oleh Krisnawan Wisnu Adi
Lee Man Fong (1913-1984) dan kelompok Yin Hua Meishu Xiehui (Lembaga Seniman Indonesia Tionghoa) yang berdiri pada 1955 di Jakarta adalah subjek yang paling sering dibicarakan dalam obrolan sejarah seputar seni dan komunitas Tionghoa di Indonesia. Ada banyak sumber bacaan yang bisa kita simak. Salah satunya adalah “Praktik Seni Rupa Seniman Tionghoa Indonesia 1955-1965” yang ditulis oleh Brigitta Isabella dan Yerry Wirawan. Kemudian, untuk setidaknya dua dekade terakhir, kita pasti sering mendengar pembicaraan tentang sosok sekaligus kekaryaan F.X. Harsono. Sejak 1998 ia memang mulai berkarya dengan isu seputar Tionghoa yang bersinggungan dengan situasi sosial-politik di Indonesia. Sepintas lihat, kisah para seniman Indonesia Tionghoa yang dibicarakan cenderung ada dalam tegangan politik.
Suatu ketika kami bertemu dengan arsip video wawancara IVAA dengan Maria Tjui pada 2012. Beliau adalah seniman Indonesia Tionghoa yang pada masanya cukup tenar. Namun, memang sangat berbeda dengan Lee Man Fong atau F.X. Harsono, sejauh pencarian, saya belum menemukan karya Maria Tjui yang bicara soal isu Tionghoa. Hanya menemukan informasi kecil yang mungkin tidak terlalu kontekstual. Di dalam Bukittinggi Green Map gubahan Marco Kusumawijaya pada 2004, diinformasikan bahwa keponakan laki-laki Maria Tjui, Thomas Adam Tatang (Thang Sui Woen), mengelola sebuah café yang menjual produk buah-buahan lokal di Bukittinggi. Café itu didirikan pada 1967 dengan nama asli Maili. Karena nama China dilarang keras pada jaman Orde Baru, maka digantilah menjadi Monalisa Café. Selain itu, dalam rekaman wawancara yang sudah saya singgung, yang kualitas audionya tak terlalu bagus itu, Maria Tjui berkata bahwa salah satu alasan kepindahannya dari Yogyakarta ke Bali adalah karena peristiwa Gestok. Soal itu pun, saya belum menemukan informasi yang lebih detail.
Di sisi lain, ada satu ketegangan yang erat dengan sosok Maria Tjui. Adalah anggapan publik yang mengatakan bahwa dirinya menjiplak teknik melukis Affandi. Ia memang mengagumi sosok Affandi. Terutama dalam hal pelajaran hidup tentang kesederhanaan yang diajarkan sebagai seniman. Ia pernah tinggal cukup lama di rumah maestro itu pada 1958 dan kenal baik dengan Maryati serta Kartika. Dalam urusan teknik lukis, Maria juga belajar banyak dari Affandi dan mengagumi teknik plototan tubenya. Tetapi kita perlu tahu bahwa Maria juga menggunakan teknik palet untuk mengembangkan teknik melukisnya sendiri.
Pada masa itu, kira-kira 1980-an, cara pandang atas seniman dengan nalar patronasi memang cukup kuat. Sehingga, ungkapan “siapa mempengaruhi siapa” lebih dominan dari pada sosok individu seniman itu sendiri. Misal, terkait dengan Maria Tjui dalam bayang-bayang Affandi, Bambang Bujono sebagaimana dikutip oleh Alia Swastika (2019) dalam bukunya “Membaca Praktik Negosiasi Seniman Perempuan dan Politik Gender Orde Baru” menyatakan demikian, “Sedikit jauh melihat lukisannya, yang tertangkap bukan lagi bentuk tapi seperti karya non-figuratif. Tak berarti dia punya kelebihan bobot.”
Posisi perempuan yang masih dipandang sebelah mata juga menjadi faktor mengapa cara pandang patronasi begitu kuat. Maria Tjui dan beberapa perupa perempuan pada era itu mengalami hal demikian. Proses berkarya dilalui dengan usaha yang luar biasa dan bahkan harus menembus batas-batas sosial.
Maria Tjui lahir dengan nama Tjui Mauw di Pariaman, Sumatera Barat pada 14 Mei 1934. Sejak kecil ia sudah berkeinginan menjadi pelukis. Bahkan di usia 13 ia kerap menggambar wajah neneknya dan membuat hiasan ornamen untuk setiap kado yang hendak dikirim ibunya untuk kolega. Namun, banyak yang tidak setuju atas keinginannya menjadi pelukis, kecuali ayahnya yang berpikiran modern. Kabarnya ayah Maria Tjui berteman baik dengan Tan Malaka, Datuk Adam, Hamka serta Rasuna Said.
Kemudian di usia 19 ia merantau dan mencoba mendaftar sekolah di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia). Tapi ia ditolak karena mengantongi ijazah SMP swasta. Di sumber lain, yakni Berita Buana edisi 2 April 1980, dikatakan bahwa ia ditolak karena perempuan. Saat itu Maria Tjui dan seorang temannya adalah pendaftar perempuan pertama dalam sejarah ASRI. Para pemimpin kampus itu belum berani menerima mereka. Oleh karena itu ia memutuskan untuk belajar lukis di sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM) yang dipimpin oleh S. Sudjojono, pada 1953-1959. Sumber lain, yakni katalog berjudul “Maria Tjui” yang diterbitkan oleh OET’S Fine Arts Gallery (tanpa tahun), menyebut bahwa Maria Tjui belajar di SIM pada 1951. Baru pada 1961 ia diterima sebagai murid di ASRI jurusan patung sampai 1963.
