Rumah IVAA
Juli 2019
Rumah IVAA
Juli 2019
oleh Gladhys Elliona
Pertengahan Juli 2019 lalu, di ruang arsip Rumah IVAA, Nuraini Juliastuti (akrab disapa Nuning), seorang peneliti dan akademisi seni, menggelar kuliah kecil yang dihadiri belasan peneliti dan mahasiswa dari Victorian College of the Arts, University of Melbourne, Australia. Nuning menjelaskan soal perkembangan sejarah seni Indonesia kepada peserta. Ia memulai dari menerangkan dengan bagaimana Indonesia digambarkan sejak masa Hindia-Belanda. Bagaimana lukisan-lukisan yang didominasi oleh gambar lanskap Indonesia — yang disebut mooi indie atau hindia molek — adalah bentuk dari orientalisme, pandangan eksotis bangsa kolonial terhadap keadaan di Hindia-Belanda waktu itu. Dilanjutkan pada masa menjelang kemerdekaan, hingga beberapa tahun setelahnya, lukisan Indonesia diwarnai oleh gaya-gaya realisme sosial. Tema tersebut menitikberatkan keadaan Indonesia yang menjadi negara baru dan memberikan pandangan senyatanya dengan narasi yang dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri. Bukan hanya untuk merepresentasikan Indonesia dengan semacam eksploitasi keindahan geografis, tetapi juga menyorot pada apa yang terjadi di dinamika sosial Indonesia.
Kemudian, dengan perkembangan pembangunan infrastruktur serta naiknya Orde Baru, fokus dalam seni lukis dan seni rupa Indonesia secara keseluruhan beralih. Beriringan dengan mencuatnya industrialisasi, komunitas seniman secara langsung maupun tidak membuat diskursus tentang kontrasnya hidup di kota dan desa, serta pandangan akan ketimpangan ekonomi maupun gaya hidup yang semakin jauh. Peralihan pandangan tentang urbanisasi, transmigrasi yang kadang dipaksakan, serta distribusi populasi yang selalu menjadi masalah menjadi turunan diskursus tersebut. Wacana seni rupa pun berubah menjadi ‘manusia dan alam melawan teknologi serta perkembangan industri’. Terjadinya krisis ekonomi di akhir Orde Baru menggiring Indonesia ke era Reformasi. Selama Soeharto memimpin dari 1966-1998, pemerintah membangun pusat-pusat budaya di setiap provinsi. Institusi seni yang digagas pemerintah tersebut menjadi semacam kontrol atas rakyat, bahwa setiap karya seni mesti disetujui oleh lembaga pemerintah.
Nuning juga menjelaskan peran aktivisme seni saat era Reformasi, ketika gelombang perlawanan dari mahasiswa menguat pada 1994, tahun pertama saat Nuning berkuliah. Aktivisme dan seni berkelindan dimulai dari bagaimana orang-orang mengklaim kembali ruang-ruang di Jogja, termasuk ruang kebudayaan untuk mengekspresikan kritiknya atas pemerintahan. Dari sana, membuat karya seni yang kritis terhadap pemerintahan menjadi penting dilakukan. Setelah Reformasi terjadi, tepatnya pasca 1998, aktivisme mulai memiliki tempat yang cair dalam seni, seperti seni rupa, film, media, dan di semua bentuk yang biasanya dikuasai oleh propaganda pemerintah.
Berkenaan dengan arsip sebagai salah satu bagian dari politik budaya, salah satu peserta kuliah bertanya perihal seni visual apa yang kemudian berhak diarsipkan dan dianggap sebagai arsip. Nuning menjelaskan bahwa arsip sangat bergantung dengan era yang sedang terjadi, karena bagaimana masa dan institusi mendeskripsikan arsip berubah seiring waktu dan kepentingannya.
Nuning menambahkan bahwa penting untuk menghubungkan arsip dan aktivisme. Dari situ kita bisa meninjau ulang makna-makna aktivisme dalam tiap karya seni visual — terlebih pasca Reformasi. Di sini kemudian juga muncul satu poin bahwa pengarsipan sebenarnya adalah bagian dari aktivisme itu sendiri. Bahwa kemudian arsip menjadi sebuah gerakan yang memiliki ketahanan, dan dimaksudkan sebagai aktivitas jangka panjang. Nuning menegaskan, bahwa keberadaan Indonesian Visual Art Archive, sebagai lembaga alternatif dan mengusung aktivisme dengan cara lain, merupakan satu dari beberapa lembaga lain yang bertahan lama, menimbang sebagian besar kelompok, kolektif atau institusi alternatif rata-rata berumur pendek di Indonesia.
Seni dan aktivisme di Indonesia juga tidak lepas dari isu-isu global seperti konservatisme agama dan penerimaan gender ketiga, isu-isu berkenaan dengan kelompok queer atau gender non-biner. Dua kubu itu tentu tidak bisa saling bertemu dan perselisihan sering tak terelakkan. Ruang-ruang alternatif kemudian memberikan tempat bagi aktivisme gender. KUNCI Cultural Studie Center mengadakan pemutaran film oleh sutradara transgender Tamara Pertamina. Film-film yang dihadirkan pun berguna untuk membuka pengetahuan Bissu sebagai gender kelima dan budaya Sulawesi Selatan. Namun, acara ini tidak diumumkan secara masif karena masih adanya ketakutan akan tanggapan masyarakat serta kesadaran atas ancaman dari kaum konservatif.
Di akhir kuliah, Nuning kemudian menjelaskan beberapa kolektif seni yang dapat menyuarakan pendapat dan ekspresi seni sebagai kegiatan politis, misalnya praktik kelompok Taring Padi. Beberapa gerakan seni juga berorientasi pada masyarakat dan kewargaan yang tidak secara literal menasbihkan diri sebagai gerakan politik, tetapi bentuk tersebut juga dapat dimasukkan ke dalam seni yang mengusung aktivisme, seperti Mulyono yang membuat Kesenian Unit Desa: mengajak serta memberdayakan warga desa dan kampung kota untuk berkegiatan seni dan menyuarakan pendapat dari praktik artistik.
Dari sini pula, seni sebenarnya sangat bergantung pada ruang aman untuk para seniman dengan identitas dan karyanya, untuk tetap menyelipkan aktivisme dan atau isu yang ingin mereka usung dalam setiap kerja artistiknya. Hal ini menandakan bahwa posisi seniman di Indonesia umumnya masih prekariat dan berada dalam keadaan rentan akan tanggapan sosial serta pandangan bahwa karya yang dihasilkan akan selalu melawan norma-norma yang ada. Padahal, tujuan aktivisme dalam seni adalah untuk menampakkan realita yang direpresi, serta menjadikan seniman sebagai warga berdaya, warga yang juga terlibat pada diskursus politik untuk menipiskan sekat antara suara rakyat dan pemerintah.
Artikel ini merupakan rubrik Agenda RumahIVAA dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Juli-Agustus 2019.