oleh Stephanie Dian
Pada Kamis, 27 Januari 2023, Rumah IVAA mengadakan sebuah acara diskusi buku yang kali ini membahas buku “Ideologi, Politik, Sanggarbambu 1959-1969” yang ditulis oleh Athif Thitah Amithuhu. Acara dimulai pada pukul 15.30 WIB hingga 17.30 WIB. Selain menghadirkan si penulis, rumah IVAA juga menghadirkan Putu Sridiniari sebagai pembahas serta Ainun Mutmainnah (bawabuku) sebagai moderator selama acara diskusi berlangsung. Acara dimulai dengan kata sambutan dari direktur rumah IVAA, Lisistrata Lusandiana dan langsung dilanjutkan oleh Mbak Ainun selaku moderator acara dengan memperkenalkan profil sang penulis serta pembahas secara singkat.
Pemaparan diskusi buku berlangsung dengan pembawaan materi yang cukup menarik. “Bagaimana? Pelukis kok tidak punya sanggar, To?” Sebuah kalimat ejekan Kirdjomulyo kepada kawannya Soenarto yang sangat ikonik ini ialah sebuah awal mula terciptanya Sanggarbambu. Berdirinya Sanggarbambu pada 1959 ini merupakan sebuah masa peralihan Indonesia dari demokrasi liberal ke demokrasi terpimpin. Selain terdapatnya peralihan demokrasi, Mas Athif juga memaparkan bahwa tahun-tahun itu juga merupakan lahirnya arah konsentrasi kebudayaan atau kepribadian bangsa yang diwujudkan tiap partai melalui lembaga kebudayaan. Salah satunya adalah PNI (Partai Nasional Indonesia) dengan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional). Sitor Situmorang sebagai salah satu orang penting di dalam LKN punya hubungan dekat dengan Soenarto Pr. LKN didirikan pada Mei, sementara Sanggarbambu didirikan pada April.
Sebuah pembahasan mengenai Sanggarbambu dan kaitannya dengan konteks sosial-politik Indonesia zaman itu dijelaskan secara ringkas dengan mengambil beberapa kejadian yang menjadi highlight antara hubungan politik dengan Sanggarbambu sendiri. Selang pergantian tahun, pada periode 1959-1961 para anggota Sanggarbambu dilansir mulai mengenal kota Jakarta. Jika membahas Jakarta dan hubungannya dengan Sanggarbambu, ini terlihat dalam struktur Sanggarbambu yang dibentuk. “Dalam Sanggarbambu itu, ada tiga komisariat: Komisariat Jiwa di Jogja, Komisariat Nafas di Jakarta, dan Komisariat Tubuh yang berada di seluruh Indonesia sebagai praktek dari pameran keliling,” jelas Mas Athif. Fungsi dari Komisariat Nafas yang terdapat di Jakarta ini untuk menghidupi Sanggarbambu di Jogja (Komisariat Jiwa). Begitulah rangkuman dari pemaparan beberapa momen Sanggarbambu.
Tak selesai sampai di situ, kini Mbak Putu sebagai pembahas mulai memaparkan perspektifnya mengenai struktur Sanggarbambu yang ia anggap “dikelola ibarat partai politik” karena begitu matang, namun sebisa mungkin “menjauhi partai politik”. Menurutnya, banyak pelajaran yang bisa diambil dari Sanggarbambu, salah satunya adalah cara pengelolaan kelompok seni agar dapat bertahan lama. Kembali membahas mengenai Komisariat yang terbentuk pada Sanggarbambu ini, yang mana pada tahun 1959 sampai 1969, Jogja memiliki ketergantungan agar bisa berproses pada Jakarta, yang merupakan sebuah opsi yang dikembangkan dalam mencari orderan.
Beralih ke topik lain, pemikiran Mbak Putu mengenai sebuah konsepsi dari logo Sanggarbambu mengingatkannya pada sebuah film berjudul “Cave of Forgotten Dreams”. Terdapat relief dari aspek penarasian serta dari sisi bentuknya yang membuat Mbak Putu tertarik. Relief ini memiliki mirip dengan sketsa logo Sanggarbambu yang dibuat oleh Handogo Soekarno pada tahun 1962.
Diskusi terus berlanjut, tak hanya melibatkan tiga pembicara, para peserta tentu diberikan kesempatan dalam bertanya hingga berbagi pengalamannya yang berkaitan dengan Sanggarbambu. Salah satunya datang dari seorang seniman Sanggarbambu, yaitu Totok Buchori. Beliau memberikan pengalamannya mengenai Sanggarbambu selama ini, mulai dari awal kali mengenal Sanggarbambu ketika menjadi siswa SMSR hingga Sanggarbambu yang vakum cukup lama. Tak hanya sosok Totok Buchori yang membagikan pengalamannya, ada juga Mas Danang yang membagikan pengalamannya sebagai keluarga dari seorang seniman Sanggarbambu Bali (Rusdi). Cukup banyak cerita menarik, mulai dari asal mula berdiri hingga cerita personal dari para seniman yang berada di bawah atap Sanggarbambu itu sendiri. Untuk ulasan yang lebih dalam, rekan-rekan bisa langsung membaca buku “Ideologi, Politik, Sanggarbambu 1959-1969” karangan Athif Thitah Amithuhu ini.