Culture Academy, sebuah lembaga bagian dari Kementerian Kebudayaan Singapura menggelar sebuah diskusi bertajuk Fiscal Sustainability in the New Normal pada 11 Mei 2021. Diskusi yang digelar secara daring pada pukul 10.00-11.30 ini merupakan bagian dari seri diskusi In Conversation With; sebuah platform yang mengundang para profesional dan manajer seni-budaya untuk membagikan pengalaman kerjanya, seperti penelitian, konservasi, kuratorial, pedagogi dan perancangan program.
Pada seri diskusi kali ini, Lisistrata Lusandiana sebagai direktur eksekutif IVAA diundang bersama dengan Kola Luu (Direktur Galeri Nasional Singapura),dan Usha Menon (Pendiri Usha Menon Management Consultancy). Diskusi ini dimoderatori oleh Jane Binks (Direktur Senior dari Yale-NUS College).
Usha Menon mengawali presentasi dengan menunjukkan bahwa hambatan suatu organisasi mengembangkan performativitasnya adalah karena adanya jarak antara creative mission dan management objectives. Padahal menurutnya dua hal itu tidak seharusnya dipisah. Dan dalam konteks keberlanjutan fiskal, ada tiga aspek penting yang harus diperhatikan suatu organisasi (profit atau non-profit). Pertama, kemampuan adaptasi: soal kesiapan dalam merespon musibah. Bagaimana kita menyiapkan respon atas bencana atau musibah di masa depan? Hal yang harus selalu ditekankan adalah bahwa semua ini tidak baik-baik saja, it’s not hunky dory. Kedua, resiliensi. Semaksimal apa kita mengupayakan berbagai sumber daya yang ada di sekitar? Apakah kita tahu dengan baik ke mana kita menginvestasikan sumber daya itu? Dan terakhir, kreativitas. Ini merupakan persoalan bagaimana kita mengidentifikasi pasar secara kreatif. Misalnya, dalam konteks karakter masyarakat ke depan yang akrab dengan dunia streaming, gaming, bagaimana kita memposisikan seni sebagai kebutuhan mereka? Apakah kita pernah melakukan eksperimen secara kreatif untuk melakukan fundraising sektor seni? Ia mengambil contoh Decision Science. Sebuah platform dari UK yang membuktikan bahwa massa mampu dimobilisasi untuk menaruh perhatian pada seni, dan kemudian secara konkret memberi donasi.
Presentasi kedua, Lisistrata Lusandiana, mengawali topik dengan menjelaskan bahwa generasi ketiga IVAA lebih fokus pada elaborasi atas diversitas pengarsipan yang makin lekat dengan lingkungan sosialnya. Poin ini menjadi penekanan yang agak berbeda ketika bicara soal keberlanjutan fiskal. Bahwa situasi bertahan juga dimaknai dengan seberapa jauh IVAA menjadi bagian dari komunitas di sekitarnya. Meski demikian, sebagai organisasi, IVAA juga menerapkan beberapa strategi finansial, seperti jasa konsultasi pengarsipan secara partisipatif, biaya keanggotaan perpustakaan dan akses arsip khusus, sewa ruang pertemuan dan ruang data digital dan kerjasama dalam bentuk program publik.
Lalu, presentasi Kola Luu agaknya dekat dengan konteks yang dihidupi IVAA, yakni soal bagaimana terhubung dengan komunitas. Namun, Galeri Nasional Singapura (NGS) punya modus yang sangat berbeda. Bentuk koneksi dengan komunitas menjadi arena yang dimainkan untuk mengupayakan keberlanjutan fiskal sebaik mungkin. Mereka melihat trend ke depan dalam rangka menyesuaikan skema fiskalnya. Kecenderungan trend generasi mendatang yang akrab dengan investasi ke teknologi; bagaimana para filantropi Chinese membangun pusat-pusat internasional di Singapura; trend anak muda yang akrab dengan ESG (Environment, Social issues, and Governance); dan pengalaman virtual yang disebut 5G, betul-betul diperhatikan.
Dari situ, menjadi penting untuk memodifikasi bagaimana program dilakukan. Mendemonstrasikan dampak, personalisasi pesan (one-to-one dialogue), hingga menggunakan platform e-commerce sebagai kanal donasi. Yang terakhir itu, NGS bekerjasama dengan Shopee. Mereka mengajak para pelanggan Shopee memilih coins mereka untuk donasi ke NGS melalui fitur Shopee rebate.
Diskusi ini secara umum memberi gambaran kepada kita bagaimana organisasi seni-budaya di Asia khususnya, menerapkan berbagai strategi untuk mengupayakan keberlanjutan fiskal mereka. Dan tentu saja, strategi yang dimainkan sesuai dengan pemahaman atas resiliensi selama krisis yang variatif.