Oleh Krisnawan Wisnu Adi
Di rubrik Baca Arsip edisi sebelumnya ada tiga konsep yang secara singkat diulas sebagai kelanjutan dari ketertarikan IVAA terhadap fenomena kesenian dan identitas Indonesia/ nasional/ lokal/ Nusantara . Tiga konsep itu adalah tradisi, Nusantara, dan kontemporer [1]. Tradisi dikembalikan kepada pengertian harafiahnya, yang secara sederhana dapat dikatakan sebagai proses penyerahan dari generasi ke generasi. Artinya ia tidak bisa hanya dimengerti sebagai sesuatu yang disusul oleh modernitas. Kemudian Nusantara, bukan hanya sebuah sinonim dari nama Indonesia, melainkan lebih dari itu ia adalah konsep yang memiliki makna geopolitis. Lalu kontemporer, dimaknai sebagai perbincangan soal waktu yang tidak bisa dilihat hanya sebagai transisi dari yang modern, melainkan dapat dimengerti dalam kesegeraan perbedaan.
Ketiga konsep di atas kemudian digunakan untuk membaca kecenderungan peristiwa kesenian di Indonesia secara historis, yang dimulai dari masa PERSAGI, GSRB, hingga praktik artistik seniman Indonesia di ajang internasional akhir-akhir ini. Terdapat setidaknya tiga kecenderungan yang muncul yakni; pencarian bentuk pengucapan dan identitas nasional, identitas pribadi seniman dan kritik kepada yang global, serta keindonesiaan sebagai komoditas di pasar seni global.
Dari pembacaan sederhana tersebut kemudian muncul pertanyaan; apakah kecenderungan yang muncul dari karya dan sepak terjang seniman Indonesia saat ini masih bisa dikatakan sebagai bagian dari strategi kebudayaan? Atau justru, jalur ekonomi artistik adalah satu-satunya moda untuk mengidentifikasi identitas keindonesiaan di era kontemporer?
Sebagai eksplorasi berjalan, tulisan di edisi ini hendak melanjutkan pembacaan IVAA terhadap fenomena kesenian dan identitas Indonesia di atas. Pembicaraan mengenai dua unsur itu bukan merupakan hal yang usang, karena situasi masyarakat kita sedang bergejolak di tengah pusaran kosmopolitanisme; ketika batas sudah menjadi kabur; ketika berbagai objek dipamerkan di atmosfer internasional; ketika identitas dan konteks historis-sosial-kultural bersinggungan dengan kapitalisme global.
Kami berupaya menemukan asumsi sebanyak mungkin, guna menemukan batasan penelitian yang tepat. Juga, tulisan ini berusaha melakukan kritik terhadap pembahasan konsep kontemporer di edisi sebelumnya, untuk kemudian dihubungkan dengan peristiwa kesenian yang dianggap menggunakan atribut Nusantara.
Kontemporer; Problem Waktu dan Juga Ruang
Di edisi sebelumnya, pemahaman mengenai kontemporer lebih ditekankan dalam persoalan waktu. Dengan mengutip gagasan dari Terry Smith (2006) dalam tulisannya yang berjudul ‘Contemporary, Contemporaneity’, kontemporer dihadirkan dalam perbincangan mengenai posisinya yang mengambil alih fungsi kata modern untuk menjelaskan ‘yang sekarang’. Terma kesejamanan akhirnya dipakai untuk mengganti terma contemporaneity. Dikatakan bahwa contemporaneity (kesejamanan) atau kondisi yang kontemporer tidak bisa dilihat hanya sebagai hasil transisi dari yang modern, melainkan ia dapat dimengerti dalam kesegeraan perbedaan. Menjadi kontemporer adalah hidup dalam masa sekarang secara penuh dengan cara-cara yang mengakui aspek-aspeknya sebagai ‘yang sementara’, kepadatan yang semakin dalam, perpecahannya yang tidak beralasan, dan kedekatan yang mengancam.
