Judul : Affandi Pelukis
Penulis : Nasjah Djamin
Penerbit : Penerbit Nyala
Tahun terbit : 2017
Jumlah halaman : 98
Ukuran : 12 cm x 19 cm
ISBN : 978-602-60855-6-6
Resensi oleh : Aisha Shifa Mutiyara
Agus suka menggambar. Gambarnya bagus, bahkan bisa dibilang sangat bagus jika dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Pujian dari Ibu Guru dan decak kagum teman sekelasnya selalu terdengar saat mereka melihat gambar Agus. Kemampuan luar biasa Agus dalam menggambar ini membuat Ibu Guru mendoakannya agar bisa sesukses Affandi, pelukis legendaris Indonesia yang mendapat gelar “doktor”.
Namun sayangnya Agus salah mendengar kata “doktor” menjadi “dokter”. Hal ini membuatnya bingung. Jadi, sebenarnya Affandi itu pelukis atau dokter yang mengobati orang sakit? Agus bertanya pada orang tuanya, tetapi mereka tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan. Mereka lalu menyarankan Agus untuk bertanya pada Paman saat berkunjung ke rumah nanti. Pamannya adalah seorang mahasiswa, berbeda dengan mereka yang tidak pernah menempuh pendidikan formal. Mereka yakin bahwa Paman dapat menjawab pertanyaan Agus.
Pada saat Agus sedang membantu ayahnya di sawah, Paman berkunjung ke rumah sambil membawa kabar gembira: lukisan Agus dimuat di majalah di Jakarta. Agus mendapat banyak hadiah dan uang sebanyak lima ribu rupiah, yang jumlahnya cukup besar saat itu. Kabar dimuatnya karya Agus segera menyebar ke seluruh desa. Pujian datang silih berganti dari tetangganya, teman-teman, dan gurunya. Bahkan Pak Lurah dan Pak Carik pun menyempatkan diri mengunjungi Agus untuk memberi selamat. Semua ikut merasa bangga dengan prestasi Agus.
Di sela-sela obrolannya dengan Paman, ayah Agus menanyakan tentang gelar “doktor” yang membingungkan itu. Pamannya menjelaskan bahwa gelar tersebut merupakan gelar doktor yang didapat oleh seseorang yang “besar jasanya dalam bidang kerjanya”. Gelar kehormatan itu diperoleh Affandi dari Universitas Singapura atas jasanya dalam dunia seni lukis. Paman juga berjanji akan mengajak Agus ke Yogyakarta pada hari Minggu untuk mengunjungi museum dan rumah pelukis Affandi.
Hari yang ditunggu Agus tiba. Pada hari Minggu, Paman menjemput Agus dengan motor bututnya. Mereka berboncengan dari Desa Besi ke Yogyakarta untuk mengunjungi museum Affandi. Agus membawa serta lukisan-lukisannya untuk ditunjukkan kepada Affandi nanti.
Sayangnya, mereka kurang beruntung. Hari itu Affandi dan istrinya sedang tidak ada di rumah dan Pak Tris, yang memegang kunci museum, sedang sakit. Mereka hanya bertemu dengan Pak Karso, yang bertanggungjawab atas rumah Affandi. Akhirnya, mereka hanya dapat singgah di ruang tamu rumah dan berkeliling di sekitar museum.
Agus terheran-heran dengan kesederhanaan Affandi. Yang ia lihat berbeda dengan harapannya. Perabotan Affandi sangatlah sederhana. Di ruang tamu yang dikunjungi tamu-tamu dari mancanegara kursinya terbuat dari bambu, bukan sofa yang empuk. Tidak hanya itu, cerita Paman tentang hidup Affandi yang serba sederhana dan cara melukisnya yang “gembel”; melukis di jalanan bukan di studio lukis, juga tidak dapat dipahami Agus. Bagaimana bisa orang sehebat itu memilih untuk melakukan hal-hal yang dilakukan orang biasa?
Untuk mengobati rasa kecewa Agus karena belum dapat memasuki museum Affandi dan untuk memberinya pengantar supaya nantinya bisa lebih menghayati lukisan-lukisan Affandi, Paman mengajak Agus untuk menemui temannya, Juminten. Ia membuat karangan tentang Affandi untuk anak-anak. Karangan itu menceritakan kehidupan Affandi sejak ia kecil hingga sekarang. Rencananya, karangan ini akan dikirimkan ke majalah anak-anak atau ke penerbit, dan Pamanlah yang mengetik teksnya. Mereka bertemu di warung bakso langganan Paman. Juminten, yang biasa disapa Mbak Jum, mempersilakan Agus untuk membaca karangannya. Sekalian sebagai koreksi, begitu katanya.
