oleh Krisnawan Wisnu Adi
“Gimana sih, Mbak, cara memahami karya seni abstrak?”, tanya seorang sopir ojek online.
Brigitta Isabella membuka diskusi ini dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang sopir ojek online kepadanya dalam suatu perjalanan. Sebuah pertanyaan yang sangat jamak dilontarkan oleh publik ketika bertemu dengan seni abstrak. Pertanyaan ini pula yang mengantar diskusi ini pada suatu perpanjangan kemungkinan dari seni abstrak yang selalu digaungkan dengan anggapan “karya itu yang akan bicara”. Selain itu diskusi ini juga menyinggung perkembangan atau posisi seni abstrak di Indonesia hari ini.
“Abstrak yang Abstrak” menjadi tajuk pembingkai diskusi yang digelar di Rumah IVAA pada Rabu, 11 Januari 2023 ini. Kurang lebih dimulai pada jam 15:30 WIB, diskusi ini menghadirkan Mutiara Riswari, Ferdy Thaeras, dan Kuss Indarto sebagai pemantik dan Brigitta Isabella sebagai moderator. Diskusi ini adalah ruang obrolan untuk menelisik seni abstrak hari ini dengan berangkat dari dua peristiwa.
Peristiwa pertama adalah pameran “Infinite Illusions” yang digelar di Art:1 Newmuseum, Jakarta, pada 23 Juli hingga 20 Agustus 2022. Dalam pameran itu 6 perupa perempuan muda, yakni Desy Febrianti, Elisa Faustina, Faelerie, Mutiara Riswari, Ramadhyan Putri Pertiwi, dan Rizka Azizah Hayati, menyuguhkan 56 karya. Semua perupa itu sama-sama mengenyam pendidikan seni rupa di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan punya kecenderungan ekspresi visual abstrak. Pameran ini, menurut Kuss Indarto sebagai kuratornya, juga diniatkan menjadi forum bagi para perupa perempuan muda di tengah dominasi perupa laki-laki.
Pameran ini menjadi pijakan refleksi atas posisi seni abstrak, baik dalam konteks personal maupun nasional hingga internasional. Bagi Mutiara Riswari, seni abstrak adalah alat untuk menggali perihal “jagad alit” atau mikrokosmos dalam dirinya. Terutama ketika pandemi Covid-19 sedang ganas-ganasnya dan membuat seseorang terombang-ambing hampir di semua lini kehidupan, seni abstrak menjadi alat untuk menjaga kesadaran. Salah satunya muncul dalam karya Mutiara dalam pameran Infinite Illusions yang berjudul “The Waves”. Karya itu bagi Mutiara adalah sebuah wujud keberpihakan dirinya kepada memori atas laut. Bahwa laut adalah ruang di mana salah satu ingatan lampaunya tertanam.
Lantas apakah publik akan berpikir demikian? Alih-alih mengandalkan anggapan klasik bahwa “karyalah yang akan bicara”, Mutiara justru sangat terbuka jika penikmat karyanya ingin tahu lebih dalam. Narasi di balik karya akan ia ceritakan beserta menerima persepsi dari publik. Maka, ini bukan hanya perihal individualitas Mutiara tapi justru peristiwa intersubjektivitas. Fenomena ini bagi Kuss Indarto, dalam konteks seni abstrak, menunjukkan bahwa jika generasi tua cenderung berhenti pada visualitas karya, maka generasi muda lebih memperlakukan seni abstrak sebagai kendaraan untuk bicara sesuatu. Bahkan, seni abstrak hari ini, berkaca dari pameran Infinite Illusions bisa dibilang mampu menjadi ruang bagi para perupa perempuan untuk menantang dominasi laki-laki dalam ekosistem seni. Lepas dari publik mengamini atau tidak, setidaknya, meminjam istilah Brigitta, ekspresi itu adalah bentuk proposal yang bisa kita cermati bersama.