Meski hanya dibicarakan dalam persoalan waktu, ia juga cukup dimengerti secara kritis ketika ia tidak hanya dilihat sebagai hasil transisi dari yang modern. Perbedaan menjadi hal yang cukup menjadi perhatian. Namun, pemahaman tersebut belum cukup dekat untuk digunakan dalam membaca fenomena kesenian yang terkait dengan identitas Indonesia, atau dalam artian tertentu Nusantara. Mungkin akan lebih tepat jika berada dalam perdebatan teoritis di filsafat, atau secara khusus antara teori sosial dan teori posmodernisme (mengingat unsur perbedaan dan kesementaraan cukup kuat).
Secara lebih mendalam dan kritis Mitha Budhyarto (2014) dalam tulisannya yang berjudul ‘Seni Masa Kini: Catatan tentang ‘Kontemporer’’ menjelaskan makna kontemporer dengan mengambil gagasan dari Peter Osborne dan Giorgio Agamben. Ia menjelaskan bahwa kategori ‘seni kontemporer’ yang mengacu pada semua praktik kesenian yang sedang terjadi di masa kini jelas bermasalah, karena menghapus kompleksitas eksistensial, sosial, dan politisnya [2]. Oleh karena itu, masa kini jelas bukan semata kumpulan momen yang hadir dan bisa kita alami sekarang, di masa ini, melainkan pertemuan antara kewaktuan yang berbeda dalam satu waktu: ‘a coming together of different but equally ‘present’ times.'[3]
Pemaknaan kontemporer yang masih terbatas pada arti ‘hadir dalam masa sekarang’, cenderung menghasilkan konsep kontemporer yang memiliki sifat fiktif. Fiksi mengenai kekinian bukan saja menyangkut hubungan yang dimiliki kategori historis ini dengan kewaktuan, tapi juga memiliki suatu implikasi geo-politis. Mengingat bahwa fiksi tersebut tetap dihidupi dalam ruang-ruang sosial yang ada secara global, baik dalam bentuk ‘komunitas’, ‘kebudayaan’, ‘negara’, ‘masyarakat’, dan selanjutnya. Realita di dalam ruang-ruang sosial itu memiliki peran penting dalam bagaimana kita memaknai kekinian. Osborne berpendapat bahwa jawaban dari pertanyaan ‘apa yang dimaksud dengan kekinian’ bergantung pada lokasi dimana pertanyaan itu muncul.[4]
Menurut Osborne, ‘kekinian’ sebagai suatu fiksi geopolitis (i.e. menyangkut ruang sosial dan tidak hanya kewaktuan saja) terlihat jelas pada apa yang disebutnya sebagai realita ‘kelintas-negaraan global’ (‘the global transnational’): ilusi mengenai kemungkinan untuk melintasi batas nasionalisme dan kenegaraan secara global. Bagi dia seni seolah menjadi paspor untuk masuk ke dalam realita itu[5]. Mitha selanjutnya mengutip gagasan Osborne bahwa konstruksi sejarah seni seharusnya tidak lagi bicara soal kanon, melainkan membangun suatu hubungan dengan apa yang disebut ‘the historical temporality of art itself’.[6]
Tulisan dari Mitha yang terinspirasi dari gagasan Osborne dan Agamben menjadi kritik untuk pemaknaan kontemporer di edisi sebelumnya. Bahwa pemaknaan kontemporer perlu menghadirkan aspek geopolitis, ketika ia dimengerti sebagai kehadiran kewaktuan yang berbeda di dalam satu waktu dan ruang sosial. Apalagi ketika melibatkan realita kelintas-negaraan global, asumsi penghadiran kolektivitas politis yang absen, berpotensi muncul untuk tujuan tertentu.
