Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menggelar diskusi dengan tajuk “Preservasi Seni: Sebuah Urgensi Pemajuan Kebudayaan”. Dimoderatori oleh Farah Wardani, diskusi ini mengundang beberapa pembicara yang dekat dengan pengalaman preservasi kebudayaan, entah itu dari aspek arsip, museum, dan kebijakan pemerintah. Para pembicara itu adalah Lisabona Rahman, Endo Suanda, Cosmas Gozali, dan Alex Sihar. Diskusi yang digelar pada Selasa, 29 Juni 2021 ini dilakukan secara daring, disiarkan kepada publik luas melalui kanal youtube DKJ.
Lisabona mengawali presentasinya dengan sebuah pernyataan: kerja preservasi sudah dianggap penting dan mendesak, tapi entah kenapa praktiknya selalu di buntut. Dengan berangkat dari preservasi material audio-visual, seturut pengalaman nyata yang ia geluti, Lisabona menggarisbawahi beberapa hal penting.
Pertama dalam urusan preservasi adalah soal kebijakan yang berperspektif masa depan. Arsip memang erat kaitannya dengan masa lalu, tapi pekerjaan pengarsipan itu untuk masa depan. Apa yang ingin kita wariskan untuk generasi mendatang? Kerja preservasi harus dilihat sebagai investasi pengetahuan dan budaya. Tidak ada istilah ‘sudah dilestarikan’, yang tepat adalah ‘sedang dilestarikan’. Karena semakin panjang umurnya, maka ia semakin rapuh. Jadi persoalan yang mendesak di tingkat administratif adalah bagaimana caranya preservasi tidak ditangani dengan nalar pembelanjaan rutin tahunan, tapi dalam kerangka jangka panjang. Komitmen politik, keterlibatan masyarakat, dan pelibatan tenaga profesional juga menjadi kebutuhan penting.
Kedua dalam konteks preservasi material audio-visual, urusan material tidak menjadi satu-satunya aspek. Dalam pengalamannya melakukan restorasi film Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail, yang dikerjakan selama 9 tahun, pembacaan soal proses kreatif Usmar dan konteks sosial-budaya pada jamannya juga penting untuk digagas. Artinya, selain urusan material, produksi pengetahuan juga menjadi bagian dari preservasi. Dari sini, preservasi akan sampai pada potensi memperpanjang durasi ekonomi suatu karya yang kerap dibicarakan dalam kerangka HAKI.
Ia juga memberikan beberapa kritik. Belum ada dampak sistematis terhadap infrastruktur pelestarian khususnya di bidang audio-visual atau dunia perfilman. Meski setiap tahun ada film yang direstorasi, restorasi masih dikelola sebagai belanja jasa teknis, bukan investasi membangun pengetahuan apalagi manajemen HAKI. Namun, adanya UU Pemajuan Kebudayaan memang menjadi kabar baik yang perlu dipertajam lagi langkah-langkah konkretnya.
Selanjutnya, Endo Suanda lebih banyak bicara soal praktik pengarsipan seni-budaya di Indonesia dalam konteks sejarah. Kesadaran atas pentingnya arsip ia peroleh ketika belajar etnomusikologi di Wesleyan University, Amerika Serikat. Bahwa arsip dinilai penting bukan hanya atas dasar penilaian subjektivitas kita, melainkan pengembangan keilmuan. Endo menuturkan bahwa pada awal 2000-an, tidak ada sama sekali arsiparis profesional di Indonesia. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhannya mengelola koleksi arsip yang dimiliki, ia banyak belajar dengan para ahli IT mengenai urusan metadata. Pengetahuan inilah yang ia kembangkan ketika bekerja di LPSM dan Tikar Media Budaya Nusantara. Mirip dengan Lisabona, ia juga mengkritik bagaimana pengarsipan dilihat dalam kerangka program jangka pendek dan instan. Profesionalisme di bidang ini juga menjadi poin yang terus-menerus ia tekankan. Belajar dengan negara-negara yang sudah mapan di bidang ini adalah salah satu tawaran solusi dari Endo.
Jika Endo Suanda lebih banyak bicara di wilayah sistem, Cosmas Gozali bercerita soal kompleksitas preservasi di lapangan. Ia mengutarakan pengalamannya bersama Yayasan Mitra Museum Jakarta ketika mempreservasi Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta. Bahwa tidak hanya koleksi, dalam konteks museum, manajemen interior juga menjadi persoalan yang tidak lepas dari praktik preservasi. Juga, soal keamanan baik keamanan koleksi hingga mitigasi bencana apapun.
Di wilayah berbeda, Alex Sihar bicara soal bagaimana kerangka Pemajuan Kebudayaan seharusnya berjalan. Perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan menjadi elemen yang seharusnya dilakukan secara multisektoral. Terkhusus untuk aspek pembinaan, sebagai penyangga kerangka, Alex merasa bahwa ini jadi persoalan ketika tidak ada SDM ahli yang dipekerjakan untuk urusan preservasi. Selain itu, persoalan dana abadi yang kacau akhir-akhir ini juga tak kalah memprihatinkan. Karena ketika kerangka Pemajuan Kebudayaan masih diberangkatkan dari nalar APBN/APBD, bukannya investasi pengetahuan jangka panjang, tetapi preservasi seni-budaya selalu mentok oleh logika pembelanjaan rutin per tahun. Kebutuhan atas nomenklatur untuk pemeliharaan aset kebudayaan sebagai koleksi nasional juga menjadi poin penting yang konkret. Bahwa ketika urusan pemeliharaan ini dikerjakan oleh Badan Layanan Umum, alih-alih Unit Pelaksana Teknis, jaminan terselenggaranya preservasi kebudayaan secara lebih tepat akan tinggi.
Terakhir, Lisabona menambahkan konteks perkembangan pengarsipan di Indonesia dalam konteks keilmuan. Bahwa usia ilmu kearsipan kita memang belum lama, tapi kebutuhan di lapangan sangat mendesak. Konferensi SEAPAVAA pada 23-25 Juni 2021 dapat menjadi rujukan penting untuk persoalan ini.
Diskusi yang cukup lama ini menggarisbawahi beberapa persoalan penting di wilayah Pemajuan Kebudayaan, utamanya preservasi, dari konteks lapangan hingga situasi di pemerintahan.