Semenjak pertemuan pertama partisipan dan fasilitator Ephemera #3–Museum of Untranslatable Stories, kami melanjutkan pertemuan tersebut dengan Workshop Pengarsipan Kontekstual pada tanggal 15-17 Mei 2023. Kegiatan dilakukan secara daring, mengingat banyak partisipan berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Workshop selama tiga hari tersebut diwarnai perbincangan menarik dari Dr. Diah Kusumaningrum, perupa Moelyono, dan Dr. Ikun Sri Kuncoro.
Dr. Diah K, penggagas pangkalan data dan kampanye nirkekerasan Damai Pangkal Damai, membuka workshop dengan pertanyaan yang mendorong partisipan dan fasilitator melihat benda di sekitar dan menelisik memori masing-masing beserta kaitannya dengan artefak perdamaian. Ia mendorong kami untuk melihat kembali bagaimana kami memaknai perdamaian, kekerasan, dan kepekaan kami melihat potensi yang muncul selama proses berkarya. Moelyono, sebagai perupa yang kerap bekerja dengan melibatkan masyarakat, banyak menceritakan prosesnya, bagaimana periset sebaiknya memposisikan dirinya dalam berelasi dengan masyarakat. Terakhir, Dr. Ikun SK, sebagai pemerhati sastra dan teater, banyak melemparkan pertanyaan yang mengajak partisipan melihat kembali bagaimana mereka melihat dan memaknai teks, arsip, dan dekolonisasi.
Foto 1. Dokumentasi Workshop Pengarsipan Kontekstual bersama Dr. Ikun SK pada tanggal 17 Mei 2023. Dokumentasi IVAA.
Rheisnayu Cyntara, penulis selama proses Ephemera berlangsung, merangkum ketiga perjumpaan tersebut dalam tulisan-tulisan reflektif yang bisa kawan-kawan baca di laman ini. Cyntara menceritakan lebih detail mengenai sesi setiap pemateri, mengenai apa yang disampaikan dan poin-poin kuat yang penting untuk diingat.
Salah satu partisipan individu, Rachmat Mustamin, membagikan salah satu catatan pantulannya dari workshop hari ketiga bersama Dr. Ikun SK :
“Dari Mas Ikun, saya belajar untuk meragukan kembali ‘bagaimana saya menatap/memandang’, misalnya membangun kesadaran kritis tentang warisan kolonial yang struktural dan kultural. Kolonial tidak dilihat sebagai bangsa Eropa semata, tetapi bisa berlaku untuk agama ataupun suku mayoritas.
Saya suka nih kalimat ini, “Apakah kita sudah terbebas oleh paradigma referensi yang kita baca, atau kita melanggengkan paradigma yang lampau?”
Juga yang ini, “Di dalam beberapa hal seperti benar atau tidak, kita mesti meyakini bahwa apa yang kita lakukan ini ialah sesuatu yang penting.” Hal ini yang membuat saya pribadi, untuk semakin percaya melanjutkan pengarsipan kontekstual ini.”
Lalu pada tanggal 13 Juni kemarin kami mengadakan pertemuan bersama untuk saling berbagi perkembangan masing-masing dalam Work-in-Progress Meeting. Berkat workshop pengarsipan dan pendampingan bersama fasilitator, partisipan mendapatkan ruang untuk melihat kembali dan menajamkan rancangan karya yang diajukan dengan perspektif dan pengetahuan lain.
Foto 2. Dokumentasi sharing progress bersama Hidayatul Azmi pada tanggal 13 Juni 2023. Dokumentasi IVAA.
Dalam pertemuan yang terbagi dalam dua sesi itu, setiap partisipan mempresentasikan rancangan risetnya yang lebih matang dan menceritakan kesulitan yang dihadapi. Sejauh ini, kesembilan partisipan terus memperdalam riset dan mempersiapkan karya sembari melanjutkan konsultasi dengan para fasilitator kami yaitu Lisistrata Lusandiana, Irfanuddien Ghozali, Dwi Rachmanto, dan Dwiki Nugraha Mukti.
Presentasi publik Ephemera #3 akan berlangsung bulan Juli 2023 di lokasi yang tersebar: Ternate, Kupang, Bukittinggi, Makassar, Solo, dan tak lupa di Rumah IVAA. Sudah siap melihat hasil karya kolaborasi Mirat Kolektif x fionnymellisa, M.Safrizall (DekJall), Taufik Ivan, Rachmat Mustamin, Hidayatul Azmi, Magazin Art Space, Lodimeda Kini, Tepian Kolektif, dan Inkubator Inisiatif? Pantau terus media sosial kami untuk mengetahui kabar terkini tentang Ephemera #3–Museum of Untranslatable Stories.