Judul Buku : Myself: Scumbag Beyond Life and Death
Penulis : Kimung
Penyunting : Yusandi
Penerbit : Minor Books
Tahun Terbit : 2007
Jumlah halaman : 368
Ukuran Buku : 14 x 21 cm
Resensi oleh Dwi Rahmanto
Pada 19 April 1978 telah lahir anak laki-laki bernama Ivan Firmansyah dari pasangan Aam Rusyana Suhandi dan Dedeh Herawati. Ivan Firmansyah bukanlah sembarang nama. ‘Ivan’ mengandung makna spiritual, mistik, kepercayaan pada roh, sedangkan ‘Firmansyah’ bermakna pembawa wahyu dan berasal dari istilah islami. Ia lahir di Ujungberung, sebuah kota kecamatan di Bandung bagian paling timur. Daerah ini berada pada ketinggian 668 m di atas permukaan laut, berbatasan dengan Kecamatan Cibiru di sisi timur, Kecamatan Arcamanik di sisi barat dan selatan, serta Kecamatan Cilengkrang di sisi utara. Sejak dulu, Ujungberung terkenal dengan seni tradisionalnya, terutama seni bela diri benjang, pencak silat, angklung, bengberokan, dan kacapi suling. Selain itu kota ini terkenal dengan pemandangan indah dan banyaknya pesantren.
Sebagai seorang bocah, Ivan menikmati masa kecilnya dengan sangat lurus, seperti belajar secara formal, mengaji, tamasya rutin bersama keluarga yang harmonis. Di tingkat SD, semua pejaran agama telah masuk ke dalam kesehariannya. Bisa dikata, Ivan cukup pintar karena selalu masuk 10 besar dari 30-an murid. Sewaktu SMP, ia mulai tertarik dengan kesenian. Musik heavy metal era 90-an seperti Metallica telah menjadi lagu sehari-hari. Ia pun menemukan Sepultura yang menginspirasinya melalui musik mereka yang lantang dan garang.
Tidak muncul dengan sendirinya, darah musik telah mengalir dari ayah dan pamannya yang pernah mempunyai band. Seolah mendapat warisan, masa remaja Ivan telah dipenuhi dengan dunia band dan gaya hidup di sekitarnya. Ketika duduk di bangku SMP ia mulai mengenal banyak hal. Di masa itulah ia mengenal Bebi (pemain drum), alkohol, dan beragam musik dari Sepultura serta aliran Grindcore seperti Morbid Angel, Terrorizer, Carcass, dan yang lain. Di masa ini ia juga membuat sebuah perkumpulan bernama CGFB (Corpse Grinder Foundation Bandung). Perkumpulan ini terdiri dari anak-anak metal dari SMP 12, 2, dan 5.
Ivan memang terlahir dari keluarga yang sangat terbuka, terutama soal pilihan masa muda seperti apa yang akan dihidupi. Salah satu faktor keterbukaan ini adalah karena Ivan tidak terlalu dekat dengan orang tuanya. Selama masa akhir di SMP, ia tinggal bersama Uwak-nya (istilah Medan untuk menyebut orang yang lebih tua) di Kampung Sarijadi, sejak keluarganya pindah ke Kampung Rancaekek.
Keterbukaan ini membuat Ivan memilih mewarnai kehidupan remajanya dengan gaya hidup ala anak band. Tetapi, Ivan memiliki dimensi keyakinan relijius yang kuat layaknya pondasi jiwa, mengingat ia sangat akrab dengan pelajaran agama ketika masih SD. Oleh sebab itu, di tengah dinamikanya sebagai anak band yang tidak asing dengan alkohol, ia tetap menjalin interaksi akrab dengan teman-teman sebaya yang agamis.
