Oleh Fathun Karib
Saat ini adalah waktu yang genting dan penting bagi para pekerja arsip untuk merekam berlangsungnya proses sejarah kebencanaan virus Corona atau Covid-19. Para pekerja arsip, baik arsiparis yang terlatih secara formal, kolektor budaya populer, peneliti sosial-budaya, pencinta sejarah atau orang awam sekalipun memainkan peranan penting dalam merekam dan mendokumentasikan proses sosial, budaya, politik, dan ekonomi terkait bencana epidemi dari aktor non-manusia yaitu sebuah virus.
Esai ini berusaha menawarkan pandangan alternatif bahwa kerja pengarsipan tidak selalu terkait dengan masa yang telah berlalu (historical past) dan arsiparis mengumpulkan kepingan-kepingan dari masa lalu dalam upaya rekonstruksi sejarah. Melalui pandangan sejarah masa kini (history of the present) para pekerja arsip memiliki kesadaran bahwa hari ini dan besok atau selama berlangsungnya bencana virus Corona, pengarsipan dapat dilakukan. Dengan asumsi bahwa masa kini (present) adalah pijakan bagi masa depan (future) dan di masa depan, masa kini akan menjadi masa lalu, maka berlangsungnya bencana Covid-19 akan menjadi sejarah masa lampau. Jika umat manusia berhasil melewatinya, maka kerja pendokumentasian bencana Corona akan menjadi arsip yang berharga di masa depan.
Dalam pemahaman bahwa sejarah tengah berlangsung maka semestinya para pekerja arsip perlu mengaktifkan kegiatan pendokumentasian dan bekerja sama dengan berbagai profesi lintas disiplin dan lintas minat, termasuk mengikutsertakan partisipasi masyarakat umum. Dengan ragam temporalitas (multiple temporalities) sejarah masa lalu-sejarah masa kini-sejarah masa depan (historical past-historical present-historical future) kerja pengarsipan bisa berlangsung pada ruang waktu yang tidak terbatas. Sesuatu yang mengikat kerja arsip tertentu adalah kata kerja (keywords) dan isi (content) yang memandu kerja pendokumentasian dan pengumpulan korpus.
Pendokumentasian sebagai bagian dari kerja pengarsipan secara tidak langsung tengah berjalan di masyarakat baik oleh institusi formal pemerintahan, entitas swasta, sosial media maupun individu-individu pada umumnya. Terlepas dari kontroversi politik, pemerintah tingkat nasional dan daerah melalui gugus Covid-19 tengah merekam dan mendokumentasikan peristiwa kebencanaan dalam format data kuantitatif (untuk akses data lihat ini). Data ini dapat diakses dan menyediakan jumlah terdampak, angka kematian, kesembuhan dan sebaran wilayah. Bagi pembuat kebijakan data ini diperlukan untuk formulasi solusi, sedangkan bagi arsiparis ini adalah sumber data arsip. Dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, data-data tersebut setiap harinya diperbarui dan di masa yang akan datang akan menjadi korpus sejarah. Pada level global misalnya, pendokumentasian ini juga dilaksanakan oleh World Health Organization (WHO) yang mengumpulkan data-data dari berbagai negara (lihat ini).
Potensi sumber pengarsipan juga dapat mengacu pada dokumen-dokumen kebijakan atau pernyataan-pernyataan yang dikemukakan pemerintah kepada publik. Untuk menelusuri ini, strategi pendokumentasian melalui kliping pemberitaan bencana Covid-19 merupakan sesuatu yang mungkin dilakukan oleh para pekerja arsip. Apalagi teknologi digital seperti google, dapat menyimpan jejak digital sebagai ruang simpan arsip digital.
Perusahan-perusahan media cetak dan online seperti Litbang Kompas misalnya, rutin mengarsipkan terbitan-terbitan berkala mereka secara digital. Salah satu hal menarik di sosial media adalah sebuah kliping video singkat dari Narasi TV yang merekam kontroversi kebijakan dan pernyataan para pejabat publik dari bulan Februari yang lalu. Sebagai korpus, kliping video ini bisa berharga untuk dasar mengambil kebijakan di masa yang akan datang atau menjadi mekanisme demokratis ‘cek & keseimbangan’ warga negara dalam memonitor kinerja para pemimpinnya. Pada masa yang akan datang, arsip audio-visual ini akan menjadi bahan rekonstruksi untuk memahami bagaimana dinamika negara dan masyarakat berlangsung selama masa kebencanaan Covid-19.
