Judul : RETHINKING SOLIDARITY IN GLOBAL SOCIETY – The Challenge of Globalisation for Social and Solidarity Movements 50 Years after Bandung Asian African Conference 1955
Tahun : 2007
Editor : Darwis Khudori
Editor bahasa : John Lannon
Penerbit : SIRD (Strategic Information and Research Development Centre), Malaysia; YPR (Yayasan Pondok Rakyat), Indonesia; FTM/ TWF (Forum du Tiers Monde/ Third World Forum), Senegal; CETRI (Centre Tricontinental), Belgia; DCLI (Development et Civilisations LEBRET-IRFED), Prancis/ Swiss; AAPSO (African-Asian People’s Solidarity Organisation), Mesir.
ISBN : 983-3782-13-2
Sampul : Darwis Khudori & Kong Siew Har
Desain grafis : Kong Siew Har
Halaman : 193
Resensi oleh : Krisnawan Wisnu Adi
Tinjauan berikut memang bukan mengulas sebuah buku terbitan baru sebagaimana resensi pada umumnya dilakukan. Ada dua alasan mengapa saya memilih buku ini: pertama, bulan April adalah bulannya Konferensi Asia-Afrika; kedua, topik solidaritas banyak dibicarakan di situasi pandemi ini. Solidaritas global menjadi salah satu isu yang digaungkan sekaligus direfleksikan ulang oleh publik, baik lembaga internasional seperti WHO dan beberapa individu seperti Yuval Noah Harari, Slavoj Zizek, dll.
Pembicaraan seputar solidaritas global memang bukan hal baru. Sejak dekade pertama abad ke-21 solidaritas global sudah direnungkan sebagai upaya merespon globalisasi (ekonomi). Buku ini hadir sebagai salah satu bukti empiris. Sebagai peringatan 50 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA), pada 2005 para akademisi dan aktivis merefleksikan solidaritas Asia-Afrika ke dalam konteks yang lebih luas, yakni masyarakat global. Ketika saya coba memantulkan perenungan mereka dengan situasi saat ini, serangkaian tantangan dan rekomendasi yang diajukan seolah menemukan momentum untuk segera dijawab.
Buku ini terdiri dari 21 esai yang setidaknya merefleksikan solidaritas global ke dalam lima aspek: politik, ekonomi, kebudayaan/agama/spiritualitas, lingkungan dan pendidikan/komunikasi. Namun, keinginan sepihak untuk membuat resensi buku secara kontekstual mendorong saya untuk mengulas beberapa esai saja.
Sekilas KAA dan Kritik Terhadapnya
Hersri Setiawan melalui tulisannya yang berjudul Learning from History: “The Bandung Spirit” menceritakan sekilas sejarah KAA. Konferensi ini lahir dari ide dan inisiatif Perdana Menteri Sri Lanka pada waktu itu, Sir John Kotelawala melalui konferensi regional negara-negara koloni Inggris, yakni India, Pakistan, dan Myanmar. Indonesia kemudian diundang untuk bergabung. Meski tidak sebagai koloni Inggris, tetapi pengalaman perjuangan kemerdekaannya dinilai sebagai hal penting yang perlu dibagikan. KAA memiliki hubungan historis yang kuat dengan dua konferensi sebelumnya, yakni Konferensi Relasi Inter-Asia di New Delhi pada 1946 dan konferensi pemuda Asia Tenggara di Calcutta setahun kemudian.
Perluasan cakupan geografis berbasis nasib yang sama nampak menjadi salah satu ciri dari gerakan solidaritas. Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia pada waktu itu, mengusulkan perluasan lingkup dari Asia Selatan-Asia Tenggara menjadi Asia-Afrika pada saat Konferensi Colombo, 28 April-2 Mei 1954 di Sri Lanka. Ide ini kemudian terealisasi melalui Konferensi Bogor pada 22-29 Desember 1954.
Konsolidasi kekuatan antar negara-negara bekas jajahan itu telah menghasilkan basis dekolonisasi yang total, cepat, dan efektif, jaminan hak untuk berkembang dan memiliki pilihan bebas dalam integrasi global dengan logika polisentrisme untuk kedamaian dunia. Meski demikian, bukan berarti capaian ini lahir tanpa konsekuensi logis. Bernard Founou-Tchuigoua dari Kamerun, melalui esainya yang berjudul Solidarity of Afro-Asian Peoples against Terror and the Empire of Chaos mengkritik bahwa kebangkitan Dunia Ketiga ini juga memunculkan fenomena kontrol dari partai komunis patriotik atas sumber daya alam seperti yang terjadi di Cina dan Vietnam.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa imperialisme kolektif muncul sebagai respon atas kebangkitan tersebut. Amerika Serikat bersama aliansinya (Prancis, Inggris, Jepang, Israel, dan rezim rasis Afrika Selatan) lebih memilih memainkan peran korporasi transnasional dan menciptakan kekacauan melalui teror (konflik etnis dan relijius) untuk menciptakan polarisasi.
