oleh Dwi Rahmanto dan Hardiwan Prayogo
Tahun 2018 silam, ketika Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan Asian Games, ramai pemberitaan mengenai instalasi seni bambu berjudul “Getah Getih” karya Joko Avianto. Perbincangan mengenai karya ini cukup luas, mulai dari harganya yang mencapai Rp 550 juta, apa esensi dan nilai yang ingin disampaikan dari instalasi karya ini di ruang publik, dan lain sebagainya. Karya yang dipajang di kawasan Bundaran Hotel Indonesia ini dibongkar pada Juli 2019. Peristiwa ini mungkin paling diingat publik jika membicarakan isu seputar isu seni dan lingkungan. “Getah Getih” yang bahan materialnya berasal dari bambu, dari alam, dapat ditarik jangkar diskusinya dalam kaitannya dengan isu seputar seni dan lingkungan. Topik sorotan arsip kali ini akan menandai arsip-arsip IVAA yang berhubungan dengan karya-karya berbahan material alam, karya-karya yang mengkampanyekan pelestarian alam, aksi-aksi dan narasi yang beredar di sekitar wacana tersebut.
Sejak 2013 wawancara dengan Firman Djamil dapat diakses melalui online archive, dan kanal youtube IVAA. Kala itu arsiparis IVAA, Dwi Rahmanto, berkesempatan mengunjungi Makassar, kota yang ramai dengan tingginya mobilitas dan perkembangan kota. Peristiwa seni dan pelaku seni juga banyak tersemai di sana. Firman Djamil adalah seniman yang menarik. Profil singkatnya bisa diakses di sini. Perjalanan Dwi berjumpa dengan Firman ini tidaklah mudah. Firman sengaja memilih tidak tinggal di pusat kota. Adalah sebuah rumah tradisional dengan arsitektur berbahan kayu berbentuk rumah panggung tempat Firman tinggal. Dwi dapat bertemu dengan Firman, dibantu seorang kawan dekat yang memahami sudut-sudut kota Makassar, bernama Jaya Liem.
Firman yang tumbuh besar di Bone, Bukaka, sebuah daerah penghasil gerabah dan batu bata, membuatnya sudah akrab dengan material ini sejak dini. Terlebih lagi garis keluarganya juga pengrajin gerabah. Nenek Firman juga seorang penenun, ini juga membuat Firman lihai menenun. Firman mengaku kemampuannya di bidang seni diturunkan langsung dari sang bapak, Muhammad Djamil, yang memang pandai dan fasih dengan media cat air. Berdasarkan ingatannya, Firman bercerita bahwa bapaknya belajar dari orang Jepang semasa pendudukan Jepang.
Tahun 2009, Firman terlibat dalam Jogja Biennale X 2009: Jogja Jamming. Ketika itu Firman membuat karya instalasi patung bertajuk “Tidak Sapu”. Sebuah karya dengan tinggi sekitar 6 meter di Plengkung Gading. Sebelumnya, pada tahun 2003 Firman pernah terbang ke Kota Gongju, Korea Selatan sebagai salah satu seniman pada perhelatan 2003 Geumgang International Nature Art Exhibition. Di sana Firman membuat karya berjudul “The Breath of Mother Earth on Phallus”, sebuah karya instalasi berukuran 3 x 1,5 meter dengan medium bambu dan kayu. Selain itu, Firman juga menampilkan karya performance dengan judul “The Breathing”. Firman memang lekat dengan karya-karya instalasi berbahan material alam. Wajar jika namanya kerap muncul ketika membicarakan seni lingkungan.
Arsip lain yang dapat dikaitkan dalam pembicaraan atas tema ini adalah Pameran Seni Rupa Lingkungan: Proses ’85. Pameran ini berupaya mengemukakan permasalahan lingkungan hidup di Indonesia supaya terjadi pembahasan yang bergulir antara masyarakat luas, pecinta lingkungan, dan seniman. Mereka yang terlibat adalah Wienardi, Moelyono, Harris Purnama, Gendut Riyanto, FX Harsono, Bonyong Munny Ardhie. Kemudian pada tahun 1999 pernah digelar festival yang mempertontonkan berbagai macam rupa memedi (hantu) sawah yang tidak serta-merta hanya untuk mengusir hama di areal persawahan. Acara ini bertajuk Festival Memedi Sawah. Lalu setidaknya 2-3 tahun terakhir, kita masih dengan cukup mudah menemukan karya-karya yang kental dengan isu lingkungan, salah satunya I Made Bayak. Dia seniman yang aktif membicarakan soal sampah plastik. Proyek ini dinamakan plasticology. IVAA mengumpulkan arsip dengan tema ini melalui Seri Katalog Data IVAA#2: Reka Alam Praktik Seni Visual Dan IsU Lingkungan Di Indonesia (Dari Mooi Indie Hingga Reformasi).
Karya-karya yang bermain pada tema ini bisa selalu relevan dari jaman ke jaman. Namun harus diperhatikan ketika menyentuh nilai etis dan estetisnya. Karya seni yang membawa isu lingkungan sepatutnya menggunakan material yang ekologis, material yang akan hancur dengan sendirinya tanpa menimbulkan masalah pada lingkungan itu sendiri. Selain itu kadang ada tuntutan bahwa karya harus mengedukasi publik soal problem-problem ekologis. Jika manusia memang menjadi aktor perusakan lingkungan, jangan sampai kehadiran seniman dengan karya seninya justru ikut merusak.
Pesan-pesan melalui praktik seni lingkungan masih relevan untuk hari ini, untuk masa pandemi Covid-19. Bahwa manusia dan alam memang harus saling hidup menyatu, tak hanya berdampingan. Ketika suatu wabah menyerang dan membuat manusia berdiam diri di rumah, polusi udara dari asap kendaraan mulai berkurang, kualitas udara setidaknya ikut membaik. Meski tentu saja perkara pencemaran dan perusakan lingkungan yang lain belum bisa sepenuhnya tuntas. Praktik yang dilakukan seniman-seniman seperti Firman, membuka mata bahwa seni tidak harus hadir di ruang galeri, museum seni, atau rumah kolektor. Kehadiran seni dengan tema lingkungan yang kerap ditempatkan di ruang publik bisa membuat kita terlibat langsung mengapresiasi apapun bentuknya. Karya-karya demikian dapat kita temui di taman kota, jalanan kampung, pinggir sungai atau bahkan bisa jadi di tengah-tengah danau! Praktik demikian rupanya ingin mencoba menebalkan spirit, pesan dan filosofinya, bahwa tidak hanya menggunakan material alam, tidak hanya membicarakan relasi manusia dengan keseimbangan alam, tetapi juga meleburkan karyanya di ruang-ruang terbuka dan semenyatu mungkin dengan lingkungan, sedekat mungkin dengan masyarakat.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Arsip dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Maret-April 2020.