Selain pengarsipan konvensional yang berorientasi pada negara, perubahan sosial-budaya dalam menghadapi Covid-19 merupakan salah satu fenomena yang dapat didokumentasikan. Budaya populer atau keseharian warga masyarakat termasuk netizen, mencerminkan pandangan alternatif dalam merespon bencana. Kita dapat menangkap berbagai macam ekspresi lucu, kecewa, kemarahan atau dukungan yang bertebaran di berbagai media sosial seperti whatsapp group, facebook, twitter, instagram dan platform lainnya. Beberapa fenomena sosial seperti WFH (Work From Home), kegiatan pasar tradisional, aktivitas ojek online, posko bantuan atau dapur darurat Corona, sampai solidaritas saling bantu antara warga masyarakat memperlihatkan berbagai warna aktivitas sosial budaya yang muncul pada masa kebencanaan ini.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai opsi kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak serta-merta membuat masyarakat mengikutinya. Dalam hal ini respon budaya menghadapi bencana merupakan hal menarik untuk didokumentasikan. Beberapa desa-desa di Jawa menerapkan pembatasan dengan menghadirkan pocong untuk menjaga daerahnya masing-masing. Media asing seperti Reuters misalnya, memberitakan bagaimana mekanisme ini dalam konteks desa tertentu dapat digunakan dan lebih efektif. Mengingat jika membandingkan dengan India, di mana polisi memukul dengan rotan, pocong dan pendekatan budaya lainnya dapat bekerja dengan efektif. Penerapan pocong misalnya belum tentu dapat berjalan baik bila ditempatkan pada konteks sosial yang berbeda seperti di perkotaan.
Berbagai macam bentuk himbauan, penyuluhan dan sosialisasi dalam bentuk papan bilboard dan medium lainnya menyesuaikan budaya populer warga di pelosok negeri. Papan dengan tulisan “Kanggo sing Ndableg” (untuk mereka yang bebal) di Jember misalnya, menjadi viral dengan memberikan tiga opsi: mengikuti peraturan pemerintah, menetap di IGD, atau foto kita yang ditempelkan di buku yasin. Narasi TV misalnya melakukan wawancara dengan sopir mobil jenazah untuk memberikan sudut pandang yang dapat mengingatkan masyarakat. Meskipun bisa saja wawancara tersebut bukan bagian dari strategi sosialisasi dan himbauan yang dilakukan TV tersebut, namun di beberapa grup WA tersebar dan menjadi viral. Wawancara itu cukup efektif mengingatkan kita semua dan memberikan pendokumentasian alternatif terkait apa yang terjadi di lapangan terkait jumlah banyaknya penguburan mayat melalui penanganan prosedur Covid-19.
Terakhir, perubahan sosial-budaya di masa Covid-19 ini juga berdampak pada dunia kesenian. Para pekerja seni merupakan kelompok yang rentan. Penundaan pentas seni, konser, galeri dan ekspresi seni lainnya mendorong keprihatinan pemerintah dengan melakukan pendataan (lihat gambar 1). Meskipun belum ada kepastian lanjut, dampak bencana Corona kepada pekerja seni dan aktivitas kesenian perlu didokumentasikan. Pada saat bersamaan, beberapa seniman melakukan kolaborasi #dirumahsaja dengan menggelar konser dengan perangkat online. Para musisi papan atas nasional dan internasional melakukan konser di rumah dan terhubung dengan teknologi video online. Perubahan medium pentas ini merupakan inisiatif yang penting bagi pengarsipan seni.
Sumber Gambar: Website Kemendikbud
Seniman-seniman memainkan peranan penting untuk merekam realitas kebencanaan dengan berbagai macam medium ekspresinya, dari musik, lukisan, puisi, cerpen dan pertunjukan. Memori akan kebencanaan dapat diabadikan melalui produksi objek kesenian sebagai media penyimpanan. Kita dapat belajar dari Serat Kalatidha karya Ranggawarsita yang masyhur di mana jaman kegelapan, menjadi sumber inspirasi dalam syair-syair yang ia hasilkan. Pada konteks yang berbeda, Covid-19 adalah bencana yang membawa kita pada kegelapan. Kerja-kerja kesenian dapat memberikan secercah sinar terang bagi harapan dan menjadi hiburan bagi kita yang menjalani bencana ini.
Masih banyak lagi kemungkinan isu, kata kunci dan aspek kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya di era kebencanaan ini yang dapat menjadi wilayah kerja pengarsipan. Mungkin nanti pada periode pasca bencana kita akan menemukan sebuah karya sastra berjudul “Love in the time of Corona” terinspirasi oleh novel Gabriel Garcia Marquez “Love in the Time of Cholera”. Bisa saja Biennale Yogyakarta atau pentas-pentas seni lainnya di masa yang akan datang mendokumentasikan bencana wabah ini ke dalam berbagai bentuk ragam objek dan pentas kesenian. Semoga kita melewati ini semua sambil mendokumentasikan setiap peristiwa berlangsungnya bencana dalam kerja pusparagam arsip untuk masa depan.
Fathun Karib adalah dosen Sosiologi di Departemen Sosiologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan kandidat doktor di bidang Sosiologi dari Universitas Binghamton – State University of New York (SUNY). Karib menekuni bidang sosiologi bencana, kerusakan lingkungan dan politik-ekonomi bencana sejak menempuh pendidikan S2-nya di Universitas Passau, Jerman pada 2010–2012. Saat ini Karib menggunakan bahan-bahan arsip dalam kerja penelitian disertasinya terkait bencana di Porong, Sidoarjo dan arsip sebagai materi perkuliahan Sosiologi Indonesia dengan fokus pada pendekatan sosiologi historis. Dia dapat dihubungi melalui surel: fathun.karib@uinjkt.ac.id.
Artikel ini merupakan rubrik Baca Arsip dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Maret-April 2020.