Ivan sangat aktif di lingkungan sosialnya, di keluarga, organisasi kepemudaan, dan tentu saja di lingkungan musik (meski secara fisik ia nampak tidak meyakinkan untuk menyandang status sebagai vokalis dengan postur tubuhnya yang kecil, wajah manis dan perilaku kalem, pendiam dan taat dengan agamanya). Namun, ia memiliki kekurangan dalam hal cara berkomunikasi, “ill communication”, sejak masih kecil. Apa yang ia bicarakan sering tidak sesuai dengan nada dan intonasi suara; tidak jelas antara pernyataan atau pertanyaan, sedih atau bahagia. Tak jarang pula ia kebingungan untuk memulai sebuah cerita, memilih bahasa yang tepat dan mengungkapkannya. Teman-temannya saat itu sering menyamakannya dia dengan Moerdiono, menteri sekretariat Negara jaman Soeharto yang sering tidak jelas jika bicara. Ini semua sedikit membuat Ivan tertekan secara psikologis.
Buku ini cukup membuat saya bingung karena tidak ada periodisasi yang kronologis. Oleh karena itu, bolehlah saya sedikit memberikan rangkuman secara kronologis dengan menyoroti peristiwa pentingnya. Oleh karena itu, berikut saya mencoba membuat kronik sederhana dengan menyoroti beberapa peristiwa termasuk dinamika sebuah band yang digeluti oleh Ivan, Burgerkill.
1995, Kemunculan Burgerkill
Sebuah band hardcore bernama Burgerkill dibentuk pada awal 1995 oleh Eben, Kimung, dan Ivan. Berawal dari memainkan lagu orang lain, Burgerkill telah melahirkan lagu pertama mereka berjudul “Revolt” dan menahbiskan nama Scumbag. Meski sangat merepresentasikan aspek personal dari seorang Ivan, lagu ini mewakili kondisi sosial saat itu; bagaimana kegundahan, keterasingan, pencarian identitas dan menjadi mandiri, keluar dari lingkungan keluarga yang nyaman. Burgerkill semakin mumpuni ketika mereka meluncurkan lagu mereka yang berjudul “Homeless Crew”.
Pada era ini, gaya bohemian sedang melanda anak-anak komunitas musik Ujungberung. Pada era ini pula, Ivan masih duduk di bangku SMA dan banyak mengikuti gigs di luar Jakarta dan beberapa kali di Bandung. Ia juga bertemu dengan banyak komunitas.
1996-1997, Kejayaan Burgerkill
Di tahun 1996, Burgerkill telah merilis kompilasi pertamanya oleh 401204 dengan tajuk MasaIndahBangetSekaliPisan. Era ini juga sekaligus menjadi masa emas Burgerkill sebelum krisis moneter terjadi. Hampir setiap Minggu panggung besar mereka jelajahi. Tidak hanya di Jakarta, kibaran bendera mereka bahkan sampai ke Malang. Beberapa acara yang mereka jelajahi adalah Gorong-gorong II, Strum, Minoritas, Novest, Badung Bawah Tanah II, Parade Musik STIEKN Jayanegara Malang, Putra Underground, Benteng Underground.
Pada masa ini pula Ivan mulai tertarik dengan lirik satanis. Dia selalu mencari hal pembeda dari musik underground lainnya. Ketika lirik band underground biasanya memunculkan semangat persatuan, perjuangan, tema sosial, maka ia lebih senang dengan tema-tema kelam yang mencerminkan kediriannya.
27 Oktober 1997, Ayah Meninggal
Krisis moneter terjadi. Dunia musik pun terkena imbasnya. Banyak pagelaran, baik penonton dan musisinya terpaksa harus tiarap. Di masa ini pula, Ivan mengalami situasi keterpukulan yang menyedihkan. Ayahnya meninggal dunia. Situasi ini membawa dirinya ke dalam dunia kelam seperti mengonsumsi alkohol, putau, dan ganja yang berlebihan. Kisah percintaannya yang mungkin menjadi sandaran berikutnya setelah keluarga juga semakin memperparah situasi.
