simbolisasi sesuatu yang dianggap sakral). Pertanyaannya kemudian, sejak kapan kecenderungan ikonografis menjadi lebih dominan dibanding figuratif dalam seni Islam?
Tya memaparkan 2 tokoh seni Islam yang berpengaruh yaitu Ibnu Al-Haytham sebagai salah satu tokoh tradisi visualisasi figuratif, dan Al-Ghazali, sebaliknya, tokoh tradisi visualisasi ikonografis. Setelah penjelasan mengenai beberapa tokoh beserta gagasannya, Tya memperlihatkan bagaimana setiap masa kekuasaan Dinasti Ummayah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Fatimiyah, Dinasti Timuriyah, dan Kekaisaran Ottoman.
Dalam kaitannya dengan arsip IVAA, kita bisa menengok karya-karya dari Ahmad Sadali, AD Pirous, Mahdy Abdullah, Agus Baqul, Agus Kamal, hingga Rastika. Termasuk beberapa koleksi dokumen seperti Seni Patung dalam Tradisi Islam, Contemporary Islamic Art From Indonesia, Pameran Seni Budaya Islami, dan sebagainya.
Wayang, Kritik Kebudayaan – Jadul Maula | Suluk Kebudayaan Indonesia
Diskusi ini digelar di Sarang Building pada April 2019, dalam rangkaian seri diskusi Suluk Kebudayaan Indonesia #2. Jadul membicarakan tentang bagaimana situasi sosial-politik mutakhir, yang ketika itu bertepatan dengan momentum pilpres, ditelaah dengan cerita pewayangan Petruk Dadi Ratu. Tentang ambisi pihak tertentu dari penguasa yang tidak diimbangi dengan kesiapan diri dan mental, yang akhirnya berdampak pada perilaku-perilaku populis, pragmatis, dan ekstrimis.
Jadul Maula adalah pengurus Pondok Pesantren Kaliopak, Piyungan, Bantul. Pesantren ini disebut ora umum karena kerap menggelar pengajian dengan tema-tema kebudayaan-kesenian. Di sana, bersama Hasan Basri Marwah, Jadul mengembangkan Ngaji Dewa Ruci. Jadul merefleksikan ramainya pilpres dan populisme agama yang memuncak ketika ada pembakaran bendera tauhid saat hari santri. Ini suatu penanda gerak bangsa, sebenarnya lakon-lakon apa yang sedang terjadi?
Spontan kemudian Jadul mengingat lakon Petruk Dadi Ratu, dalam momen yang bersamaan, beredar foto/ poster Jokowi menggunakan mahkota. Seorang politisi kemudian mengasosiasikan dengan Petruk Dadi Ratu, dalam artian seorang raja yang tidak memiliki kapasitas, dan jadi pemimpin karena kebetulan. Ini melahirkan berbagai respon dan kritik, di mana petruk seharusnya diartikan sebagai perlawanan/ interupsi rakyat terhadap oligarki. Ini bisa jadi bukan hanya soal Jokowi, tapi manifestasi dari posisi rakyat kiwari. Sebenarnya, sedari 2014 banyak yang mengangkat cerita Petruk Dadi Ratu. Artinya seperti ada situasi yang menandai terpilihnya Jokowi sebagai presiden.
Bagi Jadul, wayang sebenarnya adalah gelaran dari diri kita sendiri. Pertanyaan kultural dengan fenomena aktual yang lantas muncul adalah “siapa pemimpin kita?”. Menikmati wayang seperti membaca Al Quran, harus utuh, di mana tokoh-tokoh penting dan bermain di dalamnya.
Banyak dalang menggunakan kisah Petruk Dadi Ratu sebagai piranti kritik sosial. Paradigma wayang diciptakan dalam misi dakwah abad 16, untuk membentuk kepribadian, melawan imperium Majapahit. Masa-masa ini terjadi bersamaan dengan perang, sekaligus kedatangan kolonial. Misi dagang Portugis sekaligus membawa misi penjajahan, ditandai dengan dibawanya senjata dalam perjalanan tersebut. Menyikapi kondisi ini, para wali sadar bahwa manusia harus dirawat jati diri dan jiwa kemanusiaannya, dengan dakwah melalui wayang. Wayang adalah kenyataan yang tergelar dalam pementasan.
