oleh Krisnawan Wisnu Adi
Sebuah video pendek dalam fitur Reels diunggah oleh kurator Kuss Indarto melalui akun Instagramnya, @sanjayaindarto pada 18 Maret 2023. Itu adalah rekaman Kuss atas sebuah kertas-kertas HVS A4 yang ditempel pada tembok di sudut suatu perempatan lampu merah. Kertas-kertas itu ditempel dan menyampaikan suatu pernyataan berbunyi, “BANYAK GALERINYA TAPI ITU ITU AJA ORANGNYA”. Kuss menambahi sebuah teks di video unggahannya, yakni “Kritik untuk Galeri”. Setelah melihat itu saya jadi ingat tebaran sindiran serupa di jagad media sosial. Kita kenal ada @indoartno, @antikolektifkolektifclub, dan lain-lain yang follower-nya belum sebanyak dua itu. Jenis kritik dari publik, di tempat publik, untuk kesenian.
Apakah kita semua memaknai kritik-kritik semacam itu secara sambil lalu? Apakah kritik-kritik itu betul-betul mencerminkan lanskap medan seni kita? Apakah itu semua termasuk ke dalam kritik seni, ketika kita sering menemukan pernyataan bahwa kita tidak punya kritikus seni?
Sorotan Arsip ini mengulas fenomena kritik-kritik seperti di atas dalam kaitannya dengan perjalanan kritik seni kita. Tentu tulisan ini sangat singkat dan penuh lubang. Namun, dengan bantuan beberapa arsip koleksi IVAA, tulisan ini berupaya memposisikan kritik-kritik vernakular di atas sebagai bagian tak terpisahkan dari problem kritik seni serta medan seni itu sendiri dari waktu ke waktu.
Kritik Seni dan Lalu Kritik Kuratorial
Tentu saya harus mengatakan bahwa kritik seni di Indonesia sudah ramai di era pasca kemerdekaan. Sebut saja di jaman Soedjojono, L. Setiyoso, Basuki Resobowo, Trisno Sumardjo, Oesman Effendi, Sudjoko, Kusnadi, dll. Dan penyoalan kritik seni baru muncul di masa 1970an. Setidaknya kita bisa lihat fenomena ini dari tulisan Agus Darmawan T. yang berjudul “Senirupawan dan Komentator Seni Tak Pernah Rujuk?” terbitan Suara Karya pada 1 Oktober 1976. Pergeseran manifestasi karya seni rupa dari yang representasional, semi representasional, hingga non-representasional membuat para komentator seni pada saat itu harus turut mengulas latar belakang si seniman, karena karya seni menjadi semakin interpretatif. Namun, komentar-komentar seni yang mengikuti perkembangan manifestasi karya justru dianggap tidak objektif, melanggengkan kefiguran.
Agus juga menyebut bahwa Dan Suwaryono, ketika diancam oleh banyak pelukis karena kritiknya yang dianggap terlalu pedas, memutuskan untuk berhenti menjadi komentator seni dan belajar karate. “Terlalu banyak komentator seni rupa (lukis) yang dianggap jadi figur “pencelaka” karya seni. … Gejala itulah yang berakibat surutnya orang-orang yang berminat jadi penulis seni rupa (lukis) yang serius sekarang ini”, ungkap Agus. Intinya, para seniman dan komentator seni saat itu (1970an) ternyata bersitegang.
Namun, meski menyebut kalau minat menjadi penulis seni rupa surut, Agus menandai beberapa orang yang konsisten melakukan kritik seni. Beberapa di antaranya adalah Sudarmaji, Sanento Yuliman, Bambang Bujono, dan dari kelompok wartawan media massa, seperti Putu Wijaya (majalah Tempo), Ateng Winaryo (Suara Karya), Sides Sudyarto DS (Kompas), dll.
“Apa Kabar Kritik Seni Rupa Indonesia?”, sebuah pertanyaan sekaligus judul tulisan Sudarmaji yang dimuat di Kompas pada 1980. Ia menjawab sendiri pertanyaannya, “Ternyata baik-baik saja. Sesuai dan sepadan nilai dengan perkembangan seni rupa itu sendiri”. Tulisannya itu juga menunjukkan kepada kita kalau kritik seni rupa di Indonesia pada masa itu cukup riuh. Barangkali berkaitan dengan diserangnya kritik seni oleh para seniman, Sudarmaji secara halus menulis demikian, “Sebab kritik seni yang lahirnya tentu menyertai kegiatan seni tidak mungkin memberikan apa yang terbaik kecuali yang pernah diberikan karya seni itu sendiri”. Hemat saya, kritik seni bagi Sudarmaji itu sejatinya untuk kebaikan seni, kok.
