Teater Kecil Taman Ismail Marzuki
7-10 Mei 2018
Teater Kecil Taman Ismail Marzuki
7-10 Mei 2018
Oleh: Hardiwan Prayoga
Masih dalam rangkaian perjalanan di Jakarta, kali ini Tim Arsip IVAA mengikuti seluruh rangkaian acara 3 ½ Tahun Bekerja; Kuratorial, Arsip Seni dan Propaganda Pendudukan Jepang 1942-1945 yang bertempat di teater kecil Taman Ismail Marzuki. Benang merah yang diangkat dari acara ini adalah pengaruh yang ditinggalkan Jepang pada pasa pendudukannya selama 3,5 tahun di Indonesia. Acara yang berlangsung dari 7-10 Mei 2018 ini pada dasarnya berbasis arsip, yang lebih lanjut dijadikan sandaran untuk eksplorasi seni. Dari situ, hasil eksplorasi dimunculkan dalam bentuk presentasi hasil riset, lini masa pendudukan Jepang dari segi sosial politik dan seni-budaya, seni pertunjukan, pemutaran film dan simposium.
Kita dapat langsung melihat poster-poster propaganda, lukisan-lukisan seniman Jepang pada masa itu, ruang gelap yang berisi profil-profil seniman Indonesia di masa itu, hingga video. Koleksi ini diambil dari keluarga Saseo Ono, salah satu seniman Jepang, dan dari The NIOD (Institute for War, Holocaust and Genocide Studies is an organisation in the Netherlands). Sedangkan lini masa dicetak dalam kursi-kursi yang tersebar di sekitar lokasi pameran. Pameran riset ini berjalan penuh dari pembukaan acara tanggal 7 Mei hingga penutupan tanggal 10 Mei.
Sementara itu, pertunjukan berlangsung pada tanggal 9 Mei 2018. Dengan mengangkat cerita berjudul Ayahkoe Poelang. Kemudian ditanggal 10 Mei sebelum penutupan dipentaskan juga dramatic reading. Pentas teater ini masih dielaborasi dalam upaya menampilkan arsip yang lebih performatif tanpa kehilangan konteksnya. Selain itu juga diadakan screening film, pada tanggal 9-10 Mei. Dengan mengambil jeda waktu antara simposium dan pertunjukan teater, yaitu dari pukul 18.00-19.00. Film yang di-screening adalah film-film yang diproduksi Jepang sebagai salah satu media propaganda. Maka film-film ini tidak jauh dari kisah seputar cara membuat dan menggunakan bambu runcing, keuntungan bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air), hingga janji dan citra bahwa Jepang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan bangsa Eropa.
Kemudian satu sub acara yang cukup menjadi perhatian dari Tim Arsip IVAA adalah simposium. Simposium diadakan sebanyak 3 kali, pada tanggal 8-10 Mei. Simposium hari pertama yang dimoderatori oleh JJ Rizal mempresentasikan 3 riset berjudul “Riset dan Pengembangan Bekraf” oleh Wawan Rusiawan, “Media Massa Pada Masa Pendudukan Jepang Kasus Djawa Baroe” oleh Ignatius Haryanto, dan Surat Menyurat Pada Masa Perang: Kasus Survival Komunitas Gerejani Pada Masa Jepang” Oleh G. Budi Subanar, SJ. Dilanjutkan pada simposium II dihari berikutnya, oleh Antariksa dan Fandy Hutari yang masing-masing mempresentasikan penelitiannya dengan judul “Kemakmuran Bersama: Seni Rupa dan Desain Pada Masa Pendudukan Jepang”, dan “Sandiwara Pada Masa Pendudukan Jepang”, dengan moderator Ugeng T. Moetidjo. Simposium III sekaligus salah satu penutup rangkaian acara ini berjudul “Arsip dan Praktik Seni di Luar Tubuh Sejarah” oleh Antariksa, Fandy Hutari, Dendi Madya, Haryo Hutomo, dan Riosadja. Simposium III lebih mengarah pada wicara penyelenggara, yang banyak bicara seputar proses kreatif hingga akhirnya terlaksana acara ini. Mulai dari ide dari komite teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk membuat suatu program pameran, hingga kemudian mengajak Antariksa untuk menjadi kurator sekaligus ruang untuk memamerkan dan mendiskusikan hasil risetnya. Dari sekian banyak ide yang terlontar, akhirnya diputuskan bahwa acara berbasis arsip ini direspon dengan berbagai bentuk seni kontemporer, sebagai upaya mengkontekstualisasi arsip-arsip masa lalu dengan praksis masa kini tanpa menghilangkan esensi dan nilai peristiwanya.