Ketika Nusantara sebagai Konsep Geopolitis Bersentuhan dengan Seni di ‘Era Kontemporer’
Tentu, ada alasan mengapa kami mengulas kembali perihal kontemporer. Kami merasa perbincangan mengenai kontemporer tidak akan pernah menjumpai titik akhir, meski publik dari beragam disiplin ilmu sudah membicarakannya sejak lama. Secara khusus kami justru tertarik untuk menggunakan pemaknaan kontemporer dari Osborne dan Agamben dalam membaca kecenderungan fenomena kesenian yang bersentuhan dengan identitas Indonesia atau Nusantara.
Poin soal kehadiran kewaktuan yang berbeda di dalam satu waktu dan ruang sosial, serta fiksi geopolitis sebagai perhatian lanjut, sangat erat kaitannya dengan makna Nusantara yang bukan sekedar nama, akan tetapi lebih pada spirit geopolitis. Di edisi sebelumnya dijelaskan secara singkat bahwa konsep Nusantara memiliki makna geopolitis, ketika ia lahir dari sejarah Kerajaan Majapahit (Gadjah Mada dan sumpahnya) hingga keterkaitannya dengan bangsa Melayu dan fenomena pertarungan klaim atas Laut Cina Selatan.
Dapat dikatakan bahwa membicarakan Nusantara di ‘era kontemporer’ dalam konteks kesenian adalah hal yang relevan dan penting untuk dilakukan. Alasannya adalah mungkin tidak hanya persoalan nama atau atribut, tetapi juga mungkin terdapat kecenderungan politis tertentu yang sedang dihidupi melalui berbagai aktivitas seni yang menggunakan atribut Nusantara/ Indonesia/ nasional/ dsb di kancah global atau internasional. Apakah fiksi geopolitis seperti dalam pemaknaan atas kontemporer oleh Osborne memang muncul dari fenomena kesenian yang menggunakan atribut Nusantara atau Indonesia?
Festival Kebudayaan Panji; Dari Kediri hingga Asia Tenggara
Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar Festival Panji Internasional yang diselenggarakan pada 27 Mei-13 Juli 2018 di delapan kota, yaitu Denpasar, Surabaya, Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Yogyakarta, dan Jakarta (puncak acara). Festival ini diikuti oleh tiga negara peserta di regional ASEAN, yaitu Indonesia, Kamboja, dan Thailand. Hajatan besar ini sebenarnya adalah kelanjutan dari Festival Nasional Budaya Panji yang sudah rutin digelar secara rutin sejak 2005 di Kediri, Jawa Timur.
Harapan dari adanya Festival Nasional Budaya Panji ini adalah agar budaya Panji yang tersesat di wilayah Nusantara dapat dirajut kembali dengan lebih harmonis dan bermakna. Bupati Kediri, Haryanti Sutrisno, dalam pembukaan Festival Nasional Budaya Panji 2017 mengatakan demikian, ‘Diharapkan, festival ini menjadi sarana menghimpun kembali budaya Panji yang berakar di Jawa Timur, khususnya Kabupaten Kediri, yang tersesat di berbagai wilayah nusantara untuk kita rangkai kembali menjadi lebih indah dan bermakna[7].’ Selanjutnya di Festival Panji Internasional, Direktur Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Restu Gunawan mengatakan, tujuan Indonesia menggelar Festival Panji Internasional adalah untuk mengajak negara-negara di ASEAN bersama-sama merayakan Panji sebagai warisan budaya dunia[8]. Secara lebih khusus, festival ini sebenarnya juga bagian atau kelanjutan dari legitimasi keberadaannya secara internasional. Cerita Panji telah ditetapkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai Memory of the World (MoW) atau ‘Ingatan Dunia’ dalam situs resmi Memory of the World-UNESCO tertanggal 31 Oktober 2017.
Berbagai kegiatan kesenian, termasuk pameran seni rupa, menjadi bagian dari festival ini. Fenomena tersebut dapat menjadi studi kasus untuk melihat kecenderungan kesenian ‘kontemporer’ (secara sempit dalam artian ‘yang sekarang’) dan logika pendokumentasian (pengarsipan?) yang menggunakan atribut Nusantara atau Indonesia. Apakah fiksi geopolitis sebagai kecenderungan kontemporer akan muncul dapat menjadi pertanyaan yang relevan, mengingat gerak festival ini digelar dari cakupan nasional hingga regional? Namun, ada baiknya jika kita sedikit menilik apa itu Panji dan konteks historisnya.
