Buku berjudul “I Owe You” adalah rekam jejak kekaryaan Mella Jaarsma dalam periode dekade keempatnya, sekitar 2010-2020. Diterbitkan oleh IVAA pada 2022 dengan dukungan dari Baik + Khneysser, Los Angeles dan Roh Projects, Jakarta. Selain terdapat foto-foto karya Mella, di buku ini bisa juga disimak dengan seksama tiga tulisan dari Iola Lenzi, Chaitanya Sambrani, dan Alia Swastika.
Rabu, 23 Maret 2022 kemarin, buku ini diluncurkan dengan sebuah diskusi di Rumah IVAA. Dimoderatori oleh Lisistrata Lusandiana, diskusi yang berlangsung selama kurang lebih dua jam ini (15.30-18.30 WIB) menghadirkan Mella Jaarsma, Alia Swastika, Mira Asriningtyas, dan puluhan pengunjung.
Alia mengawali diskusi dengan mengulas singkat tulisan Iola. Bahwa karya-karya Mella menjadi penting dalam konteks kesenian di Asia Tenggara pada era 1990-an yang cenderung bicara soal perjuangan demokrasi. Karya-karya Mella bisa dibaca sebagai upaya untuk mendobrak situasi masyarakat yang tertutup saat itu, entah dalam hal ketabuan, identitas yang terpolarisasi, dll.
Pengalaman diaspora Mella juga Alia garisbawahi dengan merujuk tulisan Chaitanya, seorang India diaspora yang aktif di Australia. Pengalaman diaspora menjadi penting untuk menyelami narasi-narasi keasalan dan situasi nyata di mana seseorang hidup. Juga, mengenai tegangan antara pandangan kolonial dan pasca kolonial. Pengalaman ini muncul dari proses kekaryaan Mella yang banyak melibatkan metode etnografi, mengunjungi komunitas lain sebagai orang asing. Mella sadar betul soal pentingnya dialog dan kritisisme yang tentu terkait dengan narasi kolonial masa lalu yang menyertainya.
Sementara, dalam hal tulisannya sendiri, Alia justru lebih menyoroti soal proses penciptaan Mella. Alih-alih menyuguhkan pembacaan sebagai peneliti, Alia justru ingin menjawab rasa penasaran publik soal dapur kekaryaan seniman.
Dilanjutkan oleh Mira, ia lebih mempertanyakan esai yang ditulis oleh Iola maupun Chaitanya. Mira menghubungkan esai-esai ini dengan proyek Mella sebelumnya, yakni The Fitting Room. Mira mempersoalkan mengapa dua penulis ini justru menjadikan karya Mella “Pribumi” (1998) dan “Hi Inlander” (1999) seolah sebagai landasan pembacaan atas karya Mella periode 2010-2020. Barangkali jarak hubungan mereka dengan Indonesia dan situasi mereka yang lahir di konteks internasionalisme seni Asia Tenggara menjadi faktornya. Sehingga mereka tetap melihat Mella dan karyanya sebagai bagian dari pendatang.
Tidak hanya berfokus di kekaryaan Mella, diskusi ini memancing pengunjung untuk bicara ke beberapa topik. Mulai dari riset dalam proses penciptaan karya, akses disabilitas dalam seni visual, hingga persoalan pengarsipan oleh seniman. Intinya, ada banyak hal yang dapat dibicarakan bahkan dari proses kreatif seorang seniman. Jika tertarik membaca lebih dalam, buku ini bisa diakses melalui IVAA Shop. Boleh berkunjung langsung di Rumah IVAA, atau hubungi kanal Instagram dan Tokopedia. Buruan! Mumpung masih harga promo.