oleh Yulius Pramana Jati
Bulan Maret 2020 adalah puncak kepanikan di Indonesia terkait pandemi Corona COVID-19. Kepanikan disertai dengan kelangkaan, bahkan hilangnya stok beberapa APD di pasaran seperti masker medis, sabun cuci tangan, cairan antiseptik, alkohol 70% hingga yang paling miris adalah hilangnya pekerjaan, pemasukan hasil usaha, perkuliahan konvensional, dan kebebasan bepergian-berkumpul secara langsung guna mengisi serta merasakan suatu ruang berikut atmosfernya. Dampak yang diakibatkan pandemi virus ini sangatlah kompleks karena hampir menyentuh segala aspek baik material maupun sosial. Bahkan bisa dikatakan jika virus ini adalah virus yang sangat demokratis karena tidak pandang kelas dalam menjangkiti objeknya.
Tak tanggung-tanggung, pandemi ini juga telah merubah tatanan sosial masyarakat, seperti hilangnya budaya berjabat tangan sehingga tiap individu pun kini semakin berjarak sembari muncul kecurigaan apakah seseorang yang ditemui terjangkit virus atau tidak. Kecurigaan tersebut lumrah terjadi mengingat tidak semua orang berkesempatan melakukan swab test, ditambah vaksin COVID-19 yang belum ada ekstraknya padahal daya tular sedemikian kuatnya. Jadi jika suatu ketika tersiar kabar ketersediaan swab test yang inklusif dan ditemukan vaksin Corona COVID-19, dapat dipastikan itu adalah suatu kabar gembira.
Selama belum ada solusi pasti dalam menuntaskan wabah ini, pada akhirnya tindakan pencegahan adalah satu-satunya solusi untuk menanggulangi. Salah satu langkah penanggulangan yang dilakukan pemerintah adalah dengan melarang masyarakat berkerumun dan berkumpul dalam pertemuan politik, kegiatan hiburan, olahraga, akademik, sosial dan budaya seperti yang tertuang dalam Permenkes 9/2020, Pasal 13 ayat (9) dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar atau sering disebut dengan PSBB.
Tak main-main, ada sanksi pidana bagi yang melanggar. Apakah peraturan tersebut tepat dan efektif? Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas hal tersebut melainkan lebih kepada dampak penanggulangan pandemi COVID-19 yang mempengaruhi tatanan sosial masyarakat terutama dalam aspek seni dan budaya. Yang jelas, peraturan sudah ditetapkan dan dapat dipastikan masyarakat tak lagi bebas berkumpul seperti biasanya dan muncul tagar #StayAtHome. Tagar tersebut muncul secara global, karena rata-rata seluruh negara menerapkan peraturan serupa bagi masyarakatnya. Pembatasan tersebut juga berdampak pada ruang gerak kesenian masyarakat seperti tampil dalam perhelatan seni, menonton pertunjukan seni, mengamati koleksi-koleksi dari museum dan galeri seni sembari berswafoto di depan karya. Dari semua hal tersebut, ada yang perlu menjadi perhatian, salah satunya tentang keterbatasan akses masyarakat berkunjung ke galeri dan museum seni. Selain karena banyak museum dan galeri seni yang menutup akses kehadiran pengunjungnya, banyak di antara masyarakat yang juga enggan keluar bepergian karena khawatir terjangkit virus COVID-19.
Tetapi dari keterbatasan itu muncul berbagai strategi alternatif guna memenuhi hasrat masyarakat dalam berkesenian, salah satunya dalam hal mengunjungi galeri dan museum seni. Untuk sekadar mengakses sebenarnya cukup mudah, yakni dengan mengunjungi laman digital/ website dari museum dan galeri seni tersebut. Tetapi ada fitur menarik jika masyarakat ingin seakan-akan berada di dalam ruang pamer koleksi karya-karya tersebut. Salah satunya dengan fitur virtual tour (tur maya) gratis yang dilakukan beberapa museum dan galeri seni baik di dalam maupun luar negeri. Sebenarnya banyak yang telah menyediakan fasilitas tur maya sebelum masa pandemi, tetapi langkah ini seakan menjawab tantangan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat pada aspek seni tanpa harus takut terpapar wabah. Tetapi apakah tur yang bersifat maya ini dapat memenuhi dan menggantikan kebutuhan masyarakat untuk mengunjunginya secara langsung?
Foto: Dok. IVAA, Design: Y. P. Jati
Realitas maya atau virtual merupakan suatu teknologi yang menghadirkan bentuk realitas lain yang merupakan hasil simulasi dari komputer. Orang yang menggunakannya dapat seakan-akan hadir merasakan pengalaman suatu ruang dan keadaan yang ditampilkan dalam realitas maya tersebut. Bahkan dalam pengembangannya kini, realitas maya tak hanya bisa menghadirkan pengalaman visual saja tetapi juga pengalaman indrawi seperti suara asli suatu lingkungan hingga kontur fisik dari objek yang disimulasikan. Yang ditampilkan realitas maya ini bersifat semu, terlihat nyata tetapi bukanlah kenyataan yang sebenarnya walaupun objek yang disimulasikan merupakan objek yang benar-benar ada atau eksis.
