Oleh: Silvy Wahyuni (Kawan Magang IVAA)
Subandi Giyanto adalah seniman yang dominan memakai corak tradisional pada karyanya. Fenomena baru yang diangkat pada karya beliau yang berbentuk mobil, berawal dari perjalanan panjang pencarian identitasnya. Terhitung sejak 2009, karya Subandi berkembang cukup pesat berkat saran-saran dari Samuel Indratma. Samuel selalu mendorongnya untuk melahirkan berbagai inovasi. Seperti membuat sebuah mural di jembatan layang Lempuyangan. Dari seringnya diskusi dengan Samuel, seniman senior, juga kolega-kolega lama, akhirnya jadilah karya-karya yang mulai memasukkan ciri khasnya. Seperti gambaran tubuh-tubuh wayang kulit yang direkonstruksi seperti tubuh manusia, dan gambaran seperti mobil sport dan tubuh kuda berlari.
Subandi setelah lulus dari Sekolah Seni Rupa di Yogyakarta tahun 1979, diminta untuk mengajar kursus melukis kaca di sanggar Bambu. Itulah pertemuan pertama Subandi dengan lukis kaca. Ada pelajaran baru yang dia dapatkan dari pengalaman tersebut. Subandi menyadari bahwa lukis kaca saat ini mulai memudar dan kalah sohor dari lukisan kanvas. Eksplorasi medium karyanya mulai serius diujicobakan sejak dirinya kuliah di IKIP Yogyakarta (sekarang UNY).
Dengan berlatar belakang pengrajin/ pembuat wayang, Subandi berkarya tidak jauh dari corak wayang. Subandi lahir dan tumbuh dalam keluarga pembuat wayang kulit di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Ayah dan paman-pamannya adalah para pengrajin wayang, yang mulai mengajaknya belajar menatah wayang di umur 7 tahun.
Eksplorasi karyanya terhitung cukup banyak, berawal dari membuat kulit dipotong-potong kecil seperti tempat halma atau catur kemudian digambari seperti kolase, kemudian berkembang hingga karyanya dikoleksi sampai Taiwan, Prancis dan Jepang. Ini adalah karya-karya yang dibuatnya dalam periode tahun 80 hingga 86.
Setelah itu Subandi mengeksplorasi medium kertas. Wayang dengan menggunakan kertas dan sempat membuat pameran bersama Diana Anggraini dan Risan Kristianto. Dalam pameran ini, karya Subandi cukup laris. Alasan inilah yang membuat Subandi hingga sekarang masih menggunakan warna-warna yang minim, karena karya-karya dengan warna minimnya sangat laku. Subandi kembali ke medium kanvas setelah mendapat orderan membuat lukisan berukuran 1×1 meter untuk 104 kamar hotel ambarukmo. Pekerjaan besar ini dikerjakannya dengan kurun waktu dua tahun.
Menurut Subandi, sebagai seniman dan pengrajin wayang, dalam membuat wayang memang ada teknik-teknik yang harus dikuasai terlebih dulu, dan tidak perlu terlalu dalam memahami filosofi wayang. Yang penting, pengrajin wayang mengetahui watak wayang tersebut, dalam hal ini insting pengrajin harus bisa diandalkan. Hal pertama yang dipelajari ketika membuat wayang adalah bagaimana cara menatah wayang dengan benar, bagaimana cara memegang dan memukul tatah dengan benar, ini adalah awal dari hasil tatahan yang baik dan halus. Pengertian tatahan yang baik dan halus adalah udomamah, yaitu ketika wayang kecil ditatah dengan tatah kecil, wayang sedang ditatah dengan tatah yang sedang, dan wayang besar ditatah dengan tatah yang besar. Karena ketika ada wayang besar ditatah kecil maka karakternya akan berubah, banyak orang yang tidak paham mengenai hal ini.
Gagasan yang masih dipegangnya hingga saat ini adalah soal bagaimana menggabungkan seni klasik dan modern menjadi suatu karya yang benar-benar baru. Subandi mengaku ingin memasukkan unsur ekspresif juga dalam karyanya. Unsur-unsur inilah yang sebenarnya ingin diperjuangkan saat ini, tentunya ini adalah upaya eksistensi posisinya sebagai seniman di era seni kontemporer.
Artikel ini merupakan rubrik Rubrik Agenda Rumah IVAA dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Juli-Agustus 2018.