Wayang bisa dilihat secara syariat dan hakikat. Pertama adalah syariat, dengan menonton wayang dari depan, di mana ada banyak yang bisa dilihat tidak hanya wayang, yaitu dalang, gamelan, sinden, dan sebagainya. Ini adalah gambaran dari bagaimana manusia melihat dalang sebagai pusat dan raja yang dikelilingi piranti-piranti lain. Sedangkan yang kedua, hakikat, adalah menonton wayang dari belakang, dengan hanya fokus pada wayang. Artinya kita melihat wayang dalam satu keutuhan, harus bisa mengenali diri secara utuh dalam satu wujud. Inilah prinsip umum tentang wayang.
Menonton wayang seharusnya tidak merasa ceritanya ada di luar diri. Seharusnya diri tidak diidentikkan dengan tokoh tertentu. Bahwa sebenarnya ada kunci, yang membuat kita melihat seluruh tokoh wayang sebagai cerminan perilaku diri yang beragam. Lebih dalam, bahwa melalui wayang Jadul melihat bahwa kewibawaan seharusnya tidak diukur dari material, seperti jabatan, materi, dan lain-lain. Kewibawaan adalah penajaman rasa, bukan capaian duniawi.
Tentang Seniman Emiria Soenassa – Iskandar Waworuntu
Iskandar Waworuntu, dikenal sebagai pendiri Bumi Langit Institute. Sebuah tempat belajar bagi siapapun yang ingin mendalami tentang pentingnya menjaga ikatan antara manusia dengan alam. Pada video ini Iskandar bercerita mengenai lukisan-lukisan Emiria Soenassa yang disimpan dengan baik di rumahnya. Lukisan-lukisan ini diwariskan secara turun temurun dari keluarga Iskandar. Sedikit banyak kemudian Iskandar bercerita bagaimana Emiria termasuk sebagai seniman perempuan yang aktif berpameran tahun 1950-an. Hal ini dipengaruhi banyak faktor, salah satunya adalah kedekatannya dengan para diplomat. Iskandar merasa bahwa penting untuk terus mencatat Emiria Soenassa, karena posisinya penting tidak hanya sebagai seniman, tetapi juga figurnya sebagai perempuan.
Jika dilihat dari jejaknya, terutama ketika banyak terlibat bersama Persagi, keberadaan Emiria bisa dibilang berbeda dari seniman-seniman lainnya. Mulai dari usia yang sudah lebih tua dari seniman semacam Affandi, Hendra Gunawan, Sudjojono dan sebagainya, tetapi juga kepiawaiannya berbahasa Inggris, Belanda, dan Prancis. Selain melukis, Emiria juga memiliki profesi sebagai administratur di beberapa daerah di Indonesia. Seringnya berpindah-pindah domisili, terlihat dari keragaman lukisan Emiria yang banyak memasukan unsur-unsur keindonesiaan dari berbagai daerah. Iskandar merasa bahwa mungkin memang sudah cukup sulit melacak informasi baru tentang Emiria Sunassa. Tetapi Iskandar menduga bahwa pasti masih banyak arsip-arsip pribadi Emiria yang masih tersisa dan terserak. Dan disebabkan keragaman tempat tinggal dan profesinya, bisa jadi sejarah dan arsip Emiria seharusnya dilacak tidak dari perspektif sejarah seni rupa, tetapi bisa jadi politik.
Iskandar menyadari bahwa belum banyak kolektor yang merasa perlu membuka koleksinya pada publik. Ini menjadi catatan tersendiri mengingat belum banyak tulisan yang cukup komprehensif soal Emiria. Jika langkah ini bisa ditempuh, barangkali bisa mendorong kemunculan institusi atau individu yang menyimpan arsip-arsip Emiria untuk membuka koleksinya. Pada dasarnya Iskandar percaya bahwa informasi tidak pernah hilang, hanya persoalan waktu kapan informasi itu bisa diakses.
Yang Mana Masterpiece Pak Djon?
