Berikut adalah beberapa buku baru koleksi perpustakaan IVAA. Semuanya bisa diakses dengan mengunjungi perpustakaan kami pada Senin-Jumat jam 09.00-17.00 WIB. Untuk peminjaman dibawa pulang, rekan-rekan harus menjadi anggota KawanIVAA. Simak info detailnya di link ini.
Judul buku : Nisan Hanyakrakusuman: Batu Keramat dari Pasarean Sultanagungan di Yogyakarta
Penulis : M. Yaser Arafat
Desain sampul : Abdul Syukur
Layout : Awaludin
Penerbit : SUKA PRESS
Tahun terbit : 2021
Maklum jika makam selalu dilekatkan dengan perihal mistis yang gelap-gelap. Selain karena memang banyak orang yang mereproduksi pandangan itu, kolonialisme dan “proyek pencerahan” Belanda adalah biang keladi yang harus kita sadari bersama. Dalam pengantar buku ini, Ki H. Ashad Kusuma Djaya menyebut bahwa kelahiran Javanologi sebagai bagian dari politik etis telah mencabut pengetahuan budaya orang Jawa dari alam pikir mereka. Pengetahuan tentang makam pun terkena imbasnya.
Padahal, sejak kerajaan Mataram Islam berdiri, makam (pasarean, dalam Bahasa Jawa) termasuk ke dalam konsepsi tujuh ruang publik dalam kultur Jawa (Sapta Mandala Srawung): omah (rumah), lurung (jalan), langgar (tempat ibadah), pasar (pasar), donya jembar (dunia luas), tuk (mata air), dan pasarean (pemakaman). Kemudian pada masa kekuasaan Sultan Agung, praktik ziarah makam dijadikan sebagai salah satu kebijakan publik. Itu sebabnya sampai sekarang kita mengenal adanya bulan ruwah. Tujuannya adalah untuk menguatkan ikatan masyarakatnya. Semua peziarah yang datang ke suatu makam tertentu akan saling berinteraksi, melacak silsilah, dan mencari kesamaan hubungan persaudaraan.
Selain itu makam juga menjadi media edukasi melalui berbagai pesan simbolik yang tertambat di nisan. Sejak masa Panembahan Senopati, sultan Mataram pertama, Islam telah banyak masuk dalam berbagai bentuk kebudayaan. Dan dibuatnya Sastra Gendhing menjadi semacam panduan untuk membaca semua simbol budaya itu. Namun, sejak politik etis hadir, pengetahuan tentang makam berubah menjadi mitos mistis semata. Sejak itu pula kita jadi buta simbol budaya.
Buku ini hadir sebagai upaya M. Yaser Arafat merespon pembutaan epistemik itu. Sejak 2011 ia banyak menghabiskan waktu di makam-makam di Jawa, terutama wilayah Yogyakarta. Sebelumnya pun ia telah berkeluyuran di berbagai candi.
Dalam perjalanannya mengunjungi makam-makam ia mencoba memahami segala simbol yang ia temui. Mulai dari nisan, kijing, lanskap tetumbuhan dan sosial, serta cerita lisan dari masyarakat setempat. Selain ingin menimba ilmu dari para leluhur (ngangsu kaweruh), ia juga tidak ingin terlalu tersedot dalam cerita politik kerajaan yang selalu penuh dengan pertumpahan darah antar saudara.
Fokus yang ia ambil adalah era Sultan Agung atau yang ia sebut dengan sultanagungan. Itu juga karena wilayah jangkauannya dominan di area Yogyakarta dan sekitarnya. Alih-alih langsung menjadikan makam-makam itu sebagai objek tatapan penelitian yang sekuler dan kering, Yaser Arafat menggunakan laku upacara sebagai metode. Menabur bunga, berdoa, serta menggunakan bahasa yang lumrah digunakan masyarakat sekitar sebagai pijakan memahami simbol-simbol yang tertangkap. Tapi upacara sebagai metode ini bukan berarti menolak mentah-mentah pendekatan akademis ala barat. Seolah ia punya keyakinan bahwa penolakan macam itu merupakan upaya sia-sia. Ia justru memanfaatkan pendekatan struktural Levi-Strauss untuk melihat sesuatu yang sebelumnya tak terlihat dan dalam kesatuan struktur. Ki H. Ashad Kusuma Djaya menegaskan bahwa pendekatan ini mirip dengan filsafat Sastra Gendhing.
Yaser Arafat menyebut bahwa penelitiannya ini adalah bentuk ajakan kepada publik untuk berpengetahuan dari dalam. Tujuannya tidak muluk-muluk, yakni membantu siapapun yang ingin merawat makam di sekitar mereka, entah itu dengan membaca simbol, mendoakan, atau membersihkannya.
