Judul : Mata Air, Air Mata Kota
Penulis : G. Budi Subanar
Penerbit : Abhiseka Dipantara & LogPustaka
Cetakan : Cetakan Pertama
Tahun Terbit : 2019
Halaman : 181
Resensi Oleh : Fika Khoirunnisa
Mata Air, Air Mata Kota berisi kisah manusia, kesederhanaan, perkembangan dan perubahan ritme hidup Kota Yogyakarta. Membacanya berarti melihat lebih jauh sendi-sendi kehidupan kota Yogyakarta yang terbagi menjadi dua dekade; tahun ‘70-an yang tersaji melalui pangkalan gerobak, industri batik, peristiwa ontran-ontran, kali code, hingga pasar sebagai pusat kehidupan, serta tahun ‘80-an ketika becak, gerobak, dan sepeda mulai terganti oleh truk dan mobil angkutan, juga taman yang mulai tergusur dan beralih fungsi menjadi pompa bensin.
Mengutip Benedict R.O’G Anderson, dalam bukunya yang berjudul Imagined Communities (1983), “Novel dilihat sebagai penubuhan naratif kesadaran berbangsa. Jika bangsa harus dipertimbangkan lebih sebagai ‘artefak budaya’ ketimbang suatu entitas politik, maka novel menjadi semacam jalur istimewa untuk menelusuri landasan budaya kebangsaan.” Sebuah novel dapat memuat berbagai macam kemungkinan alur yang mampu memadukan keragaman isi suatu bangsa, sedangkan narasi yang tersusun secara kronologis dapat menyajikan ‘pengalaman berbangsa’ masyarakat dengan berbagai keragaman latar belakangnya. Pengalaman tersebut yang hendak dibagikan penulis melalui timeline Kota Yogyakarta selama dua dekade.
Dalam diskusi buku yang diadakan di Universitas Sanata Dharma, G. Budi Subanar selaku penulis mengatakan, “Tidak ada konflik dalam cerita ini, saya menulis hanya untuk membandingkan dan menggambarkan potret Jogja zaman dahulu, sehingga pembaca benar-benar akan merasakan suasana yang tidak dapat ditemukan pada zaman sekarang.” Dalam kesederhanaan visinya, Romo Banar menyajikan karya sastra yang memuat segala aspek revolusi, baik fisik maupun batin dan sosial. Buku ini merupakan sebuah bentuk aktualisasi dari kemampuan mengamati dan mengalami dari penulis yang kemudian dituangkan menjadi narasi-narasi kehidupan masyarakat Yogyakarta secara umum, seperti: perjuangan hidup kepala keluarga yang bekerja keras demi memenuhi kewajiban menafkahi keluarga, si sulung yang bersekolah dengan pekerjaan sampingan sebagai perantara di pasar hewan, peristiwa ontran-ontran yang berdampak pada lemahnya kondisi perekonomian masyarakat, hingga tergusurnya para bajingan dari taman yang mulai beralih fungsi menjadi bangunan pompa bensin.
Tokoh rekaan dalam buku ini, masing-masing dengan caranya sendiri, telah ikut terlibat dalam perkembangan dan peralihan kultural Kota Yogyakarta selama dua dekade. Kerja keras orang tua demi menghidupi keluarga serta kesederhanaan hidup yang ditanamkan pada anak-anak sejak kecil, tidak lantas membuat cita-cita mereka sederhana. Mereka tetap berupaya untuk menapaki jenjang pendidikan tinggi sehingga dapat terbebas dari kungkungan ketentuan garis hidup yang telah berlangsung turun-temurun. Potret keluarga Pak Seto adalah representasi dari kita semua. Kita dapat menemuinya di sudut-sudut kecil kota Jogja dan dalam kemegahan bangunan bintang lima sekalipun. Potret keluarga Pak Seto adalah representasi dari hal-hal yang kita usahakan dan upayakan untuk keadilan, kesetaraan, dan kebebasan.
Pada akhirnya perubahan zaman tidak terjadi secara serta merta, disadari atau tidak, direncanakan atau tidak, demikianlah yang terjadi pada Yogyakarta dan masyarakatnya. Dari situlah kita dapat memaknai revolusi sebagai sebuah proses yang utuh dan konkret dalam suatu fase kehidupan.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi November-Desember 2019.