Judul buku : Nilai Budaya dan Filosofi Upacara Sekaten di Yogyakarta
Pengarang : Iwan Setiawan dan Widiyastuti
Penerbit : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta
Tahun terbit : 2010
Halaman : 137
Resensi oleh : Rosa Pinilih
Berbicara tentang Sekaten tidak bisa lepas dari sejarah budaya masyarakat Jawa pada khususnya, yakni terjadinya proses Islamisasi yang dilakukan Wali Sanga dengan menggunakan sarana budaya dalam menjalankan dakwahnya. Sekaten hanyalah salah satu tradisi keagamaan yang dilakukan oleh penguasa pada saat itu, yaitu pada masa kerajaan Mataram Kuno. Dalam kerajaan tradisional, raja sebagai penguasa tunggal memiliki 3 kiat utama untuk mempertahankan kekuasaannya. Pertama, pemberian otonomi yang luas kepada penguasa daerah yang dimaksudkan untuk mengumpulkan dukungan atas kedudukan raja. Kedua, menjaga selalu kultur dan kebesaran diri dan istananya. Ketiga, kekuatan militer yang tangguh.
Raja juga berperan sebagai pemegang kendali kekuasaan tunggal, baik dalam bidang pemerintahan maupun keagamaan. Oleh karena itu banyak upaya-upaya yang dilakukan baik secara politis maupun religius, seperti penyelenggaraan upacara keagamaan secara besar-besaran untuk lebih menegaskan fungsi tersebut. Bahkan seorang raja sering disebut juga dewa raja, karena dianggap sebagai penguasa dunia sekaligus berkedudukan sebagai wakil dewa di dunia. Tetapi fenomena ini tidak semata-mata menempatkan raja sebagai dewa, tetapi lebih kepada pengkultusan kedudukan raja di antara yang lain dan yang paling memiliki kekuasaan dalam melakukan upacara pemujaan.
Seorang raja merupakan penghubung antara dewa dengan manusia, sehingga ada anggapan bahwa melalui rajalah anugerah dewa mengalir kepada manusia yang lainnya. Konsep hubungan antara kekuasaan dengan religi ini menjadi jelas karena kekuasaan dipandang sebagai kekuatan alam raya, mempertahankan kehidupan, serta sebagai kekuasaan dominasi yang diperkuat dengan adanya upacara-upacara yang sifatnya ritual. Religi dapat digunakan sebagai jaminan legitimasi di mana hal ini banyak digunakan untuk memenangkan pertarungan politik. Bukti-bukti tentang kekuasaan raja yang diungkapkan melalui upacara-upacara religius dapat ditemukan dalam prasasti-prasasti. Isi dari prasasti-prasasti ini menunjukkan bahwa bentuk kuasa dan kemaharajaan seorang raja dapat diukur dan diwujudkan dalam pemberiannya.
Sedangkan hubungan kultus magis antara raja dan rakyat di kerajaan Mataram Kuno dicerminkan dalam pendirian bangunan suci kerajaan, yaitu candi. Pembangunan candi dan pembebasan daerah di sekitarnya sering dianggap sebagai usaha suci seorang raja dalam menuntut penduduk yang bertempat tinggal di atasnya agar bertanggung jawab terhadap kelangsungan bangunan suci tersebut.
AWAL MUNCULNYA UPACARA SEKATEN
Masuknya Islam ke pulau Jawa sangat berpengaruh terhadap kebudayaan Jawa. Dalam perkembangannya tidak banyak goncangan yang ditimbulkan dalam pelbagai sendi kehidupan masyarakat, tetapi justru saling terbuka untuk berinteraksi dalam praktik kehidupan masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari cara-cara pendekatan yang dilakukan para penyebar Islam di wilayah Jawa. Sikap toleransi terhadap budaya Jawa yang sudah ada yang dilakukan para pendakwah bisa dibilang cukup berhasil. Para pendakwah tetap membiarkan budaya lama hidup, akan tetapi diisi dengan nilai-nilai keislaman.
Pendekatan ini sangat sesuai dengan karakteristik orang Jawa yang cenderung bersikap moderat tetapi tetap mengutamakan keselarasan dalam hidupnya. Begitu pula ketika budaya Hindu dan Budha datang, budaya Jawa masih tetap dapat mempertahankan keasliannya.
Perpaduan Islam dan budaya Jawa memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan budaya Jawa, yang semakin diperkaya dengan nilai-nilai ajaran Islam yang menjadi sumber inspirasi dan pedoman kehidupan bagi masyarakat pendukungnya. Salah satu wujud ekspresi manusia dalam mengungkapkan kehendak atau pikirannya adalah melalui upacara, di mana akan diketahui nilai-nilai kehidupan dan budaya yang dimilikinya.
