Judul Buku: Kandang dan Gelanggang – Sinema Asia Tenggara
Penulis : Eric Sasono, John Badalu, Ben Slater, Anchalee Chaiworaporn, Hassan Abdul Muthalib, Lisabona Rahman, Budi Irawanto
Editor : Eric Sasono
No. Panggil : 702 Sas K
ISBN/ISSN : 978-979-16888-1-9
Subjek : Film, Sosial
Bahasa : Indonesia
Penerbit : Yayasan Kalam
Tahun Terbit : 2007
Tempat Terbit : Jakarta, Indonesia
Resensi oleh Hardiwan Prayoga
Film dan studi kawasan sudah banyak dilakukan meskipun meminjam disiplin ilmu politik. Tidak adanya pendekatan khusus atau metodologi yang spesifik untuk mendedah film dengan studi kawasan, justru membuat kajian film dalam perspektif ini terus berkembang dan teraktualisasi. Buku yang berisi 9 tulisan dari 8 penulis ini fokus menyoroti perkembangan sinema di Asia Tenggara. Film-film yang lahir bersamaan dengan pemetaan ulang Asia Tenggara terkait dengan pertarungan kepentingan-kepentingan geopolitik.
Di samping itu, posisi sinema Asia Tenggara sendiri janganlah didefinisikan kekhasannya dalam koridor yang sempit, seperti film non-Hollywood, kebangkitan sinema independen, dan lain sebagainya. Potensi kekhasan yang lebih luas dari itulah yang dielaborasi dalam buku ini. Dalam pengantarnya, Eric Sasono, yang sekaligus sebagai editor, menyebutkan bahwa buku ini menggunakan dua arah pendekatan. Pertama, yaitu memandang estetika dalam kawasan yang terbatas; bagaimana melihat lingkungan produksi dan upaya pendefinisan latar belakang budaya akan menjadi tinjauan menarik. Kedua, memandang institusi film sebagai sesuatu yang terbentuk dalam proses politik, sosial, dan ekonomi di kawasan ini.
John Badalu dalam tulisannya yang berjudul “Bibit Berbobot Dalam Sinema Asia Tenggara Kini”, menunjukkan bahwa festival-festival film di berbagai penjuru dunia mulai menaruh perhatian pada Asia Tenggara. Karya-karya Apichatpong Weerasethakul, Nonzee Nimibutr, dan Pen-Ek Ratanaruang, tiga filmmaker dari Thailand ini, pada pertengahan 1990-an menembus festival-festival film. John menyebut mereka sebagai pembuka jalan bagi rekan-rekannya di Asia Tenggara. Selain itu juga ada Garin Nugroho, Ravi Bharwani, dan Edwin dari Indonesia; Royston Tan dari Singapura; Khavn de la Cruz, Auraues Solito, Brillante Mendoza, dan Raya Martin dari Filipina; serta Ho Yu Yang, Tan Chui Mui, dan Amir Muhammad dari Malaysia.
Tanpa tendensi generalisasi, persoalan pembuatan film di Asia Tenggara cenderung serupa. Mulai dari sulitnya mencari sumber dana, pendidikan formal perfilman yang minim, dan distribusi film yang hanya datang dari satu sumber, yaitu DVD bajakan. Produksi film pada masa ini umumnya berbiaya murah, dibuat dengan video digital, dan beredar di ruang-ruang putar alternatif. Terlihat jelas bahwa John menggunakan perhelatan semacam Festival Film Cannes, Festival Film Rotterdam, Festival Film Berlin, Festival Film Sundance, Festival Film Montreal, Festival Film Locarno, hingga Festival Film Pusan sebagai tolak ukur kesuksesan filmmaker di luar arus utama yang menyumbang gagasan baru terhadap estetika hingga citra Asia Tenggara. Di satu sisi, John mengakui bahwa film-film yang beredar di festival-festival film ini tidak mendapat apresiasi yang memuaskan di negara pembuat film masing-masing. Nampaknya persoalan ini masih terjadi hingga sekarang, dan ini pun bukan persoalan yang semata bisa diselesaikan hanya oleh filmmaker dan eksebitor semata.
Kondisi ini dikritik cukup keras oleh Hassan Abdul Muthalib. Hassan melalui tulisannya yang bertajuk “Sinema Kecil Malaysia: Yang Tua Masuk Kandang, Yang Muda Masuk Gelanggang?” memulai dengan tesis bahwa film-film arus utama Malaysia terlalu menonjol, dengan cerita dan tokoh yang klise, stereotip, tidak inovatif, hanya berfungsi sebagai hiburan, dan tidak mencerminkan keragaman etnik dan budaya Malaysia yang berjargon “Malaysia, Truly Asia”. Dalam situasi ini, lahir kelompok yang dijuluki Sinema Kecil Malaysia, yang berkarya dengan kamera video digital. Kelompok ini dianggap membongkar konvensi dan tradisi lazim produksi film di Malaysia. Film-film karya mereka tidak hanya menggunakan bahasa resmi, bahasa Malaysia, dan mencoba mengangkat masalah berbagai macam ras, tidak hanya Melayu. Ras non-Melayu yang selama ini hanya ditampilkan secara stereotip dan bahkan sebagai bahan lelucon.
