Judul : A History of Photography in Indonesia: From the Colonial Era to the Digital Age
Editor : Brian C. Arnold
ISBN : 9789463729499
Jumlah halaman : 496
Bahasa : English
Tahun terbit : 25 – 10 – 2022
Dimensi : 21.5 x 28 x 3.6 cm
Review oleh : Isabel Irwin (Izi)
This book traces the development of the art of photography in Indonesia from the colonial era until the present day’s digital age. The author uses essays, which are co-published by Afterhours Books and Amsterdam University Press, in order to narrate the development of photography through many different voices. These essays are written by prominent artists, curators, and scholars who have worked for extended periods of time in Indonesia studying photography. This book also contains many photographs, including some of the author’s own, in order to visually show how photography has developed in Indonesia over the years. The author also places a large emphasis on the accessibility of photography, beginning in the 1840s when only the Dutch elite could photograph, all the way up until every person had a cell phone with a camera in their pocket.
The medium was first brought to Indonesia in the 1840s by the Dutch for the sole purpose of spreading colonial propaganda. Over time, the medium grew in popularity and began to be used by Indonesian citizens as a form of expression. It gained momentum and was used to help the movement for Independence and as an agent for advocating for democracy.
Brian C. Arnold first traveled to Indonesia on a university semester program when he was 22, where his interest in Indonesian culture began. He originally came to Indonesia to study traditional gamelan and pursue his passion for music. He lived there for 6 months, Immersing himself in the culture. What he learned and experienced during his time there had a huge impact on his artistic and academic identity, leading to his interest in the development of Indonesian photography. He has now taught and lectured on photography at a number of institutions around the world. Arnold has exhibited his work internationally, and his photographs are included as part of the permanent collections in many prestigious galleries, in both the US and South-East Asia.
[terjemahan dalam Bahasa Indonesia]
Buku ini menelusuri perkembangan seni fotografi di Indonesia dari zaman kolonial hingga era digital saat ini. Penulis menggunakan esai-esai, yang telah diterbitkan bersama oleh Afterhours Books dan Amsterdam University Press, untuk menceritakan perkembangan fotografi melalui berbagai sudut pandang. Esai-esai ini ditulis oleh seniman, kurator, dan cendekiawan terkemuka yang telah lama bekerja di Indonesia dalam kaitannya dengan fotografi. Buku ini juga memuat banyak foto, termasuk beberapa milik penulis, untuk menunjukkan secara visual bagaimana fotografi berkembang di Indonesia dari tahun ke tahun. Penulis juga sangat menekankan pada aksesibilitas fotografi, dimulai pada tahun 1840-an ketika hanya elit Belanda yang dapat memotret, hingga setiap orang memiliki ponsel dengan kamera di sakunya.
Media tersebut pertama kali dibawa ke Indonesia pada tahun 1840-an oleh Belanda dengan tujuan menyebarkan propaganda kolonial. Seiring berjalannya waktu, media tersebut semakin populer dan mulai digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai bentuk ekspresi. Fotografi kemudian memperoleh momentumnya dan digunakan untuk membantu gerakan Kemerdekaan dan sebagai agen untuk advokasi demokrasi.
Brian C. Arnold pertama kali melakukan perjalanan ke Indonesia dalam sebuah program universitas saat berusia 22 tahun, ketika ketertarikannya pada budaya Indonesia bermula. Dia awalnya datang ke Indonesia untuk mempelajari gamelan tradisional dan mengejar kecintaannya pada musik. Dia menetap selama 6 bulan, membenamkan dirinya dalam kebudayaan Indonesia. Apa yang dia pelajari dan alami selama itu berdampak besar pada identitas artistik dan akademiknya, yang mengarah pada ketertarikannya mengenai perkembangan fotografi Indonesia. Dia sekarang mengajar fotografi di sejumlah institusi di seluruh dunia. Arnold telah memamerkan karyanya secara internasional, dan foto-fotonya dimasukkan sebagai bagian dari koleksi permanen di banyak galeri bergengsi, baik di Amerika Serikat maupun Asia Tenggara.
Judul buku : Artist and the People: Ideologies of Art in Indonesia
Penulis : Elly Kent
Tahun terbit : 2022
Penerbit : National University of Singapore Press
Bahasa : Inggris
Review oleh : Afdhal Alhabsyi
Sebelum memasuki bagan review buku, alangkah baiknya kita kenal sekilas tentang penulisnya, yaitu Elly Kent. Elly Kent adalah seorang peneliti, penulis, penerjemah, guru, professional lintas budaya, dan seniman. Ia juga merupakan editor dan direktur di Australia National University bagian Institut Indonesia yang berfokus pada pendidikan akademik seni di Indonesia dan Australia. Pada 2023, Elly tergabung dalam Universitas South Wales sebagai pengajar Indonesian Studies.
