oleh Ananta Dewi Rahayu
Pameran “Seni Raba Menggambar Suara” adalah pameran pertama Muhamad Haryanto, dipanggil Nanang, seniman seni raba yang terlahir tuna netra. Berlangsung pada 15 Juni-15 Juli 2022, IVAA bekerja sama dengan Wayang Limbah Ki Samidjan untuk menampilkan karya-karya seni rupa menurut perspektif tuna netra. Selembar kertas berisi petunjuk membaca huruf braille mendampingi katalog yang tersedia. Pameran dapat dikunjungi hari Senin-Jumat pukul 09.00-17.00 WIB di Indonesia Visual Art Archive (IVAA), Yogyakarta.
Foto 1. Foto suasana bagian depan sebelum pengunjung masuk. Dokumentasi IVAA.
Malam itu, Rabu 15 Juni 2022, tidak hanya langit yang semakin gelap. Pukul 19.00, Rumah IVAA tidak memancarkan sinar apapun kecuali sebuah lampu belajar di meja dekat pintu masuk. Lampu yang kemudian mati dan menyisakan gulita. Beberapa pengunjung yang datang berbincang sembari minum teh hangat yang tersedia.
Setelah mengisi buku tamu, pengunjung mulai memasuki gelap di dalam Rumah IVAA. Tak lama kemudian acara dibuka dengan sambutan dari tiga orang: Nanang selaku seniman, M. Dwi Marianto sebagai kurator, dan Lisistrata Lusandiana sebagai perwakilan IVAA. Ruangan kembali gelap, Tembang Pengantar dilantunkan oleh Samidjan. Suara musik ambiance dari petikan gitar Bodhi IA (Ruang Gulma) masuk mengiringi suara para aktor. Pertunjukan wayang disabilitas bertajuk Desta Milenial sudah dimulai.
Desta Milenial menceritakan pengalaman masa kecil Desta, seorang anak tuna netra yang diperansuarakan oleh Nanang sendiri, bersama keempat temannya: Sakuni, Boris, Dursa, dan Pandu. Teman-teman Desta itu diperansuarakan dengan penuh karakter oleh Kus Sri Antoro dari Wayang Limbah Ki Samidjan, yang juga merangkap sebagai narator. Sebuah kejadian jatuh di kali membuat ketiga teman Desta mengoloknya “buta”, tanpa Desta pahami apa itu buta. Desta yang kebingungan bercerita pada ibunya (diperansuarakan oleh Kawit). Desta kemudian bersekolah berbekal nasihat-nasihat dari sang ibu. Setelah dewasa Desta kembali menemui teman-temannya yang ternyata telah berkebutuhan khusus karena kecelakaan dan sakit. Desta menyemangati dan mengajak mereka untuk bangkit bersama melalui seni raba.
Foto 2. Ekasari (Juru Bahasa Isyarat) dalam pementasan. Dokumentasi IVAA.
Sepanjang pementasan Ekasari dari JBI (Juru Bahasa Isyarat) menerjemahkan dialog ke dalam bahasa isyarat kepada pengunjung secara langsung. Ia duduk di salah satu ujung ruangan dengan satu pancaran sinar oranye mengarah ke tangannya. Mengingat adanya beberapa pengunjung yang membawa anak-anak, cerita Desta Milenial memiliki pesan yang baik dan menjadi perkenalan yang ramah bagi anak dalam mengetahui suasana disabilitas netra dan bisu.
Setelah pentas wayang disabilitas usai, lampu ruangan mulai dinyalakan. Pengunjung bergegas berdiri, menyesuaikan posisi yang sebelumnya banyak dikompromikan dalam diam. Di seberang area pertunjukan terdapat lukisan dan wayang yang dibolehkan (atau justru dimaksudkan) untuk diraba. Nanang menciptakan 9 lukisan raba dengan judul: (1) Jangan Putus Asa, (2) Bahaya Tuna Rasa, (3) Kita Semua Setara, (4) Tuna Netra Tidak Bisa Rasis, (5) Kamu Baik Maka Kamu Cantik, Kamu Budiman Maka Kamu Tampan, (6) Ajining Dhiri Dumunung Ing Pakarti, (7) Hati-hati Eksploitasi, (8) Jadilah Mandiri Jangan Mau Dikasihani, dan (9) Jadi Tuna Netra Tidak Boleh Mudah Lupa. Terdapat pula 2 wayang disabilitas yang ia desain: Desta Kecil dan Desta Dewasa.
