Rumah IVAA
Kamis, 20 Juli 2017
Rumah IVAA
Kamis, 20 Juli 2017
Penulis: Artia L. Yohana (Peserta Magang IVAA)
Kamis, 20 Juli 2017, Goethe-Institut Program Jogja mengadakan peluncuran buku dan diskusi yang bekerja sama dengan Indonesian Visual Art Archive (IVAA). Buku yang diluncurkan adalah sebuah buku yang dikembangkan dari program lokakarya yang berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia di November 2015 silam yang berjudul “Art In Context”. Acara peluncuran buku dan diskusi ini bertempat di Rumah IVAA.
Selain peluncuran dan bedah buku, acara ini juga disertai dengan diskusi tentang seni kolektif serta berbagi cerita dari pengalaman pembicara. Acara ini kemudian dibagi menjadi dua sesi, sesi pertama dimulai dengan bedah buku yang menghadirkan Djuwadi dari Taring Padi sebagai pembicara. Djuwadi merupakan salah satu peserta yang terlibat dalam lokakarya tersebut. Dalam sesi ini dipandu oleh Christina Schott (Tina) penanggung jawab dari Goethe-Institut Program Jogja. Pada sesi ini membahas tentang isi dari buku “Art In Context” serta pengalaman dari Djuwadi sebagai peserta yang mengikuti residensi selama 12 hari di Kuala Lumpur. Workshop atau Master Class ini berjudul “Transaction in the Fields”, dihadiri seniman dari 10 negara di Asia salah satunya adalah Indonesia.
Menurut pemaparan Tina, acara yang telah dilaksanakan pada tahun 2015 ini mengambil tema partisipatory art atau socially engaged art, fusion public art, art activation community, dan art education. Kemudian ide dari penerbitan buku ini sendiri menurut Djuwadi tercipta setelah program workshop 12 hari penuh, akhirnya diputuskan untuk mendokumentasikan seluruh hasil kegiatan yang telah dilaksanakan dan di publikasikan dalam bentuk buku. Pembuatan buku ini sendiri memakan 2 tahun yang kemudian diterbitkan oleh Goethe-Institut.
Setelah berbagi pengalaman dari Djuwadi, terdapat pertunjukan kecil yang pernah dibawa Djuwadi ke Malaysia ketika workshop. Pertunjukan yang dilakukan adalah tutorial memanfaatkan sampah sebagai hiasan. Menurutnya ide ini muncul ketika mengikuti karnaval kostum sampah, ia memungut sampah yang ditemuinya sepanjang jalan dan kemudian membentuknya menjadi sebuah hiasan untuk pakaian dengan mengunakan peniti. Karya ini juga merupakan salah satu karya yang di presentasikan oleh Djuwadi ketika mengikuti workshop di Kuala Lumpur.
Sesi kedua diisi dengan diskusi tentang wacana seni partisipatoris yang bersinggungan dengan sifatnya yang kolektif serta bersosialisasi dengan masyarakat. Dalam sesi ini terdapat dua pembicara yang dimoderatori oleh Hardiawan Prayoga. Pembicara yang dihadirkan adalah Djuwadi dari Taring Padi dan yang kedua adalah Ketjilbergerak yang di wakili oleh Britto. Kedua komunitas ini pada garis besarnya bergerak dalam konteks art in community atau dapat dikatakan karya-karya mereka dipersembahkan untuk berpartisipasi dalam membantu masyarakat. Karya seni yang mereka buat bersinggungan dengan isu-isu terbaru yang ada di lingkungan masyarakat.
Sebelum diskusi dimulai, ditampilkan beberapa video dari para pembicara. Djuwadi menampilkan cuplikan hasil kegiatan lokakarya yang telah dibahas sebelumnya. Sedangkan dari Ketjilbergerak menampilkan video hasil karya mereka yang berjudul “Energi Mudamu, Senjatamu!.” Menurut Britto, video yang ditampilkan oleh Ketjilbergerak ini merepresentasikan bahwa Ketjilbergerak memiliki tiga program, yaitu pendidikan alternatif berbasis kesenian, yang kedua adalah bergerak dengan anak muda agar mereka bisa rensponsif dan dapat membaca lingkungan, dan yang terakhir adalah penguatan warga agar mereka dapat membaca dan memahami serta mengambil sikap yang tepat dalam merespon perubahan atau perkembangan yang ada di lingkungan.
Dalam sesi ini juga dibahas latar belakang komunitas tersebut dan fokus dari komunitas serta kegiatan yang dilakukan oleh kedua komunitas tersebut. Menurut pemaparan Djuwadi, Taring Padi merupakan sebuah komunitas yang terlahir di tahun 1998 sebagai organisasi budaya progresif. Taring Padi ini banyak mendedikasikan hasil karya seni mereka untuk berpartisipasi dalam aksi solidaritas bersama masyarakat dengan kata lain membantu masyarakat dalam mengekspresikan maupun mengutarakan pendapat mereka melalui karya kesenian.
Sedangkan Ketjilbergerak merupakan komunitas yang terlahir di tahun 2006 sebagai komunitas kreatif berbasis anak muda sebagai orang yang berjiwa muda. Menurut Britto Ketjilbergerak ini pada awalnya muncul dari keinginan dan niat untuk terjun langsung pada warga. Salah satu karya dari Ketjilbergerak ini salah satunya yaitu pembuatan video yang isinya mengkritik kondisi permasalahan saat itu. Britto memberikan pemaparan tentang alasan mengapa mereka memilih berkarya di musik video walaupun tetap juga aktif berkarya di seni lainnya, menurutnya karena Ketjilbergerak mempunyai metode untuk bergerak dengan media yang menyenangkan sehingga gerakan tersebut tidak membebani.
Kemudian para pembicara juga memaparkan bagaimana mereka berkegiatan di masyarakat. Taring Padi maupun Ketjilbergerak mempunyai metode yang hampir sama ketika mereka mulai berkarya untuk masyarakat. Tujuan dari karya mereka pun sejalan, yaitu menguatkan warga agar mereka dapat membaca situasi atau kondisi yang ada sehingga mampu mengambil sikap atas situasi tersebut. Kemudian mereka juga memaparkan bahwa karya-karya seni yang dihasilkan itu berasal dari ide-ide masyarakat yang kemudian dikembangkan dan dibuat bersama-sama dengan masyarakat. Kemudian ide tersebut berkembang menjadi sebuah hasil karya seni yang berisi ungkapan, suara, pendapat warga tentang situasi atau isu yang berada dilingkungan tersebut. Selain itu, alasan bahwa ide tersebut harus berasal masyarakat adalah karena Ketjilbergerak serta Taring Padi tidak akan selamanya berada di tempat tersebut, sehingga dengan belajar bersama, harapannya masyarakat pada akhirnya mampu berkarya sendiri ketika tidak ada Ketjilbergerak atau Taring Padi.
Secara umum acara ini merupakan sebuah diskusi dan bedah buku di mana tema atau garis bersarnya adalah kolektif seni. Baik buku yang diluncurkan maupun diskusi yang dilaksakan membahas tentang bagaimana seni dapat menjadi sebuah alat untuk mengungkapkan ekspresi, pendapat, dan ide dari masyarakat; sehingga seni tidak hanya dianggap yang hasilnya berupa karya untuk ditampilkan atau dipamerkan, tetapi juga dapat sebagai suatu alat untuk membangun kesadaran masyarakat.
Artikel ini merupakan bagian dari Rubrik Agenda Rumah IVAA dalam Buletin IVAA Juli–Agustus 2017.