Buku “Artist and Its People” awal mulanya lahir sebagai tulisan dalam rangka penelitian doctoral penulis mengenai seni partisipatoris di Indonesia. Seni partisipatoris itu sendiri adalah bentuk seni yang dalam prosesnya melibatkan seniman dan juga rakyat/orang di sekitarnya. Dalam artian lain, seni partisipatoris memungkinkan publik untuk andil dalam membuat suatu karya bersama seniman.
Elly merumuskan setidaknya empat prinsip ideologis yang menjadi fondasi dan pengait dari apa-apa yang ada di buku ini, yakni antara seni rupa dan masyarakat, serta sejarah seni rupa dan masyarakat. Prinsip pertama ‘dipinjam’ dari tulisan Sanento Yuliman, “History, Identity, The Matrix for The Art of Soul” yang mengajak para pemerhati untuk mengakui bahwa seniman itu tercetak di konteksnya. Ia terpengaruh oleh sejarah, politik, dan sosial-budaya di tempatnya, dan itu tidak bisa dihindari. Konsep ini juga disebut konsep heteronom. Elly menganggap ideologi/ prinsip ini sebagai kendaraan pikiran bagi seniman untuk mengartikulasikan konsep bagaimana seorang seniman itu merakyat atau bergabung dengan masyarakat.
Prinsip kedua, turba (turun ke bawah), yaitu prinsip dari Lekra yang menggabungkan seniman dan rakyat. Seniman diajak—atau dipaksa—untuk turun ke bawah. Dalam tulisannya, Lekra memakai istilah tidur dan makan bersama rakyat. Di situ, seorang seniman juga memiliki peran sebagai penghubung rakyat dan pemerintahan. Seniman menjadi si penyampai keluhan dari rakyat sekaligus sang negosiator penyelesaian masalah.
Prinsip ketiga, yaitu kerakyatan. Prinsip ini terinspirasi dari tulisan Pak FX Harsono. Harsono menjelaskan, pada tahun ’80-’90, ada semacam gejala dari pikiran seniman yang lebih luas tentang hal rakyat dan kerakyatan dengan memakai istilah wong cilik (Bahasa Jawa: orang kecil). Istilah wong cilik ini dianggap lebih luas dan menyentuh dalam aspek masalah lingkungan, alam, polusi, pengungsian, pekerja, perang, dan sebagainya. Saat ini pula para seniman mulai bergabung dengan berbagai LSM. Dalam ideologi ini, bergabung atau bekerja dengan kerakyatan adalah sesuatu yang penting.
Prinsip yang keempat yaitu etika dan estetika, yang menggali kaitan gotong royong serta rasa, sejarah, dan budaya. Elly memaparkan bahwa gotong royong adalah rasa memahami bagaimana estetika itu bisa dianggap sebagai sesuatu yang heteronom, yang selalu terpengaruh oleh hubungan kita dengan orang lain. Estetika itu tidak selalu apa yang kita lihat, tetapi sesuatu yang terkait dengan rasa kita.
Literatur tentang partisipasi dan kolaborasi tidak terlalu banyak tersedia untuk kawasan Asia, kebanyakan hanya menyoroti Amerika dan Eropa. Ini pula yang menjadikan buku ini sangat bermanfaat. Dalam buku ini, Elly, selain membagi karya-karya seni partisipatoris, juga membagikan sejarah seni partisipatoris itu sendiri. Buku ini membantu membaca ulang linimasa seni rupa Indonesia. Penulis berusaha mengurai dan menstrukturkan seni partisipasi/ kolaborasi dari berbagai perspektif dari era Lekra, Mulyono, Elia Nurvista, dan seniman-seniman lain yang bisa dilihat dengan jelas.
Judul : 10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa: Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi
Editor : Alia Swastika, Hartmantyo Pradigto Utomo, Irham Nur Anshari
Penulis : Adhi Pandoyo, Anissa Rahadiningtyas, Anthony Gardner, Arham Rahman, Alia Swastika, Arlingga Hari Nugroho, Benny Widyo, Budi N. D. Dharmawan, Duls Rumbawa, Harmantyo Pradigto utomo, Jude Anogwih, St. Sunardi, Sabrina Citra, Saraswati N. Suman Gopinath, Tomi Firdaus.