Karya-karya tersebut merupakan hasil proses eksplorasi seni rupanya bersama tim Wayang Limbah Ki Samidjan yang juga menampilkan beberapa karya sebagai karya pendamping. Ada 5 wayang yang dibuat dari barang bekas pakai dengan judul: (1) Wayang Purwa Gagrag Yogyakarta, tokoh Antareja; (2) Wayang Kethoprak, tokoh Panembahan Senopati; (3) Wayang Transgender, tokoh Betari Jaluwati; (4) Wayang Pangan, dan (5) Wayang Pinggiran Ibu Desta; juga 2 lukisan yang berada di sudut ruangan: (1) Wayang Pangan Babak I, dan (2) Wayang Pangan Babak II, III, dan IV.
Foto 3. Salah satu pengunjung tuna netra sedang meraba karya. Dokumentasi IVAA.
Berbeda dengan pameran seni pada umumnya, 7 lukisan karya Nanang diwarnai huruf timbul (aksara braille) dan menyertakan deskripsi karya dalam huruf latin dan huruf timbul. Konsep aksara sebagai gambar suara diterapkannya secara cukup literal. Aksara braille dihadirkan dengan wujud yang berbeda, tidak lagi di atas kertas. Karya lukisnya menggunakan cat, pewarna alami, potongan plastik, pin tusuk, dan manik-manik di atas kanvas. Beberapa pengunjung, baik awas (non tuna netra) maupun tuna netra, meraba lukisan dan mencoba membaca suara apa yang hendak disampaikan Nanang. Di salah satu sisi tembok, tampil video proses kreatif Nanang bersama Kus, Kawit, Samidjan, dan Bodhi.
Terlahir tuna netra, Nanang menarasikan dunia dengan mendengar, membaui, mencecap, dan meraba. Keinginannya untuk seni yang lebih aksesibel akhirnya mendorongnya terlibat dalam penciptaan seni raba. Dalam eksperimen artistiknya melukis bunyi, Nanang berkenalan dengan beragam tekstur dan bebauan dari pewarna alami. Sayangnya, unsur tekstur kurang maksimal hadir ketika pameran, karena area pameran yang kecil dan jumlah pengunjung yang memenuhi tempat. Pengunjung sebaiknya datang kembali di hari-hari setelah pembukaan, situasi yang lebih sepi menawarkan pengalaman yang lebih personal dalam menikmati karya yang ada.
Terlihat besar keinginan Nanang untuk menjembatani komunikasi antara orang tuna netra dengan orang awas. Seni disabilitas bisa dibilang masih menjadi arena yang luas bagi para pemainnya. Banyak pengalaman terkait hak-hak disabilitas yang belum terpenuhi dengan layak, yang perlu dihadirkan dalam percakapan untuk membuahkan perubahan.
Walaupun karya Nanang memberatkan pada indera raba, stimulasi inderawi lain seperti suara pengunjung, visual karya, dan kekhawatiran sanitasi karya yang disentuh berkali-kali tidak dapat dihindari. Itu semua memengaruhi pengalaman pengunjung. Di antara berbagai isu yang perlu disuarakan, pemicu inderawi, dan sekelebat seni taktil yang dapat diulik lebih dalam, perlu adanya titik fokus supaya baik seniman maupun pengunjung dapat mengonsumsi apa yang ingin diutarakan secara bertahap. Fokus dapat dilakukan dengan menentukan satu suara yang dihadirkan dalam variasi bentuk, satu teknik seni taktil yang diulik (bisa dalam kolase, relief, dan bentuk lainnya yang menekankan pada tekstur dan kontur), atau meminimalisir gangguan inderawi selain raba di area pameran. Perlu diingat bahwa saran ini berasal dari perspektif visual orang awas. Terlepas dari itu, pameran ini mampu menghadirkan percakapan seputar kehadiran disabilitas dalam seni rupa di masyarakat.
Aksara adalah gambar suara, maka terciptalah Seni Raba
(Muhamad Haryanto, Pemijat dan Seniman Tuna Netra)
Pameran ini juga dilengkapi dengan dua diskusi terbuka mengenai advokasi serta seni dalam kaitannya dengan isu disabilitas. Diskusi pertama bertajuk “Membangun Kultur Kemandirian & Kesetaraan dalam Advokasi Disabilitas” telah digelar pada 24 Juni 2022 (15.00-18.00 WIB) di Rumah IVAA. Diskusi yang dimoderatori oleh Kus Sri Antoro (Wayang Limbah Ki Samidjan) ini menghadirkan tiga pembicara, yakni Sipora Purwanti (SIGAB – Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel), Triyono (Difabike Indonesia), dan Setia Adi Purwanta (Dria Manunggal) serta Juru Bahasa Isyarat untuk penerjemahan kepada rekan-rekan tuna rungu. Transkrip diskusi dapat disimak melalui link ini. Untuk diskusi kedua, dengan topik seni dan disabilitas, akan digelar pada Juli. Tunggu informasinya lebih lanjut.