Memang seperti apa para seniman melihat kritik seni saat itu selain dianggap tidak objektif? Mengenai itu tulisan AD Pirous, “Tanggapan Kreator Terhadap Penulisan Seni Rupa di Indonesia” pada 12 Februari 1983, cukup menggambarkan. Di situ dijelaskan bahwa seni modern itu berbeda dengan seni tradisi, karena ia berjalan dengan kesendirian, tidak kolektif seperti seni tradisi. Di dalam seni tradisi, seni betul-betul menjadi bagian dari masyarakat. Maka, kehadiran kritikus seni menjadi harapan untuk menghubungkan jurang antara seni modern dan masyarakat. Tapi dengan meminjam gagasan Susanne K. Langer, “bahwa seni bukanlah deskripsi fakta objektif atau analisa terhadapnya seperti ilmu pengetahuan; pada seni selalu masih tinggal tersembunyi subjektif si seniman sebagai faktor penentu”, Pirous melihat ada yang salah dengan kritik seni saat itu.
Beriringan dengan memudarnya minat sastrawan untuk menjadi kritikus seni rupa dan digantikan wartawan cum kritikus seni, serta kemunculan kampus-kampus seni yang menggeser peran sanggar, koran, dan majalah kebudayaan sebagai ruang kreatif, Pirous merasa penulisan kritik seni terlalu reportatif, ringan bobotnya, atau belum berwibawa. “Sampai pada saat ini kita belum melihat adanya wibawa pada kritik seni rupa itu, seperti halnya wibawa dan bobot yang telah dicapai oleh seni rupa kita beserta senimannya”, ungkap Pirous. Wibawa ala seni modern kalau boleh saya resapi. Konon menurut Sudarmaji dalam “hubungan tidak semarak antara kritikus dan seniman senirupa”, 8 April 1972, waktu itu kritik seni yang pedas bisa menjatuhkan harga karya. Agak berbeda dengan wibawa kritik seni versi lainnya, sebagaimana diulas oleh Enin Supriyanto dalam “Ihwal Kritik Seni Rupa yang Berwibawa” di Kompas, 7 September 2001, dengan menunjukkan Sanento Yuliman yang menaruh perhatian besar pada seni “murba”, “kerajinan”, dan “desain” dalam kritik seninya.
Waktu berjalan, dan pamor kritikus seni makin menurun. Itu tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Barat sana. Ulasan panjang dari Arham Rahman, “Dari Kritik Seni ke Kritik Kuratorial”, dalam SKripta, Volume 04/ Semester 2/ 2016, bisa menjadi rujukan penting tentang itu. Tapi yang paling penting dari tulisan Arham adalah penjelasan mengenai pergeseran kritik seni ke kritik kuratorial.
Setidaknya ada beberapa hal yang menandai pergeseran itu. Esai penting soal seni tidak lagi di majalah seni tapi umumnya di katalog. Adanya pertemuan antarkurator untuk bertukar gagasan. Meski sama-sama sebagai mediator antara karya seni dan publik, profesi kurator lebih luwes dari pada kritikus, karena cenderung meninggalkan penilaian estetik teoritis yang ketat dan afirmatif terhadap karya dan seniman kolaboratornya. Kurator lebih fokus ke pameran, tidak hanya objek seni. Selain itu, kurator lebih terjun ke dalam sistem kerja dunia seni; menjalin relasi dengan kolektor, galeri, dll. Maka, ia tidak hanya menghubungkan seniman dengan publik, tapi juga institusi seni dengan publik.
Dengan menekankan besarnya peluang untuk diperdebatkan, Arham mengatakan bahwa kurator sepertinya menjalankan dua fungsi sekaligus: “kurator-kritikus”. Kritik kuratorial setidaknya membawa wacana-wacana yang lebih segar, tidak melulu soal hubungan ambivalen seniman-kritikus sebagai warisan keriuhan sejak 1970an. Otonomi kurator di Indonesia, ditandai dengan awal kemunculannya yang tidak terikat secara formal dengan sebuah galeri atau museum seperti di Barat (Jakarta Biennale IX pada 1993 dengan kurator Jim Supangkat misalnya), juga menjadi potensi penciptaan dialog terbuka atas karya seni dan bahkan teknis pemajangannya dalam hubungan dengan makna.