2011-2016, Tekat Kemandirian Ivan dan Burgerkill
Periode ini dibagi menjadi tiga bagian: bagaimana Ivan banyak bersinggungan dengan narkoba, kehidupannya dengan Mery (kekasihnya), dan tekat besar atas kemandirian seorang Ivan dan Burgerkill. Tapi saya hanya akan menyoroti soal bagian terakhir. Menarik untuk melihat seorang Ivan yang mencari sumber kehidupan dengan bekerja serabutan sebagai shopkeeper, merintis usaha clothing, menjadi ilustrator, dsb. Upayanya seperti itu menggambarkan energi besarnya yang tidak hanya nampak dari panggung. Selain itu, ia banyak mencurahkan ide brilian ke dalam tulisan dan lirik lagu yang merepresentasikan kehidupan pribadi serta sosialnya. Lagu-lagu yang ia buat telah mewakili dinamika pemuda-pemuda di era krisis moneter.
Tekat kemandirian Burgerkill nampak dari pertarungan idealisme soal musik indie dan label komersial. Tidak banyak band underground yang menarik perhatian label komersial sekelas Sony. Burgerkill merupakan salah satu band musik cadas yang sempat bekerja sama dengan label berkelas tersebut. Namun, karena pro kontra yang terus terjadi, mengingat bahwa Burgerkill adalah band dengan spirit bawah tanah, kerja sama tersebut berakhir pada 2005. Burgerkill memutuskan untuk keluar dari label Sony. Bukan menjadi suatu kerugian, dari kerja sama itu band ini telah belajar soal distribusi dan jejaring musik di tingkat nasional. Tak dapat dipungkiri, nama Burgerkill pun semakin dikenal oleh khalayak. Berkat kontrak 6 album dengan Sony pula, Burgerkill telah mendapatkan penghargaan dalam ajang Anugerah Musik Indonesia 2004 dengan menyabet kategori Best Metal Production untuk album “Berkarat”.
Seperti itulah kisah Ivan dan Burgerkill yang disampaikan melalui buku ini, sangat personal tanpa lepas dari konteks sosialnya. Meski demikian, bagi saya buku ini memiliki beberapa kekurangan. Pertama, latar waktu yang cukup ulang alik dalam penulisan barangkali membuat pembaca bingung. Akan sangat membantu jika penulis menyertakan lini masa periodisasi atau infografis, khususnya yang menekankan soal bagaimana dinamika musik bawah tanah berlangsung.
Kedua, penggunaan bahasa asing dalam skena musik underground atau khususnya Burgerkill juga sebenarnya bisa menjadi satu topik yang menarik untuk diulas. Apakah penggunaan bahasa asing dalam lirik memproyeksikan bayangan mereka 10-20 tahun ke depan yang semakin internasional? Penggunaan bahasa asing ini menjadi unik ketika dihubungkan dengan konteks wilayah Ujungberung yang berada di pinggiran Kota Bandung. Meski di pinggiran, kegiatan kampung seperti karangtaruna justru digerakkan oleh kelompok-kelompok musik.
Selain itu, salah satu aspek kehidupan Ivan yang tidak asing dengan dunia visual justru kurang digambarkan secara visual. Seperti aktivitasnya sebagai ilustrator dan dunia clothing, tidak ada arsip foto yang ditampilkan, yang sebenarnya bisa memberi gambaran kepada pembaca mengenai konteks sosial pemuda Bandung pada waktu itu.
Akhir kata, bolehlah saya berpendapat bahwa mungkin hanya ada beberapa sosok seperti Ivan dalam skena musik underground di Indonesia. Dengan tekad dan caranya yang unik, bersama Burgerkill dia menjadi penggedor dinamika musik bawah tanah Indonesia.
Beberapa catatan masa muda Ivan:
Lini masa dengan keluarga:
Organisasi yang dia geluti:
Hobi:
Beberapa band yang ia ikuti:
Artikel ini merupakan rubrik Review by Staff dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Januari-Februari 2019.