Jogja National Museum
14 September 2019
Jogja National Museum
14 September 2019
oleh Fika Khoirunnisa
Di sela-sela kesibukan menyiapkan pameran Biennale Jogja Equator #5, Arham Rahman menyempatkan diri untuk ngobrol bersama kami di JNM, 14 September 2019 sore. Kami datang dengan membawa pertanyaan seputar posisi materialitas dalam seni rupa kontemporer akhir-akhir ini. Secara serampangan istilah benda temuan (found object), terapan, dan keseharian muncul dalam pertanyaan-pertanyaan kami.
Arham menjelaskan bahwa penggunaan benda temuan bukanlah hal baru. Latar belakang dari praktik kesenian yang demikian, dalam konteks wacana seni rupa barat, adalah keterbatasan medium seni konvensional (seperti grafis, patung, dan lukis). Para seniman yang muak dengan keterbatasan itu kemudian membangun asumsi bahwa material apapun bisa menjadi objek artistik. Ini adalah fenomena dematerialisasi seni; ketika seni tidak lagi bergantung pada objek yang spesifik, tetapi lebih menekankan konsep. Seperti dalam buku The Art of Not Making karya Michael Petry, Arham menambahkan, bahwa titik tumpu kesenian lebih pada gagasan.
Dalam konteks Indonesia, salah satu peristiwa penting dalam sejarah seni rupa yang berkaitan dengan medium non-konvensional adalah Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). Tetapi menurut Arham, kita tidak bisa mengatakan bahwa GSRB adalah pencetus dan penentu perkembangan skena seni rupa saat ini. Selain tidak ada bukti yang nyata, para seniman yang lahir setelah masa itu pun tidak semua menggunakan metode yang sama seperti pada jaman GSRB. Bahkan, penggunaan medium non-konvensional dalam praktik seni di daerah, misalnya di Makassar, tidak jarang dilakukan karena faktor kebetulan. Mereka meniru saja apa yang dilakukan oleh pengajarnya.
Lalu kami menanyakan apakah penggunaan medium non-konvensional yang tetap ada sampai sekarang masih berhubungan dengan wacana dikotomi seni atas-bawah. Bagi Arham, dalam konteks seni rupa kontemporer, dikotomi tersebut sudah tidak relevan. Setiap seniman dengan mediumnya masing-masing bertarung di dalam medan seni yang berbeda. Dikotomi seni atas-bawah telah lebur hingga membentuk semangat baru dalam menemukan berbagai macam bentuk artistik serta gagasan baru.
Meski demikian, dikotomi itu justru lebih terasa ketika dikaitkan dengan seni kriya-kerajinan. Bahwa seni kriya itu berbeda dengan seni kerajinan. Produk kriya seperti keris, tombak, dll lahir dari lingkungan elit atau kerajaan. Sedangkan produk kerajinan seperti rajut, anyaman, gerabah lebih dekat dengan kehidupan masyarakat ‘biasa’. Dikotomi seni semakin terasa ketika seni kriya-kerajinan ini dihadapkan dengan seni rupa kontemporer, terutama di lingkungan pendidikan formal yang selanjutnya berimplikasi di wilayah keseharian skena kesenian. Padahal dua hal itu sangatlah berbeda. Dengan demikian dikotomi seni atas-bawah, dalam konteks seni rupa kontemporer di Indonesia, adalah hasil dari reproduksi sosial yang muncul secara simtomatik di wilayah gagasan, bukan medium.
Mau tidak mau obrolan kami mengarah pada upaya untuk memahami seperti apa seni kontemporer itu. Gagasan seolah menjadi elemen yang paling ditonjolkan. Meski demikian, Arham menekankan bahwa seni kontemporer itu tidak hanya perkara gagasan saja. Persoalan materialitasnya juga penting, karena hal pertama yang dilihat publik adalah materialnya. Dengan agak dibarengi candaan, Arham mengatakan,
“Kalau aku secara pribadi tidak menganggap karya yang terlalu berat di gagasan dan produknya hanya tulisan. Tulisan dalam pengertian statement tok kayak mading itu menurutku bukan karya seni.”
Karya seni harus memiliki artikulasi yang berhubungan dengan konteks yang sedang dibicarakan. Dalam hal ini medium tidak bisa dikesampingkan. Medium sering kali digunakan sebagai idiom mengartikulasikan intensi, kisah, gagasan personal, nilai-nilai seniman sebagai individu, atau bahkan kritik mengenai isu-isu sosial. Bahwa yang membuat karya seni itu berbeda dari laporan ilmiah adalah bentuk artikulasinya. Arham menekankan,
“Seni tetap mempunyai bentuk artikulasi yang khas, sehingga kita bisa menyebutnya sebagai karya seni. Kayak di sastra, kalau tidak ada fiksionalitasnya maka itu bukan sastra, karena itu prasyarat utamanya.”
Ruang seni rupa yang cair akan senantiasa menarik ketika hal-hal yang bersifat paradoksal dapat menjadi pintu masuk membangun wacana-wacana baru. Ambil contoh karya Hahan yang hadir dalam perhelatan pasar namun sekaligus mengkritik pasar. Menarik, ironis, namun juga sah untuk dilakukan. Hal tersebut jelas menawarkan gagasan baru, bahwa publik dapat melihat mekanisme pasar bekerja, sekaligus melihat celah-celah di antara pekerjaan tersebut. Karya Hahan tidak hanya memiliki wacana yang kuat, namun pemilihan dan pengolahan medium dilakukan dengan kecakapan teknik & gagasan yang matang sehingga karyanya cukup artikulatif.
Tanpa efektifitas fungsi, medium tidak akan mampu menyampaikan gagasan. Seni harus memiliki daya ungkap yang melebihi wacana tertulis itu sendiri. Artikulasi macam apa yang dihadirkan oleh medium menjadi poin yang penting untuk memahami karya seni saat ini yang semakin kompleks dan membingungkan.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi September-Oktober 2019.