Oleh: Dwi Rachmanto
Aktivitas mendokumentasi perhelatan seni rupa di Yogyakarta masih terus berjalan. Sejak Juni sampai Oktober 2016 rekaman dokumentasi IVAA masih didominasi isu arah perkembangan kota dan konflik pertanahan antara masyarakat DIY dengan pemerintah provinsi. Terhitung sejak Januari hingga Oktober 2016 ini ada 196 judul perhelatan seni yang terdokumentasi. Bentuk dokumentasi yang kami miliki berupa berbagai format media, antara lain video, foto, audio, dan material tekstual seperti katalog pameran seni rupa, kliping, dan makalah diskusi. Ada kabar baik pula, yakni terdapat sederetan seniman dan komunitas yang berinisiasi untuk menghibahkan dokumentasinya untuk menjadi bagian dari arsip IVAA. Di antaranya adalah perupa Moelyono, FX Harsono, pegiat Festival Apeman Malioboro, dan Enny Asrinawati (seniman performance art dari Kota Malang).
Tim Arsip IVAA pada bulan Agustus melakukan perjalanan ke kota Jakarta, untuk mengunjungi beberapa perhelatan seni rupa dan pameran arsip, selain itu kami juga menyempatkan berkunjung ke Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Pameran arsip bertajuk “Indonesia Archives” yang diselenggarakan oleh ANRI pada 23-31 Agustus 2016 lalu mengundang rasa penasaran kami. Pameran arsip ini diselenggarakan di salah satu selasar gedung pusat perbelanjaan Sarinah Mall. Pameran ini menampilkan khazanah arsip tekstual, foto dan audiovisual yang disimpan ANRI yang berkaitan dengan kemandirian bangsa Indonesia dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya. Pameran “Indonesian Archives” bertujuan untuk lebih mengenalkan dan mendekatkan khazanah arsip yang begitu kaya akan nilai-nilai cinta tanah air, nilai-nilai kepahlawanan, kesantunan, dan kekayaan budaya bangsa Indonesia kepada masyarakat, terutama para generasi muda di negeri ini,” demikian ucap Kepala ANRI, Mustari Irawan. Namun demikian tema pameran ini terasa terlalu luas, sehingga harapan kami untuk melihat arsip-arsip yang sangat langka dalam lingkup sejarah kebudayaan RI masih belum terpuaskan.
Perjalanan kami berlanjut ke Perpustakaan Nasional RI. Tujuan kami adalah untuk menambah koleksi majalah seni rupa pada tahun 50-an. Dari hasil pencarian yang hanya setengah hari, kami mendapatkan rubrik-rubrik seni rupa dari beberapa majalah antara lain Majalah Budaja, Majalah Indonesia, dan Djaja Budaja.
Kami juga menyempatkan untuk mampir ke Festival Filem Arkipel khususnya di ruang pamer di Gudang Sarinah Jakarta. Festival ini digagas oleh komunitas pegiat pengetahuan media dan seni Forum Lenteng. Festival film Arkipel yang telah berlangsung untuk ke empat kalinya ini berlangsung selama sembilan hari mulai 18 hingga 26 Agustus 2016, mengambil tempat di enam lokasi berbeda. Pemutaran film berlangsung setiap hari di beberapa tempat yakni di GoetheHaus, Kineforum, Gudang Sarinah Ekosistem, Erasmus Huis, @America, dan XXI Taman Ismail Marzuki.
Tahun ini, Festival Filem Arkipel mengangkat tajuk Social/Capital, Hafiz Rancajale selaku pendiri Forum Lenteng dan Direktur Artistik Arkipel menjelaskan betapa pentingnya isu-isu sosial yang diangkat lewat film dokumenter. Pameran ini di dipajang dalam bentuk instalasi dengan judul Kultursinema #3: Menangkap Cahaya, bertempat di salah satu ruang pamer Gudang Sarinah Ekosistem, yang menampilkan film-fim Indonesia karya sutradara bumiputera dari periode 1920-an s.d. 1940-an antara lain Kwee Zwan Liang, The Teng Chun, dan Wong Bersaudara.
Dan di bulan Oktober ini kami melakukan wawancara untuk melengkapi pembacaan IVAA mengenai konten e-newsletter bulan ini, yaitu residensi. Pembacaan melalui perspektif pelaku residensi baik penyelenggara maupun seniman residensi kami gunakan untuk melihat bagaimana residensi dimaknai oleh Theodora Agni selaku manager residensi dan juga Ari Bayuaji sebagai seniman yang telah lama tinggal di Canada dan sedang mengikuti program artist in residency RedBase. Dalam wawancara, Agni berbagi cerita mengenai pengalaman Cemeti sendiri melakukan berbagai pengamatan, membongkar-pasang program untuk menemukan bentuk yang paling pas mewakili penyebutan residensi itu sendiri. Dari pengalaman berjejaring berskala internasional hingga hambatan dengan birokrasi negara dibagikan di dalam wawancara. Sementara Ari Bayuaji memaparkan perspektifnya sebagai seorang seniman yang mengikuti residensi di negaranya sendiri, yaitu tentang bagaimana residensi berperan penting pada perkembangan praktik berkeseniannya, baik di dalam dan di luar negeri, dan memiliki pengaruh yang sama besarnya dalam karir kesenimannya.