Dari tiga kali simposium, IVAA cukup menyoroti simposium II yang lebih fokus pada praktik seni pada masa pendudukan Jepang. Antariksa mempresentasikan bagaimana masa singkat pendudukan Jepang berpengaruh pada perkembangan seni rupa indonesia. Antariksa mengawali presentasi dengan kedatangan Jepang ke Indonesia yang disambut gembira dikarenakan keyakinan bahwa Jepang akan memerdekakan Indonesia. Keputusan yang juga didukung elit politik ini berimbas pada seniman yang akhirnya bekerja pada lembaga-lembaga propaganda Jepang. Jepang adalah negara yang sangat sadar pada kekuatan seni sebagai media propaganda. Berbeda dengan barat, Jepang menggunakan propaganda dengan prinsip kejujuran, hanya saja kejujuran yang sudah melalui skema filtering.
Jepang yang ketika itu diembargo oleh Amerika dan sekutunya, membuat poros segitiga dengan Nazi dan Italia. Kondisi yang kemudian sangat mempengaruhi ketersediaan material dan bahan baku seni rupa yang menjadi terbatas. Pada masa perang ini, Jepang mengirim senimannya ke negara jajahan hingga lokasi-lokasi konflik. Seniman-seniman inilah yang banyak melukiskan kondisi perang sebagai salah satu narasi propaganda. Seniman-seniman Jepang ini tinggal di berbagai daerah di Indonesia, seperti Saburo Miyamoto yang pernah pameran tunggal di Manado tahun 1943, Suro Tagoro seorang pengajar seni dari Tokyo yang pernah tinggal di Bukittinggi. Kehadiran seniman ke daerah-daerah ini menciptakan desentralisasi seni dengan tidak hanya di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta, tetapi menyebar hingga ke Jember, Dili, Manado, Bukittingi dan lain-lain. Selain itu, mereka yang didatangkan ke Indonesia adalah Takashi Kono, Rintaro Takeda, Seizen Minami, Saseo Ono, Soichi Oya, Eitaro Hinatsu, dan Ryohei Koso. Takashi Kono adalah seniman yang bekerja di agensi propaganda Jepang, memperkenalkan teknik-teknik grafis, montase, hingga stopmotion pada seniman Indonesia. Banyak bekerja sama dengan Soichi Oya sebagai copywriternya. Kemudian Yonosuke Natori, yang disebut sebagai bapak foto jurnalisitik Jepang, menerbitkan majalah Nippon, majalah seni visual pertama di Asia dan didistribusikan dalam 5 bahasa ke seluruh dunia. Nippon versi Indonesia berjudul Djawa Baroe. Selain mendatangkan seniman, Jepang juga membentuk lembaga-lembaga seperti Keimin Bunka Shidoso, secara singkat dapat diartikan sebagai institusi pemandu seni dan budaya.
Berbeda dari Belanda, Jepang membuat seni menjadi populis, mulai dari akses ruang pamer, hingga edukasi gratis. Ini mengakibatkan meledaknya perkembangan estetika dengan gagasan seni rupa barat. Kenapa barat? Karena Jepang ingin menunjukkan bahwa mereka menguasai teknik barat lebih baik dari barat itu sendiri. Dengan kata lain mengakuisisi keahlian barat yang kemudian digunakan ulang untuk kepentingan bangsa, artinya Jepang dan Indonesia saling diuntungkan. Jepang membebaskan seniman Indonesia menggunakan gaya estetik apapun asal tidak mengkritik Jepang. Pengaruh Jepang pada seni rupa memberikan narasi baru, bahwa kepentingan Jepang di Indonesia tidak hanya soal militer dan perang. Seni yang berhasil dibuat populis ini menyadarkan publik saat itu akan pekerjaan yang tidak melulu kerja kasar/ buruh tetapi juga bisa menjadi seniman. Periode ini sekaligus mengenalkan bahwa seni mulai digunakan sebagai pernyataan politik.
*Dokumentasi pameran ini dapat diakses di Archive Online IVAA, dan buku program 3 ½ Tahun Bekerja; Kuratorial, Arsip Seni dan Propaganda Pendudukan Jepang 1942-1945 dapat diakses di perpustakaan IVAA.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Mei-Juni 2018.