Diskusi bertajuk ‘Yang Mana Masterpiece Pak Djon?’ berlangsung di IVAA tahun 2013. Ada Bambang Bujono, Mikke Susanto, Nirwan Dewanto, dan Agus Burhan. Empat pembicara ini memilih karya-karya Sudjojono yang layak disebut masterpiece melalui buku Visible Soul yang disusun oleh Amir Sidharta. Karya apa saja yang dipilih? Bagaimana sebuah karya layak dilabeli sebagai masterpiece? Apa indikator dan argumentasi logisnya? Berikut adalah sedikit rangkuman dari inti presentasi setiap narasumber.
Bambang Bujono
Menurut Bambang Bujono (Bambu), kebutuhan dan hal-hal yang mendukung penciptaan karya adalah pemicu lahirnya masterpiece. Bambu berpendapat bahwa masterpiece Sudjojono terbagi dalam 2 kelompok, yang karikatural seperti ‘High Level’ dan yang lebih ekspresif seperti ‘Di Depan Kelambu Terbuka’. Karena menurutnya, karya yang cenderung realis bisa dibilang hanya mengejar keaslian dari pandangan mata. Bambu berpendapat bahwa ‘Di depan Kelambu Terbuka’ telah menunjukkan kedekatan Sudjojono dengan objek lukisannya, dan pemicu dari lahirnya lukisan ini tidak semata-mata kebutuhan pasar. Sedangkan yang karikatural lebih dapat mewujudkan ide-ide Sudjojono pada realitas. Lukisan demikianlah yang mewujudkan Jiwa Ketok-nya Sudjojono.
Mikke Susanto
Dalam mengartikulasi kata masterpiece memang tidak bisa spekulatif dan subjektif. Terlebih dahulu harus ada definisi etik terhadap apa itu masterpiece. Masterpiece, maestro, dan old master, menurut Mikke adalah kata yang tidak terpisahkan. Masterpiece adalah pernyataan bersama mengenai sebuah korelasi yang kompleks, di mana terdapat banyak syarat yang bisa diaplikasi pada karya para maestro. Masterpiece memiliki banyak kenangan dan emosi yang membentuk satu ide tunggal. Maka Mikke melihat dulu bagaimana karir keperupaan Sudjojono, tentang bagaimana keterlibatan Sudjojono dengan isu-isu politik, potret manusia, pemandangan alam, religiusitas, hingga tema-tema mitos dan ketelanjangan. Mikke menandai 3 lukisan Sudjojono sebagai masterpiece, yaitu ‘Di Depan Kelambu Terbuka’, ‘Kawan-Kawan Revolusi’, dan ’Kepala Gombal’.
Nirwan Dewanto
Masterpiece terlalu banyak dihubungkan dengan cerita di baliknya, yang kebanyakan biografis. Jadi seakan-akan karya bisa disebut masterpiece karena cerita di balik karyanya. Padahal yang bisa dilihat publik bukanlah cerita-cerita ini, tetapi karyanya yang langsung berhadapan dengan pengalaman publik. Menurut Nirwan, Sudjojono bukanlah seniman yang tidak konsisten, dalam artian positif. Maka saya memilih karya yang saya anggap sebagai simpul penting untuk mewakili trayek perjalanan karir kesenian Sudjojono. Lukisan yang dipilih Nirwan sebagai karya yang memiliki ide adalah High Level, Di Depan Kelambu Terbuka, Sekko, Si Optimis, Slip dalam Segala Cuaca, Bukit Gersang, Kepala Gombal. Ide ini memancing pertanyaan pada publik mengenai intensi dari kehadiran subjek-subjek yang kadang ganjil. Ide-ide inilah yang muncul sebagai kekhasan dari lukisan Sudjojono, karakter ini yang tidak muncul pada lukisan Hendra Gunawan dan Affandi.
Agus Burhan
Untuk melihat mana yang masterpiece dan yang bukan, sepenuhnya merupakan hasil konstruksi. Maka Sudjojono harus diletakkan dalam sejarah sebagai seorang seniman yang berideologi. Karena bisa saja ada karya yang tidak memenuhi syarat secara artistik, tetapi memiliki pesan yang kuat. Burhan kemudian mempresentasikan karya-karya Sudjojono yang dianggapnya masterpiece, disertai alasan kesejarahan kenapa layak disebut sebagai masterpiece.