Desain dan Tata Letak : Bambang Nurdiansyah
Desain Sampul : Riyan Kresnandi
Tahun terbit : 2022
Penerbit : Yayasan Biennale Yogyakarta
Review oleh : Krisnawan Wisnu
Buku ini hadir sebagai salah satu wujud refleksi atas peristiwa Biennale Jogja Equator, sebuah peristiwa seni yang tidak biasa, ambisius, dan patut kita cermati. Ada 14 tulisan yang bisa kita baca. Namun, saya hanya memilih tiga tulisan.
Pertama, tulisan dari Alia Swastika berjudul “Tata Dunia Baru, Tata Seni Baru”. Alia mengawalinya dengan sebuah pertemuan para seniman Indonesia dengan India pada 1930an, yang bermula dari kedatangan Rabrindanath Tagore bersama beberapa orang dan pengajar sekolah seni Santiniketan di India. Setelah kunjungan itu, beberapa seniman Indonesia dikirim ke Santiniketan oleh Soekarno, antara lain Edhi Soenarso dan Affandi. Sebuah “model relasi antarindividu dan institusi yang masih cukup relevan untuk dilakukan pada masa kini”, ungkap Alia.
Orde Baru kemudian seolah memutus hubungan erat antar negara anggota Konferensi Asia-Afrika dengan orientasi internasionalismenya yang berporos pada Amerika Serikat. Dan Biennale Jogja Equator menjadi perhelatan yang mengupayakan kehadiran hubungan itu kembali. Artinya, rezim pasca Reformasi tidak menganggap hubungan semacam itu penting. Seniman/ kurator dilihat sebagai agen penting yang perlu digarisbawahi sebagai pergeseran penting, yakni dari negara ke masyarakat sipil.
Dari tulisan Alia ini kita bisa tahu pondasi dari Biennale Jogja Equator sebagai peristiwa seni dengan ambisi dekolonial yang menggebu-gebu, serta sebagai laku politik gelanggang seni di hadapan negara yang lebih memilih untuk melestarikan proyek kapitalis pasca 1989, yakni embedded liberalism. Kurang lebih begitu gambar besarnya.
Dua tulisan lain yang saya pilih untuk saya singgung sedikit adalah “Can the Youth Speak? Biennale Jogja Equator, Educational Turn, dan Kerentanan Penulis Muda” oleh Hartmantyo Pradigto Utomo dan “Publik, seni, dan Biennale Jogja” oleh Budi N. D. Dharmawan. Tulisan-tulisan ini bagi saya mewakili apa yang jarang dibicarakan, tapi punya elemen penting untuk menjadi ruang kritik bagi Biennale Jogja Equator secara khusus atau hajatan seni secara umum.
Hartmantyo memaknai posisi orang muda dalam perhelatan biennale melalui kecenderungan educational turn sejak 1989 di Kuba, yang mengupayakan aspek pedagogi dengan partisipasi publik. Educational turn diupayakan sebagai jembatan untuk menghubungkan relasi geopolitik antar negara bekas jajahan. Asana Bina Seni yang digelar oleh Biennale Jogja Equator ia tandai sebagai upaya memberi ruang kepada publik muda yang secara umum sulit menjajaki karir di bidang kesenian. Keterlibatan lima penulis muda, yakni Saraswati N., Sabrina, Duls Rumbawa, Arlingga, dan Tomi Firdaus dalam penulisan buku ini dilihat sebagai proses pedagogi yang tak luput dari kerentanan.
Di samping beberapa kerentanan yang bagi saya memang krusial, ada satu yang membuat saya gelisah. Soal akses literatur yang minim. Dikatakan demikian, “ada satu buku yang khusus mendokumentasikan pameran Contemporary Art of the Non-Aligned Countries, tetapi harga pasarannya tentu saja tidak bersahabat bagi mahasiswa yang sedang merintis karir sebagai penulis.” Jika yang dimaksud adalah buku “Contemporary Art of the Non-aligned Countries: Unity in Diversity in International Art : Post-event Catalogue” terbitan Balai Pustaka, 1977, nampaknya mereka lupa kalau ada sebuah lembaga arsip bernama IVAA yang punya buku itu dan bisa dipinjam secara mudah. Saya jadi curiga apakah Asana Bina Seni betul-betul menjadi platform pedagogi atau justru pencarian pekerja muda prekariat. Peminjaman istilah self-organizing precariat dari Anthony Davies oleh Harmantyo jadi masuk akal, sebagai kritik kepada Biennale Jogja Equator itu sendiri. Semoga saya salah.