Hermanu dalam bukunya yang berjudul ‘Panji dari Bobung’, dengan mengutip tulisan dari beberapa sumber sejarah, menceritakan secara singkat tentang Panji. Panji adalah cerita yang muncul pada tengah pertama abad 13 M, pada menjelang lahirnya kerajaan Majapahit. Dalam catatan sejarah, setidaknya tahun 1375, cerita Panji sudah populer di Jawa Timur. Hal ini dibuktikan dengan adanya relief di Candi Panataran (1369) yang menggambarkan adegan Panji Kartala dihadap oleh panakawan Prasanta. Setidaknya terdapat unsur-unsur kesamaan antara cerita Panji dengan keadaan dan peristiwa sejarah yang terjadi sebelumnya. Sejarah mencatat bahwa tahun 1049, sebelum turun tahta raja Airlangga di Kahuripan membagi kerajaan menjadi dua untuk anak-anaknya dari istri selir. Pembagian dua wilayah tersebut dibatasi oleh sungai Brantas. Di sebelah timur sungai itu dinamakan Jenggala, dan sebelah barat dinamai Panjalu, yang di kemudian hari terkenal dengan sebutan Kediri atau Daha.[9]
Keberadaan raja Jenggala dan raja Kediri di dalam cerita Panji, dengan demikian dapat dianalogikan sebagai dua penguasa wilayah Jenggala dan Panjalu dalam dimensi sejarah yang merupakan putra-putra keturunan Raja Airlangga. Adapun perbedaannya adalah pada sosok Candrakirana, yang dalam cerita Panji adalah putri mahkota Kediri yang dipertunangkan dengan putra mahkota Jenggala, yakni Panji Asmarabangun atau Inu Kertapati[10]. Secara garis besar inti cerita Panji adalah bersatunya Panji Asmarabangun dan Candrakirana setelah mengalami berbagai perjalanan, perpecahan dan rintangan. Secara sekilas jika ditarik dalam konteks sekarang, cerita ini menganalogikan usaha untuk mengembalikan ingatan kolektif Nusantara secara geopolitis.
Hermanu menjelaskan bahwa Cerita Panji nampak seperti babad. Babad adalah catatan-catatan sejarah yang dielaborasi dengan unsur-unsur legenda dan mitos. Situasi kehidupan suatu wilayah sering disampaikan secara samar-samar[11]. Sifat elastis ini justru membuat cerita Panji menjadi adaptif, ketika ia tersebar di beberapa daerah di Indonesia hingga beberapa negara di kawasan Asia Tenggara. Salah satunya di Thailand, terdapat karya sastra saduran cerita Panji yang menjadi sumber cerita untuk dua teater tradisional yang disebut Dalang dan Inao. Nama Inao mengingatkan kita pada nama tokoh utama dalam cerita Panji, yakni Inu Kertapati yang juga bernama Asmarabangun.
Fiksi Geopolitis dalam Ilusi Kosmopolitanisme
Ambisi pemerintah untuk merajut kembali budaya Panji yang tersesat di wilayah Nusantara (baik di wilayah nasional hingga Asia Tenggara) dapat dilihat sebagai celah untuk menelusuri kemungkinan keberadaan fiksi geopolitis. Panji adalah cerita yang sifatnya fiktif, seperti yang dikatakan oleh Hermanu, bahwa ia itu seperti babad yang elastis dan adaptif (bukan catatan sejarah yang valid), sehingga mampu diadopsi dan disesuaikan dengan konteks berbagai wilayah. Maka ia mampu menyebar hingga ke beberapa negara di Asia Tenggara. Lalu, keberadaan Festival Panji Internasional dan cerita bertemunya kembali Panji Asmarabangun dengan Candrakirana sebagai analogi, dapat dilihat sebagai ambisi untuk menyatukan kembali ikatan entitas-entitas politik yang terpisah. Menjadi satu kemungkinan yang perlu diuji, bahwa Negara mungkin berambisi untuk meneguhkan kembali identitas Indonesia sebagai Nusantara yang jaya.