Kawan-kawan tentu cukup familiar dengan Sudjojono, arsipnya dapat dijelajahi pada link berikut http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/s-sudjojono. Sedangkan buku Visible Soul sendiri hanya bisa dibaca di perpustakaan IVAA.
Europalia dan Wacana Pseudo-Internasionalisme
Europalia Arts Festival 2017 di delapan negara di Eropa telah memasuki penghujung acara pada Januari 2018. Misi kebudayaan ini tercatat sebagai hajatan terbesar yang diselenggarakan pemerintah setelah sebelumnya terselenggara KIAS (Kesenian Indonesia di Amerika Serikat) pada awal 1990-an. Ada 3 narasumber dalam video ini, mereka adalah Agung Kurniawan, Lifepatch, dan Hestu Setu Legi
Agung Kurniawan
Pada perhelatan Europalia Arts Festival tersebut, Agung Kurniawan menampilkan instalasi dan video dokumentasi dari pertunjukan Gejolak Makam Keramat. Gejolak Makam Keramat sendiri adalah adaptasi naskah teater berjudul Leng ciptaan Bambang SP, bercerita tentang pabrik yang menggusur sebuah makam keramat. Dalam pertunjukannya, Agung bekerja bersama dengan ibu-ibu penyintas ‘65. Menariknya, informasi latar belakang ibu-ibu ini tidak diungkapkan oleh Agung pada panitia. Agung mengaku ada kekhawatiran ketika mengajak dan mengangkat tema demikian pada acara yang didanai oleh pemerintah. Tantangan lainnya adalah bagaimana membawa pertunjukan yang ketika dipentaskan berdurasi 1,5 jam, menjadi peristiwa seni rupa di ruang pamer.
Namun bagi Agung, persoalan terbesarnya adalah ketika mempertemukan isu kemanusiaan ‘65 di Indonesia dengan persoalan yang terjadi di Eropa hari ini. Ketika karya ini dipamerkan di Brussel, Belgia, Agung menemukan bahwa peristiwa ‘65 di Indonesia berkaitan secara tidak langsung dengan pertarungan ideologi dan geopolitik pada masa itu. Juga, bahwa tragedi kekerasan terjadi di berbagai penjuru dunia, termasuk oleh Belgia ketika mereka menduduki Kongo.
Pada intinya Agung ingin menyampaikan bahwa para penyintas tragedi-tragedi kekerasan bertahan sebagai manusia. Manusia yang masih mampu bernyanyi, bersuara, berkesenian, dan sebagainya. Bagi Agung, ini menunjukan bahwa segala siksaan dan kekerasan tidak bisa mengalahkan harkat kemanusiaan dan kemauan untuk bertahan.
Lifepatch
Dalam Europalia Arts Festival, Lifepatch terlibat dalam 2 pameran, pertama pameran Power & Other Things, dan kedua proyek tunggal Lifepatch yang bertajuk The Tales of Lion & Tiger. Untuk keduanya, Lifepatch menampilkan karya yang sama. Karya mengenai periode kolonisasi di Sumatera Utara, khususnya Toba, yang berfokus pada dua tokoh, yaitu Sisingamangaraja dan Hans Christoffel. Lifepatch melakukan penelitian di daerah Sumatra Utara dan bekerjasama dengan museum etnografis yang membawa warisan budaya Indonesia.
Asumsi Lifepatch yang berangkat dari keinginan mengembalikan warisan budaya ini ke Indonesia justru terpatahkan ketika melakukan riset di Sumatera Utara. Ternyata bagi masyarakat setempat, benda-benda yang dibawa ke Eropa sudah tidak bernilai lagi karena sudah kehilangan konteksnya. Dengan kata lain, menjadi tidak penting untuk memiliki kembali benda-benda tersebut, karena nilai, semangat dan konteks sosialnya masih tertinggal bersama masyarakat setempat. Temuan lain yang menarik adalah tentang bermacamnya versi kematian Sisingamangaraja. Lifepatch kemudian melihat bahwa ingatan masyarakat atas masa lalunya berserak dan termanifestasi melalui berbagai macam rupa. Ini sekaligus menunjukan bagaimana logika kesejarahan yang berbeda dari yang biasa beredar di Eropa. Tentang bagaimana sejarah ditulis bisa jadi berbeda dari bagaimana ingatan atas sejarah dialami hari ini.