Lalu, saya kira hanya tulisan Budi yang membicarakan posisi publik, satu subjek yang jarang sekali diperhatikan. Berporos pada pentingnya seni dalam proses edukasi, Budi mempersoalkan batas yang tak terlihat antara “publik” dan seni, terutama dalam konteks hajatan Biennale Jogja Equator. Praktik berfoto diri di depan karya, yang dulu sempat menjadi topik sindiran dan akhir-akhir ini mulai diterima, menjadi fenomena pemantik elaborasi batas tersebut. Perhelatan seni bagi publik tak ubahnya sebagai perayaan. Dan berfoto di depan karya kemudian mengunggahnya ke media sosial adalah bentuk keterlibatan publik di tengah semakin kaburnya public sphere. Tapi Budi juga menggarisbawahi upaya-upaya penyelenggara hajatan seni dalam mengakomodasi publik setepat mungkin. Ia mengajak publik untuk turut memiliki keberaksaraan visual sebagai jembatan untuk memahami peristiwa seni sebagai bagian dari pendidikan dalam arti luas.
Sekali lagi, di buku ini total ada 14 tulisan. Dan saya baru menyinggung 3 buah. Lainnya tentu menawarkan refleksi yang bervariasi, mulai dari aspek pengalaman seniman dengan warga, estetitasi lokalitas, posisi suara perempuan, hingga posisi Biennale Jogja Equator di percaturan global. Sebagai refleksi 10 tahun perjalanan, buku ini jelas penting untuk dicermati. Sehingga, kita bisa memperkirakan peristiwa, respon, dan langkah apa yang mampu dimungkinkan selanjutnya. Apakah Biennale Jogja Equator sebagai peristiwa merangsang kita untuk memikirkan ulang situasi kerasan (istilah St. Sunardi dalam salah satu Pengantar buku ini, berjudul “10 Tahun Khatulistiwa Sebuah Perjalanan Membuat Kartografi”) dan melampauinya?
Judul : Nothing is Forever (Rethinking Sculpture in Singapore)
Editor : Cheng Jia Yun, Lim Shujuan, Joleen Loh, Seng Yu Jin
Desain : CROP.SG
Bahasa : Inggris
Tahun terbit : 2012
Penerbit : National Gallery of Singapore
Review oleh : Isabel Irwin (Izi)
This book is based on research conducted by the National Gallery Singapore and since the last major sculpture exhibition of note organized by the National Museum art gallery in 1991. While critically surveying the sculpture scene in Singapore, the authors explore the role of practitioners and mediums in the shaping of Singapore’s art history.
An exhibition is currently being held in the national Singapore art museum from 29 Jul 2022 – 05 Feb 2023 with the same title, and this book reflects pieces being displayed in that exhibition. This exhibition and the book that accompanies it are meant to represent a turning point in Singaporian art and sculpture, allowing artists to express themselves in new ways and find new methods of representing topics that they want to talk about, representing a shift in what sculpture ‘should’ be and moving towards new ways of sculpture.
Divided into four sections titled “power”, “the spiritual”, “the corporeal” and “making, unmaking, remaking”, the authors tackle a largely unexplored area of art history through diverse perspectives. In addition, interviews with artists and curators tackle questions such as “what is sculpture” and “what makes an artist and artist”. The way in which these topics are explored allow the reader to form their own opinion on complex matters.
Covering the shift of sculpture from the constraints of hyper-realism to abstraction, this book looks at the way in which artists in southeast Asia took advantage of this new artistic freedom. Although the importance of human figure continued to be important in Singapore’s art world, artists in Singapore were in step with the global shifts towards abstraction, divorcing from the obligations of likeness.
The interrelation of art and politics is present in all art forms, but sculpture is often the most impacted. Commissioned pieces by both private and public companies, as well as the government itself, allow artists to receive recognition for their work and improve their practices. Do descriptions of the intended meanings of artworks add to the viewer’s experience or limit it? Is it the viewer’s interpretation that matters or the artists’ intended meaning? In the “the spiritual” section, the many references towards the unresolved relationship between modern sculptural art and religious iconography challenge the viewers perspective on what makes a sculpture ‘art’ or simply repetition of previously designed ideas.