Kuss kemudian melanjutkan perbincangan dengan sedikit menceritakan perkembangan seni abstrak. Pada 1990an gaya lukis yang cukup dominan adalah surealis dan yang bertema sosial-politik. Dalam era itu, seni abstrak yang berkembang di Bandung lebih populer dari pada di Yogyakarta dan Bali yang cenderung berekspresi abstrak dengan akar tradisi. Perubahan terjadi pada awal 2000an, ketika seni abstrak mulai bergeliat lagi dalam konteks global. Sejak masa itu, seni atau ekspresi abstrak tidak melulu tentang individualitas seniman, melainkan juga keterkaitan dengan lingkungan sekitar. Abstrak bukan hanya soal yang indah tapi juga yang menyedihkan. Ia menawarkan refleksi yang lebih dalam.
Peristiwa kedua adalah pameran tunggal Ferdy Thaeras di Galeri IFI-LIP Yogyakarta pada 23 Desember 2022 hingga 14 Januari 2023. Sebuah pameran di mana Ferdy, sebagai seorang perupa, menggunakan seni lukis abstrak untuk menerjemahkan dinamika kehidupannya dari Jakarta, Bali hingga New York. Ada 25 lukisan yang ia pamerkan dan juga empat karya kain yang direpresentasikan dalam sebuah dramatic reading pada 11 Januari 2023 dengan naskah “Les Bonnes”, disutradarai oleh Irfannudien Ghozali.
Keputusan untuk mencoba tinggal di New York adalah sebuah kenekatan bagi Ferdy. Alih-alih secara cepat merasakan gemilang kota besar itu, Ferdy justru mengalami serangkaian peristiwa sulit. Mulai dari aktivitas harian yang harus dijalani dalam sebuah apartemen 2×3 meter hingga sulitnya menjual karya di sana. Bertemulah ia dengan Joned Suryatmoko, seorang sutradara, peneliti, dan seniman Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di sana. Niatan pertemuan itu adalah upaya Ferdy untuk mengurai kegundahannya sebagai seseorang yang sedang bertahan hidup di kota super metropolitan itu.
Joned lantas menantang Ferdy untuk menyelami sebuah naskah berjudul “Les Bonnes” karangan Jean Genet. Naskah ini bercerita tentang dua orang perempuan pelayan yang bekerja untuk seorang majikan kaya raya di Paris pada 1930an. Menjadi majikan adalah harapan dua pelayan itu, dan role play pada akhirnya menjadi kata kunci. Cerita ini menjadi inspirasi Ferdy untuk memaknai kehidupannya saat itu. Menjadi seorang Indonesia di New York entah mengapa punya frekuensi yang sama seperti dua pelayan yang berangan menjadi majikan itu. Lalu, ia pun menuangkan refleksinya itu melalui seni abstrak. Ruang tinggalnya yang sempit itu, alih-alih dianggap sebagai hambatan, justru ia persilakan hadir sebagai muatan penting yang mempengaruhi kekaryaannya. Jika Ferdy biasanya membuat karya dengan ukuran besar, kali ini ia membuat beberapa dengan ukuran kecil. Setelah 6 bulan berdinamika di New York, ia kembali ke Indonesia dan menggelar pameran tunggalnya di IFI-LIP Yogyakarta itu.
Dua peristiwa di atas adalah bentuk nyata atas kemungkinan lebih jauh dari seni maupun ekspresi abstrak. Bahwa ia tidak hanya berhenti pada visualitas karya, melainkan mampu menjadi kendaraan untuk membicarakan sesuatu secara lebih mendalam. Seni maupun ekspresi abstrak, berkaca dari suplemen Joned di menjelang akhir diskusi, adalah performativitas.
Tulisan ini hanyalah cuplikan. Jika teman-teman mencari jawaban dari pertanyaan sopir ojek online tadi, barangkali bisa menyimak video dokumentasinya di youtube IVAA.