Ruang Publik Itu Bernama Media Komunitas: Laporan Penelitian tentang Peran Media Komunitas sebagai Ruang Publik: Studi Kasus Bale Bengong dan Warta Desa
Penulis : Ferdhi F. Putra dan Lamia Putri Damayanti
Penyunting : Idha Saraswati
Desain Sampul dan Perwajahan Isi : Damar N. Sosodoro
Penerbit : Combine Resource Institution
Tahun Terbit : 2021
Sebagai media dari, oleh, dan untuk warga, sudah menjadi keniscayaan bahwa media komunitas akan memberi dampak bagi warga di sekitarnya atau yang menjadi konstituennya. Peran media komunitas dalam mengiringi proses perubahan sosial masyarakat sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak perangkat media itu ditemukan.
Teknologi bisa berubah -media komunitas hidup pada berbagai era, baik teknologi cetak, elektronik berbasis frekuensi, hingga teknologi digital- namun, kebermanfaatan media komunitas tak pernah berubah, yakni untuk meningkatkan taraf hidup warga atau komunitasnya.
Menurut Jurgen Habermas, media massa seperti surat kabar dan televisi, merupakan wujud baru dari ruang publik. Jika sebelumnya interaksi antarwarga dilakukan secara langsung di ruang-ruang yang memungkinkan orang berkumpul, kini interaksi tersebut dapat termediasi oleh perangkat teknologi.
Di ruang itulah gagasan-gagasan setiap warga dipertukarkan, didiskusikan, hingga kemudian menghasilkan opini publikasi. Dari situlah perubahan sosial berangkat. Penyediaan ruang publik menjadi titik awal untuk menuju masyarakat demokratis.
Sudah sejak lama media komunitas juga diasosiasikan dengan ruang publik, namun pamornya sebagai ruang publik, tidak lebih mentereng dibanding media-media arus utama. Padahal jika dibanding media massa berorientasi profit -yang menjadi ruh industri media, media komunitas boleh dibilang lebih memenuhi kriteria ruang publik. “A healthy public sphere requires small scale media not motivated by commercial interests,” demikian argumen Habermas (dalam Butsch, 2007: 4).
Lalu bagaimana sebenarnya media komunitas mewujud sebagai ruang publik? Bagaimana mereka melakukannya? Dan paling penting, apa implikasinya bagi warga?
Melalui studi kasus dua media komunitas di Indonesia, yakni Bale Bengong (Denpasar, Bali) dan Warta Desa (Pekalongan, Jawa Tengah) penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
CONTEXT, CONNECTION, COLLABORATION: Southeast Asia Choreographers Network
Redaktur pelaksana : Brigitta Isabella
Proofreader bahasa Inggris : Andy Fuller
Desain & layout : Candrani Yulis
Penerbit : Yayasan Kelola
Tahun terbit : 2021
Southeast Asia Choreographers Network (SEACN) merupakan wadah jejaring untuk para koreografer muda dari Kamboja, Indonesia, Thailand, dan Vietnam yang diinisiasi oleh Yayasan Kelola. Sejak 2019 hingga 2020, pertemuan SEACN sudah digelar selama tiga kali. Buku ini secara khusus menyuguhkan dokumentasi atas ketiga pertemuan tersebut. Pada bagian pertama, berisi kilas balik SEACN #1 dan #2 untuk memberi informasi trajektori kepada pembaca. Sedang pada bagian kedua lebih menyoroti penyelenggaran SEACN #3; berisi catatan-catatan kritis dari tiga mentor SEACN sebelumnya. Arco Renz, Daniel Kok, dan Helly Minarti memberikan beragam petunjuk dan metode fasilitasi yang diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan untuk para praktisi seni dalam membangun jejaring di masa depan.
Selain catatan dari para mentor, buku ini juga mengumpulkan beragam aspirasi artistik dari para partisipan dan lembaga pengurus. Tidak semuanya memilih tulisan sebagai bentuk ungkap, beberapa dari mereka memilih mengurai pikiran ke dalam kata kunci dan pertanyaan, beberapa lainnya menyuguhkan dokumentasi visual. Para pengamat juga membagikan amatan kritis mereka, menggarisbawahi dan mengelaborasi beragam diskusi serta apresiasi atas SEACN sebagai platform.
Buku ini diniatkan sebagai himpunan pemikiran, refleksi, dan harapan yang beragam yang tersirkulasi dalam SEACN. Himpunan itu selanjutnya menegaskan diversitas artistik yang menubuh dalam jejaring Asia Tenggara sebagai sebuah entitas geopolitik.
MEDAN SENI RUPA INDONESIA 1900-1965: SEBUAH PENGANTAR
Penulis : Albertus Rusputranto P. A.