Judul buku : SANTRI WARIA: Kisah Kehidupan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta
Penulis : Masthuriyah Sa’dan
Penyunting : Shinta Maharani
Penyelaras isi : Rezza Maulana
Proofreader : Shinta Ratri & Rully Malay
Fotografer : Nico Haryono
Tata sampul : Alfin Rizal
Tata isi : Farhana
Pracetak : Antini, Dwi, Wardi
Penerbit : DIVA Press
Tahun terbit : 2020
Masthuriyah Sa’dan mengulas dengan sangat detail seluk-beluk pondok pesantren Al-Fatah, Kotagede, Yogyakarta. Ia membagi buku ini ke dalam 5 bab. Pertama, bicara tentang sejarah pondok pesantren Al-Fatah. Mulai dari proses berdiri, pergantian kepemimpinan, konflik yang ada berikut resolusinya, pendanaan, metode pengajaran, dll. Kemudian pada bab dua serta tiga terdapat banyak cerita dari para santri waria serta ustad yang pernah mengajar di sana. Selain itu, Masthuriyah juga menghadirkan pendapat dari para alim ulama tentang waria dalam konteks relijius.
Buku ini amat penting untuk memberikan pengetahuan lain tentang waria yang selalu dilihat semata sebagai makhluk biologis. Padahal, para waria adalah makhluk sosial dan relijius yang selain punya hak sama, juga punya kewajiban serta kebutuhan mengalami ketentraman spiritual. Itulah yang diungkapkan oleh Marzuki Wahid dalam sambutan di buku ini. Bahkan, ia mengatakan perlunya menyediakan aturan-aturan ibadah untuk waria, “Fiqh Waria”. Dan ini menjadi tantangan bagi para mujtahid.
Shinta Maharani pun dalam catatan editor menulis bahwa Kiai Mustofa Bisri atau Gus Mus menyebut bahwa Islam tak hanya mengenal laki-laki dan perempuan, tapi juga keberadaan khuntsa. Bagi Gus Mus, orang yang mengatakan Allah hanya menciptakan laki-laki dan perempuan itu berarti kurang mengaji. Alih-alih terheran dan terburu-buru menghakimi, melalui buku ini kita bisa belajar rendah hati. Tak semua kerumitan manusia bisa kita pahami dengan utuh.
Judul buku : Sebelum Filsafat
Penulis : Fahruddin Faiz
Penyunting : Kaha Anwar & Wahidian
Pemeriksa aksara : Ainia Prihantini
Perancang sampul : @nocturvis
Penata aksara : Zuhdi Ali
Penerbit : MJS Press
Tahun terbit : 2013
Meski bukan baru, buku ini laris. Oleh karenanya pada 2021 Sebelum Filsafat dicetak untuk kali ketujuh. Bagaimana bisa buku tentang filsafat laris? Padahal banyak anggapan kalau filsafat itu membosankan, buang waktu, tidak produktif. Orang-orangnya gondrong, pengangguran, pembangkang, anti-spiritual, dll. Mengerikan! Jawabannya mungkin karena buku ini justru bukan tentang teori filsafat. Alih-alih membicarakan pemikiran-pemikiran Aristoteles, Aquinas, Hegel, dan orang-orang besar lainnya, buku ini mengajak siapapun yang ingin tak terburu-buru ke filsafat; menyiapkan diri lahir dan batin; mengenali ruang “sebelum filsafat”.
Fahruddin Faiz, pengajar di Ngaji Filsafat ini, mengemas Sebelum Filsafat secara ringan. Di bagian “Sebuah Pengantar yang Agak Dipanjang-panjangkan” ia bahkan memberi segmen FAQ. Mulai dari apa itu filsafat, mengapa filsafat penting, hingga cara belajar filsafat yang tepat. Dan di bab-bab selanjutnya Fahruddin Faiz lebih mendetailkan sembari memberi pengetahuan seputar kebijaksanaan filsafat, tugas-tugas filosof, beriman sambil berfilsafat, dst.
Sebelum Filsafat tidak akan membuat pembaca langsung menjadi ahli filsafat. Akan tetapi buku ini justru ingin mengajak kita untuk menyadari secara mendalam bahwa semua orang adalah filosof. Sebuah situasi yang jarang disadari dan selalu tertutupi oleh penerimaan hal-hal secara taken for granted. Singkatnya, buku ini mengajak supaya pembaca tidak mengalami keterpenjaraan sebagaimana yang diungkapkan Bertrand Russell: “Mereka yang tidak pernah hanyut dalam aliran filsafat akan menjalani hidupnya terpenjara dalam prasangka-prasangka yang lahir dari anggapan umum, dari kepercayaan-kepercayaan pada satu era atau satu negara, serta dari keyakinan-keyakinan yang berkembang dalam pikirannya tanpa disertai dan dipahami dulu melalui akal sehatnya secara merdeka …”.
