Judul Buku: Memoar Oei Hiem Hwie dari Pulau Buru sampai Medayu Agung
Penulis: Heru Kridianto (ed.)
Penerbit: PT. Wastu Lanas Grafika
Cetakan: Pertama, September 2015
Tebal: x + 258
Ukuran: 16,5 x 21,5 cm
Cerita atas peristiwa, tokoh yang berhubungan dengannya atau rekaman tentang pengalaman hidupnya yang bisa menjelma menjadi pelurusan sejarah ataupun sebagai sejarah, penting bagi sebuah negeri. Hal inilah yang tampak pada Memoar Oei Hiem Hwie dari Pulau Buru Sampai Medayu Agung.
Oei Hiem Hwie Lahir 26 November 1935 walau dalam surat dokumentasi tertulis 26 Nop 1938, dilahirkan di Malang, Jawa Timur. Indonesia adalah negara dan kebangsaan yang diperolehnya secara susah payah dan getir. Oei Hiem Hwie memilih menjadi orang Indonesia meskipun ia adalah putra dari seorang papa kelahiran Nan An, Hokkian, Tiongkok.
Kenangan masa kanak-kanaknya di Kota Malang ketika zaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, dan awal kemerdekaan Republik Indonesia. Menjalani zaman ini, bukan perkara mudah bagi seorang yang berasal dari kaum ‘minoritas’ Tionghoa. Kisah-kisah ini mengawali bagian pertama buku tersebut.
Bagian kedua memoar, Hwie yang sudah remaja mulai tumbuh kesadaran politiknya. Ia masuk ke dalam organisasi Baperki dan PPI (1965). Dua organisasi tersebut menjadi ‘rumah’ sekaligus alat untuk mewujudkan isi kepalanya tentang perjuangan menghilangkan diskriminasi, serta bagaimana berintegrasi dengan rakyat lainnya.
Oei Hiem Hwei juga sempat menjadi wartawan di harian Trompet Masjarakat. Aktivitasnya sebagai wartawan Trompet Masjarakat terhenti berbarengan dengan pecahnya gerakan 1 Oktober 1965. Wartawan-wartawan pengurus PWI pun dipecat dan ditangkap dengan tuduhan sebagai pendukung G30S.
Tanggal 24 November 1965, Hwie ditangkap tentara dengan tuduhan sebagai anggota Baperki dan wartawan Trompet Masjarakat yang berhaluan Soekarnois. Ia ditahan di Kamp Gapsin, Batu. 12 Januari 1966, ia dipindah ke Penjara Lowak waru, Malang, Masuk Blok 10-11. Selama 1970-1978 ia menjadi tahanan politik di Pulau Buru.
Di pembuangan dan penjara ini, ia dipertemukan dengan Pramoedya Ananta Toer. Di masa akhir hukumannya, ia bertemu dengan Haji Masagung dan bekerja di perusahaannya setelah bebas.
Kita bisa belajar dari Pak Hwie bagaimana bisa bertahan hidup, bagaimana menjalani hidup setelah dibebaskan dari penahanan tanpa pengadilan di Pulau Buru, membangun kembali kehidupan pribadi dan sosialnya, serta bagaimana Pak Hwie berkontribusi pada pembangunan untuk menuju masyarakat yang lebih baik. Satu di antara upaya-upayanya adalah mendirikan Perpustakaan Medayu Agung Surabaya.
Judul Buku: Film, Ideologi, dan Militer
Penulis: Budi Irawanto
Penerbit: Warning Books & Jalan Baru
Cetakan: Kedua, Juli 2017
Tebal: xxxiii + 266
Ukuran: 13×19 Cm
Buku ini berisi kajian semiotik atas tiga ‘film sejarah’, yakni Enam Djam di Jogja (1951) yang diproduksi pada masa Orde Lama, Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar yang diproduksi di masa Orde Baru. Dalam bab awal buku ini, banyak mengulik teori-teori penelitian, metode ataupun cara pandang menggunakan kajian semiotik atas film, khususnya di Indonesia. Penulis juga mengulas teori film dari perspektif substansi film, yaitu film tidak lagi dimaknai sekadar sebagai karya seni, tetapi lebih sebagai praktik sosial serta komunikasi masa.
Buku ini menuturkan bahwa persebaran film pada 1900 dikuasai oleh Eropa dan Amerika. Industri film Barat itu kemudian melakukan ekspansi ke Indonesia pada 1920-an. Sementara pihak yang berwenang melakukan sensor atas film yang masuk ataupun yang diproduksi di Indonesia diatur oleh Belanda. Sistem sensor buatan penjajah ini bahkan dipakai sampai Indonesia merdeka.
Masa-masa awal perkembangan perfilman Indonesia banyak diproduksi oleh etnis Cina. Pada perkembangannya, terutama awal 1960, dua organisasi kebudayaan yang berafiliasi pada partai politik, memainkan peran penting dalam perjuangan dan ketegangan di dunia perfilman Indonesia. Yaitu antara LEKRA dan Manifes Kebudayaan.
Melalui film-film yang diklaim oleh penguasa sebagai film sejarah, keunggulan militer atas sipil sengaja diproduksi. Tiga film sejarah di atas dengan gamblang merepresantasikan keunggulan modus perjuangan bersenjata yang dilakukan oleh militer dibandingkan dengan modus perjuangan diplomasi yang dilakukan elit politik sipil.
Artikel ini merupakan Rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA September-Desember 2017.