Trotoar Jl. Kenari, utara Balaikota Yogyakarta
Minggu, 6 Mei 2018
Trotoar Jl. Kenari, utara Balaikota Yogyakarta
Minggu, 6 Mei 2018
Bedhaya Banyu neng Segara Aksi Tari Warga Berdaya
Minggu, 6 Mei 2018 di trotoar Jl Kenari, utara Balaikota Yogyakarta Bagi penari–manusia yang mencintai gerak, semua ruang adalah istimewa. Semua ruang, di mana saja, termasuk di atas tanah Yogyakarta. Di tanah inilah, tarian dapat dipertunjukkan di manapun. Tak hanya di atas panggung pertunjukan, namun juga di ruang-ruang aktivitas publik; ruang publik. Sebagai bagian dari tanah Yogyakarta, tiap warga dapat mempertunjukkan tariannya sebagai energi yang menginspirasi. Tarian di ruang-ruang publik keseharian, tak semestinya menjadi peristiwa yang asing. Kehidupan Yogyakarta yang istimewa adalah Yogyakarta yang njawani. Dalam berkesenian, menjadi njawani itu penting. Bersikap dan berperilaku njawani mengarahkan kita menjadi manusia yang tepa salira, tidak memaksakan kehendak, tidak hanya mencari keuntungan pribadi, dan tidak mementingkan diri sendiri. Njawani juga mengasah kepekaan untuk memiliki rasa ngemong, merawat, dan menjaga diri dan lingkungan. Yogyakarta yang njawani adalah Yogyakarta yang hidup tanpa ada paksaan, bertumbuh demi menguntungkan semua pihak, dan berkembang dengan mengutamakan keadilan bagi semua penghuninya. Kami melihat semangat ini pada gerak prakarsa warga yang berdaya, untuk menjaga dan merawat Yogyakarta. Balaikota menjadi ruang penyampai pesan, yang mengajak siapapun untuk ikut mengawal Kota Yogyakarta. Yogyakarta sebagai ruang hidup bersama yang njawani, yang istimewa. Pesan di Balik Bedhaya Banyu neng Segara Bedhaya dalam bahasa Jawa berarti tari. Bedhaya lahir sebagai tarian sakral yang hanya dapat ditarikan di lingkup keraton dan pada peristiwa tertentu saja. Tarian ini biasa dipertunjukkan oleh 7 atau 9 penari, yang kesemuanya harus perempuan. Dalam budaya Jawa, perempuan miliki kedudukan tinggi dan mulia. Perempuan adalah pendamping, pendorong dan penuntun generasi. Bedhaya Banyu neng Segara menceritakan laku doa tujuh perempuan untuk bumi. Bumi yang dipijak sebagai tempat bernaung, hidup dan mati. Perempuan menjadi simbol kekuatan layaknya air yang bisa beradaptasi, bisa menenangkan, tetapi juga bisa meluluhlantakkan. Bedhaya menjadi pesan pengingat tentang asal dan hakekat, sebagaimana air yang menjadi unsur penting kehidupan manusia. Dalam prosesi ruwat atau merti, air suci digunakan untuk mengawali atau mengembalikan kesucian. Ketujuh penari perempuan ini menampilkan Bedhaya dengan riasan edan-edanan. Edan-edanan ditarikan sejak pernikahan Gusti Noeroel (putri KGPAA Mangkunegoro VII dengan Gusti Ratu Timur, putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII). Tarian ini bermakna menolak bala dan mengusir gangguan, termasuk roh jahat. Penari akan tampilkan wujud dedemit, dengan harapan para dedemit akan takut, sebab seakan melihat wajahnya sendiri. Batik motif parang gendreh menjadi busana para penari, dipadu kaos “Jogja Ora Didol”. Filosofi motif batik parang adalah lambang kesinambungan dan semangat yang tak pernah padam, serta penghormatan atas cita-cita dan kesetiaan terhadap nilai kebenaran. Di masa Sri Sultan Hamengku Buwono I, motif ini hanya boleh dikenakan oleh pangeran, permaisuri dan kerabat keraton. Kini larangan hanya berlaku di lingkungan kraton, ketika raja sedang berada di istana. Sedangkan di luar kraton, motif ini dapat dikenakan siapapun tanpa memandang status sosial. Perpaduan tampilan busana ini, lambangkan sikap dan perilaku njawani para penari. Penari sebagai warga, yang ingin terus merawat kotanya — Kota Yogyakarta yang istimewa, dalam sebuah semangat besar: Jogja Ora Didol