Terhitung sejak 1 Mei 2023, IVAA menyambut Sita Sari T. sebagai Direktur, Riksa Afiaty sebagai Kepala Program, dan Ananta D. Rahayu sebagai Staf Program. Ketiganya menjadi warna baru dalam meneruskan kepemimpinan Lisistrata Lusandiana yang mengomandoi IVAA sejak 2015. Selain bertanggung jawab atas manajemen organisasi, program dan artistik, mereka juga berperan pada pengembangan konseptual dan strategi institusional untuk kelanggengan organisasi.
Berdirinya IVAA sebagai institusi dengan dinamika dan pergerakan yang secara khusus menilik kerja dan eksplorasi pengarsipan pada skena seni rupa Indonesia, merupakan sebuah momen awal akan kesadaran kerja arsip seni dan budaya di Indonesia. Kisah-kisah, pemikiran kritis, dan aspirasi warga yang dicatat melalui arsip perlu ditelaah dan disosialisasikan untuk membuka wawasan dan pemahaman atas apa yang terjadi di lingkungan sekitar.
Pada beberapa tahun terakhir, kerja pengarsipan IVAA telah mengarah kepada fasilitasi dan penelitian, menggandeng partner-partner individu maupun kolektif dan institusi seni yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kerja fasilitasi ini merupakan upaya IVAA untuk tidak melepaskan diri dari konteks masyarakat yang lebih luas serta memperkuat pengetahuan lokal dan mendekatkan pengetahuan pada pemiliknya.
Bagi Sita, IVAA telah menjadi rumah dari catatan data dan koleksi pengetahuan seni visual yang sangat penting, baik yang yang telah terkumpul di IVAA maupun dari rekanan/jaringan individu dan komunitas pengarsip lokal. Dari sini, usaha aktivasi atau penggunaan hasil kerja pengarsipan itu sendiri untuk perkembangan dan apresiasi pengetahuan di masa kini dan mendatang, menjadi fokus yang penting.
Kerja aktivasi arsip dibayangkan akan menjadi kerja yang mendalam, untuk melihat, membaca, dan mengevaluasi kembali kerja pengarsipan IVAA supaya tetap kontekstual pada zaman. Kerja ini juga tentang kebaruan pengetahuan dan pertemuan lintas generasi dan wilayah, apakah muatan arsip tersebut benar unik dan spesifik, atau kah ada arsip-arsip komunitas di ujung pulau dan benua lain yang mengandung muatan pengetahuan yang serupa dan bisa disandingkan, dikolaborasikan, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan bersama?
Riksa menaruh perhatian terhadap isu yang dipicu oleh dominasi hetero patriarkal, penindasan, dan pengerukan. Ia melihat kerja-kerja seni dan budaya harus melepaskan diri dari kontrol tersebut. Ia mengandaikan IVAA sebagai titik awal sebuah premis bahwa pertukaran antara pengetahuan dan penggunaan arsip bisa memahami perkembangan seni dan prakteknya lewat dialog dengan lingkup sosialnya.
Lebih jauh lagi, apakah kita bisa mengimajinasikan sebuah institusi yang mendorong program-program terbuka terhadap dimensi dan perspektif yang pluriversal (berbalik dari yang universal), sekaligus mendukung ruang yang mengedepankan etika, keberpihakan, ruang aman, dan kelestarian ketenagakerjaan?
Pergantian ini tentu saja bisa dimaknai sebagai perpisahan sekaligus perayaan yang nantinya akan menjadi percakapan, keterhubungan, dan keberpihakan di sebuah institusi yang berperan penting dalam membentuk wacana seni dan budaya kontemporer yang tidak dapat dipisahkan dari budaya, ideologi dan perjuangan politik tertentu.
Dengan segala kerendahan hati dan semangat belajar, kami berharap akan terus menyelaraskan diri dan bergerak dengan dari satu sistem operasi yang berasal dari peninggalan penjajahan ke pemahaman bagaimana meraba dunia saat ini.