Jika dikontekstualisasi dengan pengalaman maya dalam mengunjungi museum dan galeri seni, maka bisa dikatakan masyarakat hanya dapat mengambil keuntungan semu dari fitur ini, yakni hadir dalam waktu yang singkat tanpa harus mengeluarkan banyak waktu, tenaga, dan biaya. Tetapi masyarakat tidak dapat merasakan kenyataan ruang secara riil karena realitas yang diakses tidak secanggih realitas maya yang dapat memberikan informasi indrawi lainnya, mengingat rata-rata hanya menyuguhkan realitas maya secara visual berupa dokumentasi foto 360° yang interaktif. Ini seperti keuntungan menonton film secara streaming, sebuah keuntungan ketika film yang ingin ditonton sudah turun layar. Masih dapat diakses tetapi tidak dapat merasakan pengalaman saat menonton film di bioskop beserta segala teknologi indrawinya (suara 5.1, layar lebar, dan kursi yang nyaman) secara langsung.
Dengan fitur ini kita tidak lagi mendapatkan kesempatan berswafoto secara langsung di depan sebuah karya yang wujud materialnya nyata, walaupun mungkin ada yang kreatif dengan berswafoto di depan layar laptop/ PC ketika mengakses fitur realitas maya tersebut. Tetapi bisa dipastikan sungguh berbeda pengalaman yang didapatkan. Namun ada hal paling berharga yang tidak didapatkan ketika mengakses melalui realitas maya, yakni pengalaman meruang guna merasakan atmosfer suatu museum dan galeri seni yang nyata. Sebuah ruang dan karya seperti sebuah kesatuan yang menubuh menjadi satu. Kesesuaian ruang mampu mempengaruhi perasaan, perspektif, hingga persepsi dari orang yang berada di dalamnya secara nyata.
Pengalaman saya selama mengunjungi museum dan galeri seni; gema, bau, suasana dan tata ruang sangat mempengaruhi pembacaan terhadap sebuah karya. Seolah ada interaksi yang sentimentil antara saya dan karya di mana perasaan tersebut selalu didewasakan oleh pikiran. Di saat yang sama, saya sadari jika sebuah ruang turut andil besar dalam proses tersebut. Selain itu, meruang atau menikmati, merasakan, dan memahami ruang secara nyata juga mampu memberikan nilai historis secara pribadi yang sentimentil pula, karena kita secara nyata benar-benar telah hadir dan berinteraksi dengan karya tersebut berikut ruang yang menaunginya. Ini juga bisa menjadi sebuah penanda kehadiran kita pada sebuah ruang yang mungkin juga dialami orang lain di ruang yang sama sehingga mampu menstimulasi sebuah silang pengalaman terhadap ruang beserta segala karya di dalamnya.
Itulah mengapa swafoto di depan layar laptop/ PC tidak akan mampu mengalahkan swafoto atau dokumentasi pribadi pada ruang yang nyata. Hal tersebut juga dirasa berlaku pada tur museum dan galeri seni secara maya, ketika kita tidak merasakan pengalaman-pengalaman esensial seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya. Kita memang pernah melihat isi dari suatu ruang seni tetapi tak akan benar-benar menubuh jika kehadiran kita pun bersifat maya, karena yang seakan-akan bukanlah kenyataan.
Kita belum tahu kapan pandemi ini berakhir dan ada banyak prediksi terhadap peristiwa yang akan terjadi pasca pandemi. Tetapi prediksi adalah prediksi, bisa kita jadikan alasan untuk mawas diri tanpa ada tekanan untuk mempercayainya. Termasuk perubahan segala sesuatu yang bersifat fisik akan lebih dilakukan secara daring dan bersifat maya mengingat pandemi ini sangat kuat merubah tatanan sosial masyarakat secara global. Tetapi ada harapan besar jika hal tersebut (maya/ virtual) hanyalah menjadi alternatif saja, bukan yang utama. Kita harus sadar bahwa pandemi ini adalah entitas yang mengajak kita untuk kembali menghargai sebuah interaksi langsung tanpa jarak, di tengah kita yang terlalu lama menghargai sepi dan merindukan peluk serta jabat tangan dari seorang pribadi, dimana masker tak menutupi wajahnya lagi. Semoga wabah ini segera berakhir dengan baik dan ruang gerak berkesenian kita yang terbatasi segera leluasa kembali. Amin!
Berikut adalah beberapa daftar museum dan galeri seni yang dapat diakses secara daring & gratis:
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Magang dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Maret-April 2020.