Materials’ meanings and their relationship to the body is paralleled in many of the interviews conducted, alongside the developments of the use of bodies in performance art alongside the sculpture. The tracking of how the body is represented over time reveals the shifts in sculptural values. As time moved on, the boundaries between sculpture, painting, and performance began to blur, and the sculptural discipline in Singapore became more complex and multi-faceted as artists began to experiment with an assortment of methods and materials, expanding sculpture’s parameters. The last two chapters of this book are dedicated to mapping the ASEAN sculpture gardens and a timeline of sculpture from the late 1800s to 2022.
This book is very important for anyone who wishes to learn more about the development of sculpture in Asia and the current views on art making in Singapore and how it’s developing.
[terjemahan dalam Bahasa Indonesia]
Buku ini didasarkan atas penelitian oleh Galeri Nasional Singapura dan sejak pameran patung catatan besar terakhir yang diselenggarakan oleh galeri seni Museum Nasional pada 1991. Sambil meninjau secara kritis skena patung di Singapura, para penulis mengeksplorasi peran praktisi dan medium dalam membentuk sejarah seni Singapura.
Buku ini mencerminkan potongan-potongan yang ditampilkan dalam pameran “Nothing is Forever” yang diadakan pada 29 Juli 2022 – 05 Februari 2023 di museum seni nasional SIngapura. Merefleksikan titik balik dalam seni secara umum dan seni patung secara khusus di Singapura, “Nothing is Forever” memungkinkan para seniman untuk mengekspresikan diri mereka dengan cara baru dan menemukan metode baru dalam merepresentasikan topik yang ingin mereka bicarakan, mewakili pergeseran macam apa yang seharusnya terjadi, dan bergerak menuju cara-cara baru.
Dibagi menjadi empat bagian, yakni “Power”, “The spiritual”, “The Corporeal” and “Making, Unmaking, Remaking”, para penulis mengeksplorasi area sejarah seni yang sebagian besar belum dijelajahi melalui berbagai perspektif. Selain itu, wawancara dengan seniman dan kurator menjawab pertanyaan seperti “Apa itu patung?” dan “Apa yang membuat seorang seniman dan seniman?”. Cara topik-topik ini dieksplorasi memungkinkan pembaca untuk membentuk pendapat mereka sendiri tentang masalah yang kompleks.
Meliputi pergeseran seni pahat dari kendala hiper-realisme ke abstraksi, buku ini melihat cara para seniman di Asia Tenggara memanfaatkan kebebasan artistik baru ini. Meskipun pentingnya sosok terus menjadi penting dalam dunia seni Singapura, para seniman di sana berdinamika sejalan dengan pergeseran global menuju abstraksi, memisahkan diri dari kewajiban keserupaan.
Keterkaitan antara seni dan politik hadir dalam semua bentuk seni, tetapi seni pahat seringkali yang paling terpengaruh. Karya pesanan perusahaan swasta maupun publik, serta pemerintah itu sendiri, memungkinkan seniman menerima pengakuan atas karya mereka dan meningkatkan praktik mereka. Apakah deskripsi makna yang dimaksud dari karya seni menambah pengalaman pemirsa atau justru membatasinya? Mana yang penting, interpretasi pemirsa atau makna yang dimaksudkan seniman? Pada bagian “The Spiritual”, banyak referensi tentang hubungan yang belum terselesaikan antara seni pahat modern dan ikonografi religius yang menantang perspektif pemirsa perihal apa yang membuat patung menjadi ‘seni’ atau sekadar pengulangan ide yang dirancang sebelumnya.
Makna material dan hubungannya dengan tubuh disejajarkan dalam banyak wawancara yang dilakukan, di samping perkembangan penggunaan tubuh dalam seni pertunjukan di samping patung. Pelacakan bagaimana tubuh direpresentasikan dari waktu ke waktu mengungkapkan pergeseran nilai pahatan. Seiring berjalannya waktu, batasan antara seni pahat, lukisan, dan pertunjukan mulai kabur, dan disiplin seni pahat di Singapura menjadi lebih kompleks dan beragam karena para seniman mulai bereksperimen dengan beragam metode dan bahan, memperluas parameter seni pahat. Dua bab terakhir buku ini didedikasikan untuk memetakan taman patung ASEAN dan linimasa seni patung dari akhir 1800-an hingga 2022.
Buku ini sangat penting bagi siapa saja yang ingin mempelajari lebih lanjut tentang perkembangan seni patung di Asia, pandangan terkini tentang produksi seni di Singapura, serta bagaimana perkembangannya.