Fiksi geopolitis sebenarnya dapat dimaknai sebagai sebuah alternatif dalam pergaulan internasional. Ia dapat menjadi celah untuk menghadirkan kembali kolektivitas politis yang absen. Apalagi dalam wacana poskolonial ia bisa menjadi ruang untuk mengkritisi jejak-jejak kolonial dalam berbagai tradisi, termasuk di dalamnya adalah kesenian. Saya membayangkan apakah dengan adanya Festival Panji Internasional ini Negara ingin mengajak publik dari level nasional hingga Asia Tenggara untuk meninjau kembali proses kebudayaan kita sebagai negara-negara bekas jajahan, yang diperumpamakan dengan rajutan budaya Panji.
Namun, terkait persoalan asumsi keberadaan fiksi geopolitis praktik seni dalam konteks poskolonial, kita perlu untuk melihat dahulu logika pengarsipan dan penyiarannya. Dalam buku ‘Arsipelago; Kerja Arsip & Pengarsipan Seni Budaya di Indonesia’ suntingan Farah Wardani dan Yoshi Fajar Kresno Murti (2014), dalam pengantarnya yang ditulis oleh Yoshi Fajar, dikatakan bahwa setidaknya ada dua perkara yang mengemuka ketika membicarakan dokumentasi dan pendokumentasian seni budaya dengan orang-orang pemerintahan. Dua perkara itu adalah politik klaim dan akses. Politik klaim bicara soal motif pendokumentasian didasari oleh pemahaman bahwa arsip diperlukan untuk memperkuat argumentasi klaim kepemilikan. Sedangkan politik akses adalah mengenai motif pendokumentasian didasari oleh pemahaman bahwa arsip diperlukan untuk menjaga keunikan aset seni budaya bangsa.[12]
Pada kenyataannya dua motif itu hanya menjadi jargon karena pemerintah telah gagal dalam menghadirkan pembaruan cara pandang, pengambilan posisi keberpihakan, dan visi budaya kemanusiaan. Seni budaya hanya dilihat sebagai produk dalam proyek politik ekonomi, bukan proyek budaya yang dinamis, yang melekat dan menubuh dalam daur ulang perkembangan jaman.
Dalam fenomena Festival Panji, logika pendokumentasian dan penyiaran budaya Panji sebagai salah satu identitas Indonesia masih berorientasi pada produk dalam bingkai proyek politik ekonomi. Hal ini nampak jelas dari pernyataan Restu Gunawan, Direktur Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, dalam website Kemendikbud, ‘Ini (Festival Panji Internasional) juga bagian dari itu (Memory of the World). Dalam rangka merawat Panji sebagai Memory of the World. Kalau sudah diakui kan harus ada kegiatan atau aktivitasnya.'[13] Dari pernyataan itu jelas dapat dilihat bahwa Festival Panji hanyalah sebagai proyek yang berorientasi produk.
Yoshi juga menuliskan bahwa di konteks arena pasar yang buas menindas dan kapitalisme global yang ekspansif, otoritas akan klaim dan akses sangat menentukan posisi strategis kuasa kontrol politik, sosial budaya, pengetahuan, dan nilai ekonomi sebuah lokalitas dan identitas negara-bangsa.[14] Dalam praktiknya, nalar kolonialisme yang berpusar pada tiga kepentingan kekuasaan, yakni kepentingan birokrasi, politik, dan ekonomi, masih saja direproduksi oleh Negara. Nalar ini juga masih bekerja di dalam Festival Panji.