Namun, dijelaskan pula bahwa posisi kurator yang otoritatif itu juga punya kelemahan, yakni ketika tanpa kemampuan yang memadai seseorang bisa mendaku sebagai kurator. Alih-alih modal kultural, modal sosial (jejaring sosial) yang paling menentukan. Dan pada titik tertentu, situasi itu menumbuhkan perdebatan di banyak aspek. “Kalau sudah demikian, wajar kiranya bila ada yang mengeluhkan kualitas kurator dan akhirnya menimbulkan perdebatan yang merembes kemana-mana”, jelas Arham. Saling sindir di Facebook adalah salah satu contoh. Meski biasanya mengundang semarak, bentuk kritik macam itu cepat menguap. Mudah menguapnya berbagai kritik di Facebook itu diiringi oleh sebuah pertanyaan, “Di mana kritik seni kita?”.
Kritik Selanjutnya: Kritik Medan Seni
Satu kewajaran yang digarisbawahi Arham, yakni perdebatan yang merembes ke mana-mana, adalah hal yang amat penting untuk kita elaborasi. Dan itulah yang terjadi akhir-akhir ini, salah satunya dengan fenomena kemunculan beragam sindiran di tembok virtual maupun tembok beton seperti dalam unggahan media sosial Kuss Indarto.
Saya pikir teman-teman sudah cukup akrab dengan @indoartno dan @antikolektifkolektifklub. Dua akun media sosial ini memproduksi banyak sekali sindiran terhadap lingkungan kesenian di sekitar kita. Umumnya menggunakan Instagram dan Twitter, mereka biasanya membungkus sindiran-sindiran itu dengan gambar yang telah dimodifikasi. Gambar bisa diambil dari internet, lalu dibubuhi teks, atau takarir untuk memberi konteks.
Misal, ada satu unggahan konten dari @indoartno pada 2 Desember 2020 yang menggunakan foto Sule, pelawak Indonesia, dari beberapa sudut wajahnya. Dari wajah Sule yang sedang minum dengan dahi berkerut hingga yang mulutnya terbuka sebagai ekspresi keheranan. Ada teks yang dibubuhkan demikian, “melihat junior diundang biennale”. Dari konten ini kita bisa berasumsi bahwa lingkungan biennale (meski tidak jelas biennale mana yang dimaksud) tak ubahnya seperti senioritas di sekolah menengah atau kampus.
@antikolektifkolektifclub juga kurang lebih melakukan hal sama. Misal, dalam kontennya pada 25 Agustus 2022, mereka mengunggah sebuah foto minuman-minuman secara urut dari atas: berbagai minuman beralkohol merk mahal dengan teks “Art Dealer”, kopi Starbucks dengan teks “Curator”, satu bungkus Coffeemix dengan teks “Artist”, dan dua cup Kopikap dengan teks “Art Handler”. Apakah ini soal hirarki kesejahteraan para agensi dalam suatu hajatan kesenian, atau lebih parahnya sebuah art-cultural sweatshop capitalism?
Apa yang diproduksi oleh @indoartno, @antikolektifkolektifclub dan sebuah mural yang diunggah oleh Kuss Indarto menunjukkan bahwa kritik seni di tempat kita tidak sepenuhnya hilang kabar. Ia bertransformasi. Bukan terbatas pada kritik seni, kuratorial, tapi bahkan medan seni itu sendiri. Bentuk kritik semacam itu melibatkan relasi kerja dalam konteks industri seni, satu hal yang cenderung hanya dibatasi oleh pembicaraan seputar pasar. Anonimitas yang juga merupakan salah satu ciri dari kritik macam ini bagi saya adalah representasi dari publik itu sendiri. Bahwa kritik tak harus berangkat dari seseorang yang punya pengaruh kuat di medan seni, melainkan bisa dari “bukan siapa-siapa”, di manapun dia suka, dan tak harus akademik nan estetik-teoritis. Publik tak melulu sebagai target praktik partisipatori yang sering terpeleset kepada jargon semata. Transformasi lainnya juga bisa kita tandai dari perluasan kritik dalam jejaring suara vernakular yang turut diupayakan oleh kedua subjek itu melalui platform academicfantasy.xyz.
Kritik seni bukannya hilang kabar atau bahkan mati. Ia bertransformasi menjadi kritik kuratorial dan kemudian kritik medan seni. Suara-suara vernakular tersebut justru memberi sinyal gawat kepada kita bahwa bukan hanya karya yang bisa dipermasalahkan, sebagaimana elaborasi perihal kritik seni sebagai disiplin keilmuan dari Agung Hujatnikajenong, tapi bahkan medan seni kita yang memang bermasalah.
*Sampul tulisan diambil dari gambar unggahan @antikolektifkolektifclub di Instagramnya pada 17 Februari 2021.