Dalam video wawancara IVAA dengan Maria Tjui pada 14 Mei 2012, beliau bercerita secara singkat tentang bagaimana bentuk pendidikan seni di SIM. Bahwa akademi ala Pak Jon (sebutan untuk Sudjojono) itu adalah akademi yang bebas. Menggunakan alam sekitar sebagai sumber berkarya. Artinya, seniman diajari untuk punya pegangan yang berpijak pada bumi. “Tidak seperti hukum ekonomi-politik negara kita yang mengambang”, katanya. Namun, Maria Tjui juga menambahkan bahwa yang sering terjadi juga adalah bahwa praktik pendidikan seni kita terjebak pada figur tertentu, bukan melulu semangat komunalnya. Ini terbukti ketika beberapa sosok keluar, SIM tidak berkembang. Semangat itu tidak bisa diteruskan oleh generasi selanjutnya. Di wawancara itu ia menyebut kalau hanya 4 tahun belajar di SIM. Setelah itu ia keluar supaya menjadi lebih mandiri. Pengalaman belajar bersama SIM dan di rumah Affandi itulah yang membuat orang menjulukinya sebagai sintesis dari Affandi dan Sudjojono.
Dalam hal isu perempuan, Maria Tjui punya pandangan tegar yang selalu menerobos konstruksi sosial. Ia beranggapan bahwa sebenarnya para perempuan Indonesia banyak punya potensi melukis. Hanya sayang potensi itu tinggal potensi karena tidak berkembang karena berbagai soal. Selain itu, soal berkeluarga dan punya anak atau tidak, perempuan juga punya hak menentukan. “Kalau orang punya anak, mungkin ia bisa dibuat pusing memikirkan sekolahnya, mau dikasih makan apa, dan sebagainya. Lukisan saya tak pernah membuat saya pusing. Malah lukisan-lukisan yang jumlahnya sekitar 3000-an itu membuat saya bahagia, sebab masyarakat menyukainya”, ungkap Maria Tjui.
Pada 1964 Maria Tjui memilih tinggal di Bali, tepatnya di Peliatan, Ubud. Di situ pula bersama seniman-seniman lain ia mendirikan Sanggar Purnama. Tahun 1967 ia pergi ke luar negeri untuk berpameran di beberapa negara di Asia selama 3 tahun. Beberapa di antaranya adalah pameran di Kuala Lumpur yang didukung oleh The Peninsula Art Society of Malaysia (1967) serta di National Taiwan Art Center dan International Art Gallery, Taipei (1968). Ia terinspirasi oleh apa yang dilakukan Affandi: membawa seni dalam perjalanan untuk diri, negara, dan dunia. Namun, niatnya untuk berpameran keliling dunia tidak bisa diteruskan lantaran pada 1970 ayahnya meninggal dunia. Maria harus pulang ke Indonesia.
Hingga 1980, Maria Tjui tak pernah berpameran di Taman Ismail Marzuki (TIM). Bagi dirinya yang pernah tinggal menetap di Balai Budaya Jakarta dengan kondisi terlewat sederhana ini, TIM dianggap terlalu elit. Meski begitu, persoalan perut seniman tetap amat penting. Baginya kalau pelukis tidak boleh menjual karya, itu meminggirkan realitas bahwa seniman juga makan nasi, bukan batu. Pernah di suatu masa, di Bali memang ada Art Center. Tetapi situasinya kurang memadai. Penjualan karya oleh para seniman sering terhambat oleh jejaring bisnis yang eksklusif, yang dilakukan oleh Art Shop dan biro-biro perjalanan. Hasilnya, para seniman sering menjual karya mereka dengan harga murah. Itulah salah satu alasan mengapa ia bersama kawan-kawannya mendirikan Sanggar Purnama.
Perhatian Maria TJui kepada ekosistem seni memang sangat besar. Dua tahun sebelum kepergiannya, ia turut mengupayakan revitalisasi Balai Budaya Jakarta. Pada 3 Februari 2014 ia mengunjungi mantan wagub DKI Jakarta, Basoeki T. Purnama alias Ahok untuk menyampaikan harapannya itu seraya menyerahkan beberapa lukisan dan arsip kepada pemda DKI Jakarta. Itu adalah masa ketika kondisi Balai Budaya Jakarta ramai dibicarakan media dan dibentuklah Badan Pengelola. Sebuah buku berjudul “Balai Budaya Riwayatmu Dulu, Kini dan Esok” gubahan Nunus Supardi terbitan Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2015) banyak membahas soal perjalanan Balai Budaya. Sayang, tidak banyak kisah para seniman perempuan di dalamnya, termasuk Maria Tjui.
Maria Tjui mengakhiri perjalanan kekaryaan serta hidupnya pada Rabu, 16 November 2016 di daerah Puncak, Bogor, Jawa Barat. Seniman yang punya angan-angan mendirikan museum serta gemar menggambar bunga matahari ini menjadi sosok luar biasa, yang menebalkan perjuangan perempuan dalam ekosistem seni di Indonesia. Karya-karyanya banyak dikoleksi oleh orang-orang besar. Beberapa di antaranya adalah Adam Malik dan B.J. Habibie. Maria Tjui adalah ibu untuk seni kita.
*Sebagian besar sumber data dari tulisan ini adalah berita-berita media massa yang dapat diakses di situs arsip online IVAA.