Oleh karena itu, fiksi geopolitis yang diasumsikan muncul dari Festival Panji tidak bisa dikatakan sebagai alternatif. Ia tidak dibangun secara kritis berdasarkan realitas sosial dan visi ke depan sebagai negara bekas jajahan. Ia tidak memunculkan kolektitivas politis yang absen dari proses kebudayaan. Otoritas akan klaim dan akses dalam Festival Panji di satu sisi hanya bergerak dalam ilusi arus kosmopolitanisme dalam bingkai ekonomi-politik, ketika lingkupnya telah merambah dari Kediri hingga ke wilayah Asia Tenggara.
Penutup
Pembacaan IVAA kali ini memang masih terbatas pada fenomena kesenian yang diinisiasi oleh Negara, yakni Festival Panji. Poin yang dapat diambil adalah bahwa keberadaan fiksi geopolitis dari festival kebudayaan itu sepertinya tidak dibalut dalam kerangka politis yang kritis. Ekstremnya, ia hanyalah fiksi yang tidak dinamis ketika kehadiran kewaktuan yang berbeda bersama dengan ruang-ruang sosialnya tidak hadir untuk memperkaya diskursus identitas seni di Indonesia secara holistik. Ketika identitas tradisi/ nasional/ Indonesia/ Nusantara masih dipamerkan dengan logika konservasi warisan kolonial.
Namun kecenderungan keberadaan fiksi geopolitis tersebut mungkin akan berbeda bunyinya ketika pembicaraan mengenai fenomena kesenian di era kontemporer yang beratribut Nusantara/ Indonesia/ lokal, dsb diberangkatkan dari kerja-kerja artistik oleh individu atau kolektif. Dalam konteks pergaulan internasional atau kehabluran batas identitas dalam arus kosmopolitanisme, apakah aktor-aktor ini mampu menjadi alternatif untuk melihat kebudayaan kita secara kritis?. Sejauh apa praktik dan kelindan wacana di benak pelaku seni, bisa memberikan gambaran yang lebih konkret untuk mempertajam rangkaian asumsi yang beredar dalam dua edisi baca arsip kali ini?
[1] Karena pengertian masing-masing terma masih kompleks dan problematis, belum ada terma tunggal yang dipakai secara kontekstual. Maka dalam tulisan ini penggunaannya akan nampak tumpang tindih dan bergantian.
[2] Mitha Budhyarto, Seni Masa Kini: Catatan tentang ‘Kontemporer’. Makalah Acara Guru-Guru Muda Langgeng Art Foundation, 13 Desember 2014, Yogyakarta, hal. 3
[3] Ibid. hal. 5
[4] Ibid.
[5] Ibid. hal. 6
[6] Ibid. hal. 15
[7] https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/07/melestarikan-karya-sastra-lisan-panji-melalui-festival-budaya
[8] https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2018/05/diikuti-3-negara-asean-indonesia-akan-menggelar-festival-panji-internasional
[9] Hermanu, Panji dari Bobung, Bentara Budaya Yogyakarta, 2012, hal. 70.
[10] Ibid. hal. 71
[11] Ibid. hal. 72
[12] Farah Wardani & Yoshi Fajar Kresno Murti, Arsipelago: Kerja Arsip & Pengarsipan Seni Budaya di Indonesia, IVAA, 2014, Yogyakarta, hal. Iv-v.
[13] https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2018/05/diikuti-3-negara-asean-indonesia-akan-menggelar-festival-panji-internasional
[14] Farah Wardani & Yoshi Fajar Kresno Murti, Arsipelago: Kerja Arsip & Pengarsipan Seni Budaya di Indonesia, IVAA, 2014, Yogyakarta, hal. vi.
*Foto cover adalah lukisan karya Mulyo Gunarso_Naik Garuda Mencari Cinta Sejati, dalam Pameran Seni Rupa Panji di Museum Sonobudoyo Juli 2018
Artikel ini merupakan rubrik Baca Arsip dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Juli-Agustus 2018.