Tantangan Baru dan Kemungkinan yang Dibayangkan
Di bawah roda globalisasi situasi berubah drastis, setidaknya selama 50 tahun setelah KAA digelar. Darwis Khudori dalam esainya yang berjudul Identity-based Social Movements facing Globalisation: Challenge and Response, Resistance and Alternative menjelaskan bahwa gerakan sosial di era pasca industri tidak lagi soal perjuangan kelas pekerja, melainkan basis identitas. Kondisi masyarakat jejaring yang nir ruang dan waktu, yang dikonstruksi sedemikian rupa untuk mendukung laju kapitalisme lanjut, telah mendistorsi persoalan kelas menjadi identitas.
Dengan merujuk gagasan Manuel Castell, ia merekomendasikan suatu bentuk gerakan sosial yang bersifat ‘dari dalam’ ke ‘luar’, dengan peralihan dari bentuk ‘kenabian’ (seperti yang dilakukan oleh Marcos dalam gerakan Zappatista di Meksiko) menuju bentuk ‘jejaring’ seperti yang telah dilakukan oleh gerakan feminis dan ekologis. Tantangannya adalah mencari spirit yang sama (common points) dari begitu banyak ragam identitas, tanpa meninggalkan lokalitasnya masing-masing.
Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai perangkat ‘normal’ dari masyarakat jejaring juga menjadi tantangan untuk gerakan sosial. Melalui tulisannya yang berjudul Information and Communication Technologies: new Global Challenges and Opportunities for Social and Solidarity Movements, John Lannon melanjutkan bahwa ada tiga risiko yang muncul. Pertama, ketimpangan akses teknologi membuat gerakan sosial dapat terkesan eksklusif jika tidak ada strategi yang inklusif. Kedua, masalah kepercayaan yang tidak mudah terbentuk; artinya modal sosial melalui ‘dunia nyata’ masih penting. Terakhir, potensi penguasa yang mampu menjadikan teknologi sebagai alat kontrol masyarakat termutakhir. Meski demikian, perkembangan teknologi dapat mendukung gerakan sosial itu sendiri.
Parichart Suwanbubbha melalui Bandung 2005 and Educational Challenges in the Age of Globalisation menambahkan bahwa pendidikan harus menjadi bagian penting dari gerakan sosial. Tentu, pendidikan yang ia maksud adalah pendidikan yang mengutamakan perjuangan hak kemerdekaan manusia, bukan berorientasi profit dan status sosial semata. Gagasannya ini dilandaskan atas kontribusi perkembangan teknologi terhadap pendidikan yang makin mudah dioperasikan.
Dalam bidang ekonomi, Yves Berthelot melalui Bandung Fifty Years Later: Toward Another Development Model for the Post Globalisation Era berpendapat bahwa tantangan baru yang perlu disadari adalah sebuah tren regionalisasi. Ia berangkat dari interpretasinya atas solidaritas Asia-Afrika yang tidak revolusioner untuk persoalan ekonomi. Memang, mereka menolak hegemoni politik imperialis, tetapi penolakan ini tidak tercermin di dalam aspek ekonominya. Solidaritas ini lebih bergerak pada tuntutan aliran finansial, stabilisasi harga komoditas, dan diversifikasi ekspor (bank regional, perusahaan asuransi, joint ventures) untuk wilayah Asia-Afrika dalam percaturan internasional.
Gagasan tersebut cukup terdengar sinis, tetapi di satu sisi realistis. Berthelot ingin menunjukkan bahwa regionalisme, di samping aspek ekonominya, justru dapat menjadi instrumen yang tepat untuk operasionalisasi solidaritas di era pasca globalisasi ini. Ia mengambil contoh negara-negara di Timur Tengah dan Afrika. Tanpa regionalisme yang kuat mereka akan tetap tergantung pada kekuatan-kekuatan negara kaya. Namun ia juga menambahkan bahwa peran Organisasi Masyarakat Sipil (Civil Society Organization) menjadi penting sebagai kontrol. Beberapa NGO dengan kapasitas yang mapan dapat mempengaruhi keputusan internasional.
Solidaritas Global atas Ultimatum Hari Ini
Para penulis melalui buku ini rasa-rasanya ingin melebarkan solidaritas Asia-Afrika ke dalam cakupan yang lebih luas, solidaritas global. Secara historis KAA sendiri lahir dari perluasan demi perluasan. Tawaran regionalisme, pendidikan berorientasi kemanusiaan, penggunaan teknologi dengan segala risikonya, hingga pencarian spirit yang sama (common points) untuk gerakan solidaritas adalah elemen-elemen yang mewakili upaya itu.
Apa yang mereka bayangkan seolah menemukan momentumnya untuk segera dijawab, ketika saat ini peradaban manusia sedang berhadapan dengan pandemi global. Solidaritas dengan logika polisentrisme kiranya sudah tidak relevan lagi. Refleksi 50 tahun KAA mungkin menjadi salah satu jejak yang menyiratkan hasrat beragam praktik dekolonisasi regional yang lahir untuk melebur diri menjadi satu.
Begitu menyedihkan jika manusia, seperti apa yang ditulis oleh Yukio Kamino dalam Time for Change of Heart: Facing the Global Environmental Crisis, tidak kunjung menindaklanjuti rekonsiliasinya; bahwa krisis global sebagai ultimatum nampaknya tidak merubah perilaku manusia. Manusia telah menjadi entitas yang korup, tidak rasional, dan tidak imajinatif di hadapan alam.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Maret-April 2020.