Upacara-upacara ini sudah dilaksanakan dari masa kerajaan Hindu di Jawa, salah satunya adalah upacara kurban raja atau lebih dikenal dengan nama upacara Rajamedha atau Rajawedha. Ini adalah upacara pemberian berkah raja kepada rakyatnya yang bertujuan agar kerajaan dan seluruh isinya mendapatkan keselamatan, kesejahteraan dan terhindar dari mara bahaya. Akan tetapi pada waktu berdirinya Kerajaan Demak Bintara sebagai Kerajaan Islam di Jawa, raja pertamanya yaitu Raden Patah berniat menghapus semua upacara keagamaan yang sudah ada sebelumnya. Namun upaya itu tidak berhasil karena rakyat merasa asing dengan ajaran baru dan budaya yang mereka lakukan selama ini. Raden Patah berharap masyarakat Jawa dapat memeluk agama Islam secara sempurna dan kafah serta terlepas dari penganut animisme dan Hindu. Namun justru banyak masyarakat Jawa yang tidak tertarik dan habkan meninggalkan agama Islam.
Dengan dihapusnya upacara kurban raja oleh Kerajaan Demak, muncul akibat yang tidak baik bagi masyarakat. Misalnya kehidupan mereka menjadi resah, tidak tenang dan diliputi perasaan bersalah, karena meninggalkan tradisi leluhur mereka. Bahkan masyarakat mengalami berbagai wabah penyakit.
Melihat situasi ini, Sunan Kalijaga berusaha menarik kembali simpati masyarakat Jawa untuk memeluk agama Islam dan menghidupkan kembali upacara kurban raja yang sudah dilakukan oleh raja-raja Hindu sebelumnya. Atas kesepakatan para walimaka upacara kurban raja dilanjutkan kembali tetapi disesuaikan dengan ajara Islam. Dari sinilah upacara kurban raja atau upacara Rajamedha diganti dengan upacara Sekaten, yang berasal dari bahasa Arab Shakatain yang artinya dermawan, suka menanamkan budi pekerti luhur dan menghambakan diri pada Tuhan.
Sekaten merupakan upaya para wali dalam menyebarkan ajaran agama Islam agar lebih mudah diterima oleh masyarakat, dengan cara merekonstruksi tradisi lama yaitu upacara Rajamedha menjadi upacara Sekaten yang disesuaikan dengan peringatan hari-hari besar agama Islam. Upacara Sekaten pertama kali dilaksanakan di Kerajaan Bintara untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad saw, yang bersamaan dengan penobatan Raden Patah sebagai Sultan Demak.
Sampai sekarang, pelaksanaan upacara Sekaten di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tidak berbeda dengan pelaksanaan upacara Sekaten sebelum-sebelumnya. Prosesi upacara Sekaten dimulai dari upacara Miyos Gangsa Sekaten Kangjeng Kyai Guntur Madu dan Kangjeng Kyai Naga Wilaga dari Kraton ke Pagongan Masjid Gedhe, dilanjutkan Upacara Numplak Wajik yang diteruskan dengan pembuatan Gunungan (Pareden), kemudian dilanjutkan Upacara Tedhak Dalem ke Masjid Gedhe, kemudian Upacara Kondur Gangsa dan diakhiri dengan Upacara Garebeg yang ditandai dengan keluarnya Hajad Dalem berupa Gunungan yang dibawa dari Kraton ke Masjid Gedhe.
NILAI BUDAYA DAN FILOSOFI UPACARA SEKATEN DI YOGYAKARTA
Dalam masa Sultan Agung, Sekaten mengalami perkembangan. Tujuan diadakannya upacara Sekaten yaitu untuk mendekatkan dirinya terhadap rakyat, guna mengokohkan kedudukannya. Sekaten merupakan simbol pengayoman Sultan kepada rakyatnya dalam hal kesejahteraan dan kemakmuran hidup dan keharmonisan serta ketenangan dalam menjalankan ajaran agama Islam.
Sekaten juga disimbolkan dengan pengeluaran 5 gunungan, yang mengandung makna kewajiban menjalankan Rukun Islam. Seiring berjalannya waktu muatan tujuan diadakannya Sekaten bertambah, yaitu sebagai hiburan untuk masyarakat dengan ditambahkan adanya pasar malam sebelum Sekaten resmi diselenggarakan. Jadi upacara Sekaten di Yogyakarta dimulai dari diselenggarakannya pasar malam sampai dengan upacara Grebeg Mulud, dan diakhiri dengan keluarnya Hajad Dalem Gunungan dari Kraton ke Masjid Gedhe. Inti dari upacara Sekaten adalah keluarnya Gangsa Sekaten dari Keraton ke Masjid Gedhe yang terdiri dari seperangkat gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu sebagai simbol anugerah besar yang turun kepada manusia, dan Kangjeng Kyai Naga Wilaga sebagai simbol dari kekuatan.
Upacara Sekaten pada dasarnya adalah budaya religi; produk budaya masyarakat yang memeluk agama, dalam hal ini adalah agama Islam. Sebagai budaya religi Sekaten menyimpan beberapa aspek, yakni wisata religi, ajang silaturahmi antar masyarakat, fasilitas hiburan, dan kesatuan antara raja dan rakyat.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Maret-April 2020.