Setelah itu, Agus dibawa Paman ke pondokannya. Di sana Agus membaca karangan Mbak Jum yang sudah diketik dengan rapi oleh Paman. Setelah membaca karangan itu, kini Agus lebih bisa memahami Affandi. Bisa dibilang, masa kecil Affandi sangatlah pahit. Ia tidak seberuntung Agus. Tidak ada yang mendukung bakatnya. Ayah dan kakaknya ingin Affandi menjadi akademisi supaya kelak menjadi orang sukses, bertentangan dengan keinginannya untuk menjadi pelukis. Saat itu pun di Indonesia tidak ada sekolah menggambar. Affandi harus memelajarinya sendiri.
Namun kesulitan-kesulitan tersebut bukanlah penghalang bagi Affandi. Ia memang sempat melanjutkan sekolah hingga AMS (Algemeene Middelbare School, setingkat SMA) di Jakarta sesuai dengan keinginan ayah dan kakaknya. Namun, ia tidak menyelesaikannya dan memutuskan untuk melanjutkan dan memperdalam hobi menggambarnya, walaupun dengan konsekuensi hidup mandiri tanpa dibiayai kakaknya.
Begitulah Affandi, yang teguh pendiriannya dan keras kepalanya, yang berani hidup susah demi memenuhi panggilan hatinya. Awalnya, ia memaksakan diri untuk bekerja sebagai guru guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Keinginannya untuk menggambar masih membara. Pada tahun 1933, Affandi menikah dengan muridnya, Maryati. Hasrat menggambarnya semakin menjadi, dan didukung pula oleh istrinya. Akhirnya, jika ada pekerjaan kasar yang membutuhkan kemampuan menggambarnya seperti membuat papan nama toko, mengecat pintu, atau membuat poster reklame, ia memilih untuk mengerjakannya dari pada menjadi guru. Walaupun bayarannya jauh lebih kecil, Affandi dengan senang hati melakukannya. Dianggapnya pekerjaan itu sebagai latihan. Mengajar hanya dilakukannya sesekali, jika terpaksa.
Affandi menikmati hidupnya yang melarat itu. Ia mengamati, merasakan, dan terlibat langsung dalam kehidupan rakyat yang melarat. Pengalamannya ini yang menjadikan dasar lukisan-lukisannya. Affandi berbeda dengan Basuki Abdullah, yang hidup di kalangan para konglomerat dan melukis “yang indah-indah”. Affandi lebih suka menggambar sesuai kenyataan, tanpa ada usaha untuk meng-indah-kan. Bentuk-bentuk ekspresif dari cat yang dioleskan langsung dari tubenya adalah ciri khasnya.
Perjuangannya tidak sia-sia. Setelah lebih dari 15 tahun, kemampuannya diakui dunia. Ia mendapat beasiswa untuk belajar di India, yang pada akhirnya ia gunakan sebagai kesempatan untuk mengadakan pameran hingga ke Eropa. Setelah menerima banyak penghargaan, ia tidak lupa untuk pulang ke Indonesia, dan memilih Yogyakarta sebagai tempat tinggalnya.
Begitulah Nasjah Djamin mengisahkan Affandi. Agus adalah refleksi para pembaca yang tidak begitu mengenal Affandi dan awam dengan sejarah seni rupa di Indonesia, namun hidup di masa yang jauh lebih bersahabat dari masa muda Affandi dulu. Biografi Affandi diceritakan dengan sedemikian hidup, supaya pembacanya dapat dengan mudah menghayatinya, dan juga supaya semangat dan keteguhan hati Affandi dapat terbangkitkan dalam jiwa anak-anak muda.
Dan tentu saja, cerita Agus berakhir bahagia. Beberapa hari kemudian, ia bersama Paman dan Mbak Jum pergi ke museum Affandi dan bertemu dengan pelukis besar itu. Agus sangat senang. Pesan Affandi untuknya terus terngiang-ngiang, “Yang rajin belajar. Seperti kakek ini. Sudah tua masih belajar, dan ingin belajar terus.”
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi September-Oktober 2019.