oleh Krisnawan Wisnu Adi
Sangat jamak kita baca atau dengar tentang gebrakan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) sejak 1975 hingga 1979 dalam diskusi-diskusi atau terbitan tulisan sejarah seni di Indonesia. Praktik seni mereka yang menolak lirisisme, kategori seni, universalisme, dan menggarisbawahi nilai etika, sosial serta kekonkretan diklaim sebagai cikal bakal pertumbuhan seni rupa kontemporer di Indonesia. Setidaknya kita bisa pakai tulisan Fx. Harsono yang berjudul “Catatan Seni Rupa Kontemporer 1992: Awal Kebangkitan Kembali Seni Rupa Kontemporer” di Kompas, 28 Desember 1992 sebagai rujukan.
Maka, ditulislah bahwa apa yang terjadi pada 1990an adalah suatu kelanjutan yang lebih mutakhir. Binal Eksperimental Art 1992 di Yogyakarta menjadi salah satu fenomena gebrakan dalam dunia seni rupa. Semangat alternatif ini kemudian pada tahap tertentu membawa para pegiat seni Indonesia masuk lebih intens ke jejaring internasional, baik di Jepang atau Australia, seiring dengan perhatian kolektor luar atas karya-karya seniman Indonesia.
Situasi yang demikian ternyata merupakan fenomena regional. Setidaknya kita bisa tahu dari apa yang terjadi di Malaysia. Sarena Abdullah, seorang sejarawan seni dari Universiti Sains Malaysia, menceritakan detail perihal itu. Dalam sebuah diskusi di Rumah IVAA, pada 4 Februari 2023 (15:30-17:30 WIB), ia secara khusus menceritakan praktik eksperimentasi seni di Malaysia pada era 1990an. Tulisannya yang berjudul “Spaces of Experimentation and Collaboration in Early 1990s Malaysian Art” menjadi materi pemantik perbincangan. Diskusi ini dipandu oleh Karen Hardini, alumni PSPSR (Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa) UGM, yang belum lama ini telah berkunjung ke beberapa kantong seni di Malaysia dalam sebuah program.
Ada empat peristiwa seni yang Sarena ulas sebagai penanda, yakni pameran Sook Ching (1990), 2 Installations (1991), Warbox Lalang Killing Tools (1994), dan Skin Trilogy (1995). Melalui proyek-proyek ini eksperimentasi praktik seni terjadi secara organik, terutama keterkaitan antara seni rupa, pertunjukan, dan musik. Ada upaya untuk meleburkan relasi hirarkis antar seniman, bahkan antar seniman dengan publiknya. Salah satu contoh adalah hajatan Warbox Lalang Killing Tools. Sebuah band punk, Carburetor Dung, menjadi bagian penting dari acara itu. Banyak publik fans band ini, yakni komunitas punk di Malaysia, datang dan memenuhi Balai Seni Lukis Negara. Kehadiran mereka adalah peretasan elitisme ruang pameran seni rupa yang cenderung eksklusif.
Alternatif menjadi kata kunci dari praktik seni di Malaysia pada era 1990an ini. Dalam diskusi, diulas juga bahwa alternatif yang diupayakan sebenarnya berupaya untuk merespon kekangan komersialisasi dalam dunia seni rupa. Ruang-ruang yang dipilih juga sangat spesifik sebagai medan kritik.
Semangat kritisisme ini sebenarnya juga telah muncul pada 1974, dalam perdebatan atas komersialisasi yang berangkat dari pameran Towards A Mystical Reality. Bedanya, pada era 1990an, kritisisme lebih beroperasi secara inklusif dan melibatkan eksperimentasi praktik seni secara artistik. Hampir mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia, pada 2000an di Malaysia pun mulai bermunculan kolektif yang seolah meneruskan semangat kritisisme itu.
Memang, masing-masing tempat punya isunya masing-masing. Tapi kita bisa melihat ada kecenderungan yang hampir mirip antara Indonesia dan Malaysia. Salah satunya adalah penetrasi pasar serta estetika seni tinggi yang pada waktu itu menjadi sasaran kritik.