Hestu Setu Legi
Proyek yang diikuti Hestu pada Europalia Arts Festival adalah sebuah performance art dengan membawa isu tubuh politik dan tubuh sosial. Berbeda dari yang lain, Hestu tidak melakukan riset panjang. Jadi lebih pada representasi atas gagasan yang ada di pikirannya. Hestu mengaku berangkat dengan kosong, baru kemudian di lokasi Hestu bereaksi dan memunculkan narasi. Berbagai macam ide yang dia temukan kemudian dijadikannya performance pada pembukaan pameran. Menurut Hestu, karya yang menarik publik Belgia adalah yang berkaitan dengan isu Islamisasi. Isu ini memancing keingintahuan publik Belgia tentang situasi di Indonesia.
Seri Video Craftmantalk #2 Internasionalisme Seni
Diskusi ini menghadirkan dua pembicara, yaitu Adelina Luft dan Hasan Basri. Adelina mengatakan, fenomena internasionalisme seni merupakan salah satu proses desentralisasi yang berusaha menggoyahkan dan menggantikan kanon-kanon Barat. Menurutnya, internasionalisme seni terjadi dalam beberapa gelombang. Dimulai dari Venice Biennale hingga Sao Paulo Biennale yang bekerja dengan sistem paviliun nasional yang mengategorikan negara-negara peserta hingga periode discursive turn yang tidak lagi fokus pada karya seni, tetapi pada wacana yang dibawa oleh karya seni tersebut.
Dalam prosesnya, muncul biennale of resistance yang mulai membuat afiliasi geopolitik, salah satunya global south (selatan global) yang kini menjadi Afiliasi Selatan-Selatan. Selatan bukan dimaknai sebagai batas geografis tetapi spirit negara-negara yang memiliki pengalaman kolonialisme dan berusaha melakukan counter hegemony atas wacana Barat sebagai pusat.
Adelina lalu membandingkan apa yang terjadi dengan Biennale Jogja yang mulai mengangkat isu Koalisi Selatan pada seri Equator. Namun, ia menemukan bahwa Biennale Jogja tidak membawa isu resistensi yang sama dengan kasus di wilayah lainnya. Biennale Jogja lebih menekankan pada dialog dan perjumpaan antara negara-negara Selatan. Meski demikian, berdasarkan risetnya, Adelina menyebut Biennale Jogja belum sampai pada dialog antara Selatan-Selatan, tetapi lebih kepada perjumpaan. Sebab belum ada pertukaran wacana aktif yang terjadi antara negara-negara yang turut serta dalam Biennale Jogja seri Equator. Bahkan ada kritik terhadap Biennale Jogja seri Equator yang dianggap mengeksklusi publik, alih-alih merangkul publik dalam wacana Koalisi Selatan-Selatan
Menanggapi pemaparan Adelina, Hasan menekankan bahwa peta Selatan-Utara tidak lagi relevan. Pembagian peta yang terjadi karena proses kolonialisme itu hanya sebatas fiksi saja. Peta Selatan-Utara lebih merupakan peta gagasan. Maka, sudah seharusnya kita mempertanyakan hadirnya batas-batas itu dan mulai menggeser percakapan dan melepaskan imaji akan pusat. Negara-negara Selatan atau yang berada di luar pusat seharusnya tidak lagi mengonsumsi pemikiran Barat, tetapi mempelajarinya untuk dapat mengembangkan wacana tanpa mengekor standar tertentu. (Review Craftmantalk #2 Internasionalisme Seni ditulis oleh Rheisnayu Cyntara untuk penulisan buku Anotasi Bibliografi Seni Kontemporer Indonesia)