Hassan dalam tulisannya membagi perkembangan sinema Malaysia dalam beberapa babak, mulai dari masa awal Malaysia dan Singapura setelah merdeka dari British Malaya, di mana misi utama produksi film adalah mencari laba. Pada masa itu terciptalah film-film bertema ringan dan asal menghibur. Kemudian babak lahirnya gelombang baru yang ditandai film Abang karya Rahim Razali tahun 1981, di mana tokoh dan cerita dalam film menjadi lebih realistis, menyoal spiritualitas, seks, agama, politik, dan bisnis yang terjadi secara nyata di lapisan masyarakat akar rumput. Secara dialektis juga, konteks demikian mempengaruhi gaya sinematik film-film Malaysia masa itu. Gaya yang demikian sulit diterima oleh distributor untuk diedarkan secara luas. Maka diadakanlah Festival Film Pendek Kuala Lumpur tahun 1992. Babak ini beriringan dengan berdirinya akademi film pertama di Malaysia, tahun 1989. Di era ini gaya sinematiknya masih cenderung meneruskan sinema Malaysia gaya lama. Populernya teknologi film, informasi, dan multimedia rumahan tahun 1990 mendorong mahasiswa akademi film mengeksplorasi gagasan-gagasan sinematiknya. Hassan menyebut mereka sebagai gelombang kedua pembuat film alternatif, yang menandai lahirnya Sinema Kecil Malaysia. Hingga akhirnya gelombang eksplorasi ini menyentuh otokritik terhadap etnis, ras, dan budaya di Malaysia. Tulisan ini ditutup dengan keyakinan Hassan bahwa gelombang kedua pembuat film alternatif akan membawa sinema Malaysia ke wilayah baru.
Tidak terlalu berbeda dengan argumen pada tulisan John Badalu, Hassan juga melihat bahwa festival-festival film Eropa cenderung diposisikan sebagai tolak ukur kesuksesan. Bahwa film yang diakui oleh festival-festival film inilah yang dianggap sebagai sinema sejati, yang sungguh-sungguh mencerminkan realitas sosial dan ragam budaya Malaysia. Imajinasi kosmopolit ini tentu bisa dipertanyakan kembali, tentang sejauh apa yang dianggap sebagai realitas itu dipresentasikan atau direpresentasikan. Apakah yang diyakini sebagai realitas ini lahir secara natural? Atau, sebenarnya ini adalah representasi yang dibentuk secara “halus” oleh arena festival film?
Argumen dari sudut pandang berbeda ditulis oleh Lisabona Rahman. Tulisannya yang berjudul “Film Tentang Film: Produksi dan Penonton Film di Mata Sineas Indonesia Pasca-Orde Baru” melihat bagaimana penonton berposisi sebagai pilar yang ikut bertumbuh bersama dengan pembuat film. Argumen tersebut diawali dengan elaborasi seputar perubahan struktural pasca tumbangnya Orde Baru, terutama ketika dibubarkannya Departemen Penerangan di era Presiden Abdurrahman Wahid. Berakhirnya pemerintahan otoriter ini juga perlahan melahirkan generasi penonton yang menolak dominasi wacana, penonton yang melahirkan filmnya sendiri. Hal ini berbanding terbalik dengan kebijakan negara terhadap industri film yang ‘jalan di tempat’. Tidak ada perubahan kebijakan radikal meski pemerintah otoriter telah usai.
Keragaman penonton yang selama ini tidak diakomodir oleh ketatnya regulasi perfilman, dan banjir film-film impor, membuat festival-festival film mendapat angin segar. Lisabona menggunakan tiga film sebagai studi kasus dalam persoalan ini, yaitu Kuldesak (Nan T. Achnas, Riri Riza, Mira Lesmana, Rizal Mantovani, 1998), Arisan (Nia Dinata, 2003), dan Janji Joni (Joko Anwar, 2004). Pembuat film generasi ini adalah mereka yang terkena imbas dari menyempitnya sebaran distribusi dan eksebisi film (bioskop), yang terkonsentrasi pada kota besar dan kelas menengah. Secara singkat pembuat film ini berangkat dari status penonton/ pecinta film, latar belakang yang menurut JB Kristanto sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Narasi film yang lahir menjadi lebih personal, dengan perspektif yang lebih cenderung menggambarkan cara kelas menengah menilai dan menafsir persoalan-persoalan hidup.