Judul buku : DARI RUANG KESEHARIAN: Penerbitan Zine dan Pengarsipan
Penulis : Doni Singadikrama, Fandy Achmad, Ignatius Suluh Putra, Rahma Azizah
Penyunting : Prima Hidayah
Ilustrasi sampul : Annisa Rizkiana Rahmasari
Penata letak : F.X Hari Songko
Penerbit : Warning Books
Tahun terbit : 2021
Berisi empat esai yang ditulis oleh penggiat Indicszinepartij. Mulai dari “Sejarah Zine di Indonesia”, “Praktik Pengarsipan dalam Konteks Zine dan Terbitan Mandiri”, “Zine dan Praktik Artistik”, hingga “Melihat Zine dan Terbitan Mandiri melalui Perspektif Queer”.
Masing-masing esai dipungkas dengan wawancara bersama pelaku penerbitan mandiri dan pengarsip partikelir yang bernas. Ada Wok The Rock yang membahas perkembangan infrastruktur zine; Kunci Study Forum & Collective yang fokus dengan distribusi pengetahuan dan pengarsipan; Annisa Rizkiana Rahmasari dengan zine sebagai playground dan praktik berkesenian; dan Dede Oetomo yang memetakan pasang-surut penerbitan mandiri oleh komunitas queer.
Buku ini merupakan ikhtiar Indicszinepartij menularkan praktik penerbitan dan pengarsipan mandiri ke publik yang lebih luas. Bahwa ruang keseharian berisi detail-detail “ajaib” yang sayang apabila tak diabadikan.
Judul buku : Ensiklopedia Musik Indonesia – Jilid I: Lagu Ambon dan Maluku
Penulis : Siti Zurinani, Nindyo Budi Kumoro, Franciscus Apriwan, Firstdha Harin R.R
Pengumpul data : Thiovilia Siahaya, Gilang Mahadika, Muhammad Ramadhan, Lineea Gallib Maheswara, Iqbal Addiqri, Verroll Okta P, Adara Nailarifqa, Ealgn Pradanaya, Artha Veraulina, Ilham Devin, Nazhif Khayran
Penyunting : Faizzatus Sa’diyah, Elsa Izaty Permatasari
Ahli data gambar : Achmad Djauhari
Tata letak & desain : Prayogi Machrus Adi
Mitra kerja sama : Ambon Music Office, Program Studi Antropologi Universitas Brawijaya
Penerbit : MNC Publishing
Tahun terbit : 2022
Buku ini dipublikasikan oleh Museum Musik Indonesia dalam rangka membantu Kota Ambon merawat musik daerahnya. Pada 2019 Kota Ambon menyandang status sebagai City of Music yang diakui oleh UNESCO. Merawat musik daerah adalah salah satu tanggung jawabnya. Maka, buku ini menjadi salah satu ikhtiar Museum Musik Indonesia dalam rangka turut membantu Kota Ambon merawat musik-musik daerahnya agar bisa dinikmati oleh generasi-generasi mendatang.
Sebuah ensiklopedia yang berisi 100-an lagu Ambon yang diambil dari koleksi fisik Museum Musik Indonesia. Lirik atau syairnya dikaji untuk mengetahui makna yang tersirat. Salah satu hal yang menarik adalah bahwa metode pengkajian lirik dilakukan dengan metode analisis teks. Semua lirik dikompilasi menjadi kumpulan teks dan diidentifikasi kata maupun frasa apa yang dominan. Akhirnya, ditemukanlah tiga tema besar. Pertama, tentang keperempuanan yang bisa merujuk pada sosok idaman atau tanah yang indah sebagai ruang hidup. Kedua, tema rindu pulang kampung. Di sini, ratusan lagu ini bicara tentang kultur migrasi yang sudah terjadi beratus-ratus tahun silam. Terakhir, ratusan lagu itu juga bicara soal pesta.
Proyek ini dikerjakan bersama dengan Ambon Music Office dan Prodi Antropologi Universitas Brawijaya dengan dukungan dari International Centre for the Study of the Preservation and Restoration of Cultural Property (ICCROM) Italia dan Cultural Heritage Administration (CHA) Korea.