Penyunting : Lucia Dianawuri
Layout & desain sampul : Titisan Pulung Manunggal
Penerbit : ISI Press Surakarta
Tahun terbit : 2021
Latar belakang mengapa Albertus Rusputranto Ponco Anggoro, pengajar di jurusan Seni Rupa Murni FSRD ISI Surakarta sejak 2008 ini adalah keinginannya agar para mahasiswa seni rupa memahami perjalanan medan seni, tak hanya sibuk berurusan dengan benda-benda seni saja. Karena dengan memahami masa lalu, merujuk Dr. Soedjatmoko, kita bisa bebas pada masa sekarang dan bertanggung jawab pada masa depan.
Medan seni rupa di Indonesia sudah ada sejak awal abad XX, sejak masa kolonial Hindia Belanda. Bertumbuh, beririsan dengan medan-medan lain sepanjang sejarahnya, hingga saat ini. Melewati jaman pendudukan militer Jepang, era revolusi kemerdekaan, era kepemimpinan Sukarno, Orde Baru, sampai sekarang.
Dari situ, medan seni rupa punya kekhasannya sendiri. Selayaknya penyelenggaraan pertandingan tinju profesional, medan seni rupa memiliki pelembagaan, teori, konvensi, sistem, struktur pengorganisasian, profesi-profesi, modal, mekanisme ekonomi, tarikan-tarikan kepentingan, dan ‘pertarungan’. Tidak semua orang dan produk bisa masuk ke medan itu, jika memang belum betul-betul ambil bagian dalam pertarungannya. Hanya yang dominan yang bisa bertahan menguasai medan seni rupa. Selain mampu mengontrol dirinya secara otonom, medan seni rupa juga sangat beririsan dengan medan ekonomi dan politik.
Kenyataan itulah yang membuat Albertus Rusputranto menulis buku ini. Secara khusus, ia mengulas medan seni rupa di Indonesia dalam rentang waktu 1900-1965. Buku ini juga merupakan bentuk modifikasi dari hasil penelitian pustakanya, dalam program hibah penelitian DIPA ISI Surakarta 2020.
Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta
Penulis : Ahmad Khairudin, Angga Wijaya, Ayos Purwoaji, Gesyada Siregar, Ignatius Susiadi Wibowo, Ismal Muntaha, M. Sigit Budi S.
Penyunting : Leonhard Bartolomeus, Rifandi Nugroho
Penerjemah : Cemara Weda Chrisalit
Tata letak : Manubaba
Ilustrasi sampul : Syaiful Ardianto
Penerbit : Dewan Kesenian Jakarta
Tahun terbit : 2021
Dalam pengantarnya, Rifandi Nugroho dan Leonhard Bartolomeus mencatat bahwa praktik kurasi itu terkait dengan proses memilih dan memilah apa yang ingin ditunjukkan, sajikan, dan bagikan agar dinikmati orang lain atau diri sendiri. Pilihan kurator begitu subjektif, maka ia perlu membangun argumentasi atas apa yang dipaparkan. Jadi, sejauh dapat melakukan itu semua, peran kurator dapat diisi oleh siapa saja, dibagikan ke mana saja. Dari premis ini pemahaman awal tentang kurator kampung dimulai.
Kegiatan “Riset dan Festival Kampung Kota 2018” merupakan ali bentuk dari lokakarya Kelas Kurator Muda di Ruangrupa pada 2013. Untuk kesempatan 2018 ini, alih-alih mengambil format kelas, program ini dirombak menjadi semacam laboratorium untuk para kurator keluar dari zona nyamannya.
Kampung Kota di Jakarta menjadi lokasi laboratorium yang dipilih. Para kurator undangan diterjunkan ke beberapa kampung untuk mengamalkan artikulasi proses dengan warga dan segala konteksnya. Ismal Muntaha, Yofie Hashirama bersama warga Kampung Kerang Ijo, Muara Angke berupaya meruntuhkan ego golongan dengan menciptakan ritual performatif Tradisi Arak Perahu. Ignatius Adi Wibowo, Harun, Andi, dan kelompok pemuda di Kampung Kali Apuran menggelar “Piknik di Kampung Sendiri” untuk menghidupkan kembali ruang bantaran sungai. Angga Wijaya bersama warga Kampung Tongkol membuat objek lampion untuk menghubungkan dua kampung yang berseberangan. Agak beda dari sebelumnya, Ahmad Khairuddin, Gesyada Siregar bersama remaja Karang Taruna Kampung Muka tidak membuat produk akhir, melainkan fokus pada manajemen kerja Karang Taruna. Terakhir, di Kampung Tol, Penjaringan, Ayos Purwoaji, M. Sigit Budi S., bersama para warga yang cenderung memilih hidup dalam persembunyian, memilih menggunakan arsip foto sebagai medium komunikasi warga.
Kehadiran buku ini adalah bentuk pertanggungjawaban program ini kepada publik. Alih-alih menjadi buku kiat-kiat menjadi kurator sukses di tengah masyarakat, buku ini diniatkan untuk menghadirkan berbagai sudut pandang, tantangan, dan kemungkinan yang dihadapi kurator ketika di lapangan.