Bersamaan dengan gelombang festival-festival film yang mulai menaruh perhatian pada sinema Asia Tenggara, terjadi jurang antara ekspresi artistik, perspektif, dan kemampuan komunikasi publik film-film Indonesia dengan khalayak lokal. Tulisan Lisabona cukup berbeda dari nada tulisan lainnya karena meletakkan pandangan yang lebih kritis pada apresiasi festival-festival film terhadap sinema Asia Tenggara. Dalam konteks di Indonesia, pembuat film generasi ini menganggap penonton sebagai proyeksi diri mereka sendiri. Maka apa yang ditawarkan pada penonton adalah kecemasan mereka sendiri, sembari menerka-nerka apresiasi khalayak. Di satu sisi, perlu ada tinjauan ulang soal cara mereka untuk memaknai diri dalam ikatan batas-batas negara-bangsa dan bertarung di arena “sinema dunia”.
Ketertarikan meresensi buku ini berangkat dari kegelisahan pribadi. Kolom komentar pada tautan https://cinemapoetica.com/asia-tenggara-berjalan-ke-eropa-tidak-pakai-celana/ menarik perhatian. Tesis utama dari tulisan tersebut adalah kegerahan karena Sinema Asia Tenggara dianggap mengumbar kemiskinan, atau poverty porn demi menembus arena festival-festival film Eropa. Lebih jauh, film-film ini dianggap melanggengkan neokolonialisme. Tentang masyarakat Eropa yang senang menjaga perasaan superiornya ketika melihat film-film dari wilayah yang dominan negara bekas jajahan ini. Seorang pembaca memberi bantahan argumen pada tesis ini. Dikatakannya bahwa premis soal ini sudah basi. Tindakan mengeneralisir Asia Tenggara dalam satu wajah adalah tindakan sembrono, mengingat wilayah ini sedari awal sangat multikultur. Maka cara festival film Eropa memandang Asia Tenggara pun tidak bisa ditafsir secara gegabah sebagai proyek baru neokolonialisme. Kemudian penulis artikel ini menanggapi dan mengakui bahwa tulisannya memang memiliki kekurangan di sisi argumen tersebut, dan sudah tercerahkan setelah membaca tulisan-tulisan dalam buku bertajuk Kandang dan Gelanggang hasil suntingan Eric Sasono. Obrolan dunia maya ini membuat saya tergerak untuk meresensi buku yang dianggap “mencerahkan” ini.
Secara garis besar, narasi eksplisit dari buku ini ialah membicarakan dua hal dalam kata kunci Sinema Asia Tenggara Kontemporer. Pertama, posisi Asia Tenggara dalam konteks geopolitik pasca tahun 2000. Kedua, perkembangan estetika film Asia Tenggara yang khas, yang lahir dari lapisan-lapisan sosial dan dinamika kebudayaan masyarakat Asia Tenggara. Secara implisit, akan terbayang bagaimana film-film pada masa tersebut ingin menunjukan identitas dirinya, identitas manusia yang hidup di kawasan Asia Tenggara.
Persoalan-persoalan yang dirumuskan dalam buku ini tentu berbeda dalam konteks film aktual, di mana teknologi perekam semakin personal, kanal distribusi yang semakin beragam, hingga pendidikan formal film yang mulai banyak dirintis di berbagai perguruan tinggi. Termasuk juga persoalan menggunakan festival-festival film di berbagai penjuru dunia sebagai tolak ukur kesuksesan. Sejauh mana angan-angan pembuat film generasi terbaru? Satu argumen yang sangat perlu diperiksa adalah apakah penghargaan dari festival-festival film yang demikian masih relevan untuk menjadi indikator utama dalam menakar ‘harga’ sinema Asia Tenggara secara teks dan konteks?. Pada persoalan demikianlah buku yang mencerahkan ini perlu diberi catatan.
Fakta bahwa ada sisi dunia film yang kini semakin inklusif tentu juga akan merubah indikator ‘kesuksesan’ sebuah film. Pernah ada masa film disebut sukses ketika diukur dari jumlah penonton di layar bioskop. Juga sudah terjadi, masa di mana film dianggap sukses jika mengantongi banyak penghargaan, lolos eksebisi dan berkompetisi di festival-festival film di berbagai benua. Hal ini bisa menimbulkan pertanyaan: jika Asia Tenggara diyakini sebagai wilayah yang mulai diberi perhatian khusus, apakah wajah Asia Tenggara yang tampil dalam film-film yang dirujuk oleh buku ini memang citra yang ingin diwujudkan sebagai refleksi bersama, atau justru menuruti hasrat (selera) kurator dan distributor festival-festival film di atas?
Artikel ini merupakan rubrik Review by Staff dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Januari-Februari 2019.