Ace House
10 September 2019
Ace House
10 September 2019
oleh Krisnawan Wisnu Adi
Kurang lebih satu jam, 10 September 2019 sore, saya bersama Dwi Rahmanto berkesempatan ngobrol bersama Uji “Hahan” Handoko di Ace House. Hahan banyak bercerita kepada kami tentang bagaimana dia memaknai medium karya seninya.
Pada masa awal kekaryaannya, keterbatasan finansial untuk mengakses “artist material (salah satunya adalah kanvas)” menjadi latar belakang pertama mengapa ia memilih benda-benda bekas seperti kayu dan bungkus makanan sebagai medium karya seninya. Selain itu, latar belakangnya sebagai orang yang dekat dengan dunia seni grafis dan budaya pop juga cukup mempengaruhi bagaimana ia memutuskan menggunakan medium non-konvensional. Misal, dari pada menggambar di kanvas yang cukup mahal dan membutuhkan energi lebih banyak, ia dan kawan-kawannya lebih memilih tembok yang sudah siap untuk dimural.
Situasi keterbatasan yang demikian, sekitar 2007-an, justru terjadi ketika pasar seni rupa sedang menggila. Tetapi karya-karya dengan gaya kartunal, street art, ilustrasi atau istilah lain yang umumnya dikaitkan dengan budaya pop, belum diterima oleh pasar seni rupa. Situasi ini berimplikasi pada akses ke infrastruktur ruang pamer. Oleh karena itu, Hahan dan kawan-kawannya menggunakan ruang-ruang alternatif untuk mengadakan pameran kelompok. Salah satunya adalah kontrakan teman sendiri.
Tahun 2014 menjadi titik perubahan bagaimana Hahan memaknai medium. Ketika sebelumnya medium non-konvensional digunakan karena pertimbangan keterbatasan akses, pada masa ini Hahan merasa bahwa suatu objek sudah memiliki nilai sendiri. Objek punya kekuatan untuk mengerucutkan ide atau konsep dari si seniman.
Ia terinspirasi oleh karya seniman asal Filipina, Alvin Zafra, pada pameran Medium at Large di Singapore Art Museum (SAM), April 2014-2015. Alvin Zafra memamerkan karya serinya tentang figur-figur pejuang Filipina yang mati ditembak. Ia menggambar Pepe dan Marcial Bonifacio dengan menggunakan 5 peluru M16 di atas kertas amplas untuk masing-masing figur. Bagi Hahan, pilihan peluru dan kertas amplas sebagai medium sangat kuat untuk menyampaikan gagasan tentang bagaimana perjuangan kebebasan di Filipina terjadi. Berangkat dari inspirasi tersebut, Hahan kemudian lebih hati-hati dalam memilih medium untuk karya seninya.
Perihal seni yang mulai menjadi hiburan, salah satunya sebagai objek foto, menjadi isu yang ia pilih untuk dieksplorasi. Konteks ini juga ia kaitkan dengan ketertarikannya sejak 2007-an, ketika kekaryaannya lebih banyak bersentuhan dengan dinamika pasar seni rupa. Hahan merasa bahwa praktik mengoleksi karya harus diperluas, tidak hanya milik kolektor privat saja. Oleh karena itu, pada 2016 ia memulai proyek Speculative Entertainment. Salah satunya adalah dengan memecah lukisannya menjadi beberapa bagian, agar publik dapat mengoleksi karya seni secara lebih demokratis. Lebih jauh lagi, pilihan objek-objek seperti proyek toys, t-shirt, dan affordable print menjadi kelanjutan upaya menjangkau publik seluas-luasnya. Satu poin penting yang Hahan katakan,
“Bentuk-bentuk baru, objek-objek yang dekat sama kita itu adalah salah satu jalan untuk memperpanjang ide dari karya tersebut. … Aku ingin memperpanjang kemungkinan dari karya tersebut.”
Di tahun ini, Hahan sedang membuat commission work bekerjasama dengan Kota Dresden, Jerman. Dresden adalah salah satu kota di Eropa yang pernah menjadi tempat tinggal Raden Saleh selama 10 tahun. Di kota inilah pelukis modern Indonesia tersebut menemukan teman sejati dan gaya romantismenya. Pertanyaan seputar Raden Saleh selama di Dresden menjadi bekal Hahan untuk eksplorasi. Ia kemudian menemukan satu arsip foto daftar menu makanan Raden Saleh selama sebulan. Dari arsip ini Hahan kemudian berpikir bahwa bertahan hidup adalah satu hal yang paling dekat dan krusial bagi seniman. Tetapi justru dengan karya seni, kemungkinan bertahan hidup itu dapat dijembatani.
Setelah melakukan studi arsip, perjalanan kemudian menjadi metode selanjutnya. Dalam perjalanannya Hahan menemukan sebuah lapidarium. Lapidarium secara umum dipahami sebagai sebuah ruang untuk menyimpan atau memamerkan monumen yang bersangkutan dengan kepentingan arkeologis. Dalam konteks Dresden, lapidarium yang Hahan temukan berfungsi sebagai ruang untuk menyimpan berbagai patung serta monumen lain yang rusak, atau yang tidak diinginkan secara ideologis. Ketika Perang Dunia II, Dresden beserta capaian karya di ruang publiknya diluluhlantakkan oleh sekutu. Sekarang, publik bisa mengakses benda-benda ruang publik yang masih tersisa tersebut melalui lapidarium.
Format lapidariuim dipakai Hahan dalam proyeknya yang berjudul The Curious Deal ini. Semua hasil budaya yang ia temukan selama eksplorasi ia kumpulkan dan direpresentasikan dalam bentuk lukisan ukuran 280 cm x 900cm yang dipotong menjadi beberapa bagian. Publik Dresden dapat mengoleksi potongan-potongan lukisan tersebut dengan sistem barter; lukisan ditukar dengan objek serta cerita orang-orang yang berhubungan dengan bertahan hidup.
Keterbatasan akses material hingga upaya memperpanjang kemungkinan karya menjadi satu perjalanan bagaimana Hahan memaknai medium karya seninya. Medium yang dekat dengan keseharian dan ingatan kolektif publik menjadi pilihannya untuk membicarakan satu elemen yang selalu membuat orang penasaran, yakni pasar seni rupa.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi September-Oktober 2019.