Rumah IVAA
2 Oktober 2019
Rumah IVAA
2 Oktober 2019
oleh Hardiwan Prayogo
Rabu sore, 2 Oktober 2019, Rumah IVAA kedatangan Hikmat Budiman, Pomad Wali, dan Octalyna Puspa Wardany. Mereka sengaja hadir untuk menjadi pemantik dalam diskusi buku yang berjudul Ke Timur Haluan Menuju. Buku ini berangkat dari hasil penelitian lapangan para peneliti Populi Centre di berbagai wilayah di Kepulauan Maluku. Berbagai isu dan persoalan dihadirkan dalam buku setebal 386 halaman ini. Mulai dari yang paling umum ketika membicarakan wilayah timur Indonesia seperti pembangunan infrastruktur. Kemudian mencoba lebih dalam dengan menelisik sejarah panjang tanah Maluku dengan rempah-rempah, masyarakat diaspora antara Seram Timur dan Papua Barat, gerakan adat dan transisi agraria, segregasi sosial dan spasial generasi muda Ambon, hingga studi kepemimpinan adat.
Dalam diskusi ini, arah pembicaraan mencoba dikerucutkan pada persoalan Jawa-sentrisme, khususnya dalam pembangunan wacana dan infrastruktur kesenian. Kurang lebih demikian yang disampaikan oleh Yan Parhas, yang bertindak sebagai moderator diskusi. Dalam wacana ini, ketimpangan juga terjadi. Pertanyaannya adalah apakah ketimpangan lahir karena membayangkan pertumbuhan dan kemajuan yang sama? Apakah justru dengan berbagai ketimpangan, emansipasi justru bisa terjadi? Buku ini kemudian dilihat sebagai pemaknaan ulang atas nilai-nilai kemajuan tersebut. Dengan kata lain, timur sebagai pijakan berkembang. Maka untuk penajaman ke arah ini, dihadirkan Octalyna Puspa Wardany, yang akrab dipanggil Opee. Selain aktif sebagai kurator dan penulis berbagai pameran Opee juga merupakan Pendiri Rumah Produksi Seni Gerimis Ungu, inisiator proyek seni yang melibatkan antropolog dan seniman tahun 2011-2014. Sedangkan Pomad Wali adalah pria asal Maluku alumnus pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, dan telah menyunting beberapa buku.
Sebagai pemantik pertama, Opee menekankan pada rentang pembacaan buku Ke Timur Haluan Menuju yang cukup jauh. Ia bercerita bahwa buku ini membuatnya teringat tentang asal mula rempah-rempah tersebar ke seluruh dunia melalui kebudayaan maritim masyarakat Maluku, mencapai masa keemasan pada abad ke-9, hingga kemudian Eropa menginvasi dan dimulailah kolonisasi.
Dalam konteks yang lebih luas, Opee menilai bahwa ada 3 pilar wilayah masyarakat adat, yaitu wilayah, sejarah, dan sistem nilai. Masyarakat adat yang selalu hidup dengan alam, menjadi bagian dari upaya dunia menjaga ekosistem alam. Secara sosial, masyarakat adat bisa beradaptasi dengan masyarakat modern. Meski pada akhirnya sosok raja menurun gengsinya, ia masih dianggap memiliki modal sosial yang kuat. Lebih jauh ada situasi di mana tokoh sosial, dalam hal ini raja, dipisahkan dengan tokoh spiritual. Artinya ada pemisahan antara pemimpin lokal dengan pemimpin spiritual. Situasi dalam jangka panjang melahirkan tarikan semakin jauh antara hal-hal yang bermuatan transenden menjadi profan. Akhirnya terjadi pergeseran dari spiritual menjadi sekadar ritual dan pertunjukan akibat pariwisata. Singkatnya tidak ada lagi nilai yang melekat dan bisa diberlangsungkan dalam hidup.
Pomad kemudian melanjutkan diskusi dengan perspektif yang lain. Sebagai orang yang lahir di wilayah Maluku, telinganya begitu lekat dengan cerita sejarah wilayahnya yang melulu tentang peperangan. Sudut pandang demikianlah yang dihindari oleh buku ini. Pomad mengapresiasi langkah tersebut karena dinilai memberi sentuhan kebaruan. Di satu sisi, Pomad mengerti betul bahwa Maluku bukanlah entitas tunggal, apalagi homogen. Namun Negara masih kerap mengeneralisasinya sebagai ras timur. Jika identitas digeneralisasi, maka tidak mengherankan jika nilai-nilai yang beragam pun ikut dipukul rata dalam tatanan nilai universal.
Dari buku ini, Pomad melihat bahwa rempah-rempah bagi masyarakat Maluku adalah berkah sekaligus kutukan. Ia pun cukup mengetahui bahwa narasumber yang diwawancarai pada buku ini dinilai tidak jujur. Pomad sendiri mengaku mengenal cukup baik narasumber tersebut. Masyarakat Maluku sejatinya tidak mengenal istilah gerakan adat karena masih hidup dalam sistem kesukuan. Sistem ini membantu rekonsiliasi ketika terjadi konflik antar masyarakat. Namun sekarang rekonsiliasi sulit terwujud karena sistem kesukuan tidak lagi diterapkan karena satu dan berbagai hal. Bagi Pomad, pembacaan atas buku ini, jika tidak didampingi oleh buku yang lain, bisa menimbulkan tafsir tunggal yang keliru.
Kemudian diskusi berkembang cukup luas ketika direspon langsung oleh Hikmat Budiman, editor buku ini yang juga sekaligus direktur Populi Centre. Intinya Hikmat menekankan bahwa penelitian ini ingin mengelaborasi metodologi penelitian lapangan yang kerap dilakukan Populi Centre. Mulai dari perkembangan wacana, hingga menguji problem-problem etik penelitian lapangan. Pemilihan atas wilayah timur Indonesia juga dinilai sebagai langkah strategis juga untuk menggali perspektif pinggiran. Seperti umumnya buku dengan topik yang jarang diangkat, Hikmat menantang pembaca merespon buku ini dengan riset-riset yang lebih komprehensif. Memang sulit mengklaim buku ini telah membuka tabir, namun setidaknya ia mencoba mengintip di antara celah-celah stereotipe yang biasanya melekat pada masyarakat di wilayah timur nusantara.
Pada akhirnya, diskusi ini memang tidak berhasil secara gamblang untuk dikontekstualisasikan dengan fenomena kesenian, seperti yang diharapkan di awal forum. Pembacaan dari dua pemantik diskusi, dan satu penulis buku memang tidak menajamkan obrolan ke arah sana. Meski demikian, setidaknya ada banyak pertanyaan lebih lanjut yang bisa digali dari buku ini, mulai dari persoalan metodologi, metode, perilaku etik peneliti, hingga posisi masyarakat lokal sebagai subjek pengetahuan. Buku ini bisa didapatkan dengan menghubungi akun instagram @ivaa_shop, atau langsung mengunjungi Rumah IVAA.
View this post on InstagramA post shared by Indonesian Visual Art Archive (@ivaa_id) on
Artikel ini merupakan rubrik Agenda Rumah IVAA dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi September-Oktober 2019.