Judul : Tiga Venus dan Tentang Seni yang Enggan Selesai
Penulis : Stanislaus Yangni
Penerbit : Penerbit Nyala
Tahun terbit : 2019
Halaman : 70
Ukuran : 12 cm x 19 cm
ISBN : 978-602-52504-7-7
Resensi oleh : Aisha Shifa Mutiyara
Pada suatu malam di ruang arsip IVAA, di tengah-tengah obrolan kami yang tentang apa saja itu, seorang teman seperjuangan magang sempat mengutarakan kegelisahannya terhadap beberapa karya seni kontemporer, terutama yang terkesan dibuat seadanya – dalam artian tanpa banyak sentuhan artistik – dari readymade objects namun memiliki konsep yang ‘luar biasa’. Karya-karya yang demikian dianggapnya telah mengaburkan batas antara kemalasan dan talenta, terutama karena wujud fisiknya yang minim nilai otentisitas. Menurutnya, ada tiga aspek yang harus dipenuhi oleh karya seni yang baik, yaitu skillfulness, statement, dan astonishment. Dengan demikian, seni kontemporer yang seolah menomorsatukan gagasan dan meniadakan pentingnya proses penciptaan itu hanya memenuhi aspek statement, sehingga lebih tepat disebut sebagai ekspresi kreativitas. Pada saat itu saya tidak menganggap persoalan itu sebagai suatu persoalan yang layak digelisahkan. ‘Asal gagasannya bisa dipertanggungjawabkan, sepertinya tidak masalah,’ begitu pikir saya, sebelum saya membaca Tiga Venus dan Tentang Seni yang Enggan Selesai.
Kegelisahan yang sama rupanya telah dirasakan Sudjojono sejak tahun 1970an. Karyanya yang berjudul Saya dan Tiga Venus tercipta sebagai tanggapan ketika aliran kontemporer mulai diamini di Indonesia, terutama oleh sekelompok seniman muda yang menamai dirinya GSRB (Gerakan Seni Rupa Baru). Mereka menganggap praktik seni rupa para seniman tua terlalu modernis, terlalu terpaku pada pakem. Mereka menolak dikotomi “seni tinggi” dan “seni rendah” dan menciptakan dikotomi baru: pemisahan antara “tubuh” dan “jiwa”. Pemisahan ini mengesampingkan proses penciptaan, berlawanan dengan prinsip “jiwa ketok” Sudjojono. Karena keteguhannya pada prinsip ini, mereka juga menuduh Sudjojono sebagai pelukis yang “kembali pada mooi indie”. Mereka berkeyakinan bahwa kontemporer adalah solusi dari ‘kemunduran’ ini karena kontemporer seakan memberi kebebasan yang selama ini tidak mereka dapatkan dalam berkesenian. GSRB memang telah berhasil membuka sudut pandang baru dalam melihat karya seni dengan mengesampingkan “seni tinggi” dan “seni rendah”, namun ada beberapa kesalahan pemahaman yang membuat ‘pemberontakan’ ini dianggap “klenik” oleh Sudjojono.
Kesalahan pertama mereka adalah menganggap Sudjojono kembali pada mooi indie. Mooi indie adalah kelompok seniman realis-naturalis yang karyanya berupa pemandangan alam yang indah dipandang dan dapat memanjakan mata para turis asing yang berkunjung ke Indonesia. Karena hanya berfokus pada keindahan, maka para pelukis ini “cenderung memperhalus, memperindah, menjadikannya ideal”, hingga berakibat pada penghilangan objek yang dianggap mengganggu. Gaya lukisan seperti ini dianggap Sudjojono sebagai lukisan yang “sonder jiwa” karena konsep realis diterapkan hanya sebatas teknik melukis, dan karena yang dilukis adalah “yang dipikirkan”, bukan yang “dilihat” dan dirasakan. Realisme yang sesungguhnya menurut Sudjojono adalah yang berhasil menangkap suasana yang tidak terlihat mata. Tiap seniman pasti memiliki penangkapan yang berbeda terhadap suasana dan oleh sebab itu menghasilkan penggambaran atau ekspresi yang berbeda pula. Inilah yang disebut “jiwa ketok”, yaitu ketika jiwa seniman atau ekspresi dari penangkapan yang berbeda itu diwujudkan dalam lukisan. “Jiwa ketok” dalam lukisan Sudjojono dapat dilihat dari goresan kuasnya. Bertolak belakang dengan lukisan mooi indie yang cenderung terlihat sama, tidak ada ciri khasnya. Sudjojono tidak akan kembali pada mooi indie, karena dari awal mereka jauh berbeda.
Tuduhan GSRB terhadap Sudjojono menunjukkan ketidakpahaman (atau lebih tepatnya keacuhan) terhadap prinsip “jiwa ketok”. Sudjojono dengan tegas membedakan “tema” atau konsep dengan “proses kreasi yang berkaitan langsung dengan jiwa seniman”. Sedangkan dalam pemahaman kontemporer, semua bisa menjadi karya seni, bahkan barang sehari-hari yang dari awal sudah diciptakan. Proses penciptaan karya tidaklah penting selama ‘karya’ tersebut ada konsepnya. Oleh sebab itu, kontemporer yang mereka serukan malah menjadi “klenik”. Kontemporer seakan menjadi label sakti yang bisa mengubah apapun menjadi karya seni.
Ini mungkin alasan yang tepat ketika mengatakan “kontemporer” itu klenik karena sekadar “mem-pas-kan” tema. Maka, “Klenik” dalam konteks ini bisa berarti karya seni yang terjebak pada tema, meniadakan cara.
Karya seni yang meniadakan cara akan menjadi karya yang mudah diproduksi ulang oleh siapapun dan di manapun. Contoh yang paling baru adalah karya kontemporer berupa pisang yang dilakban ke tembok yang harganya milyaran rupiah. Ketiadaan cara atau “jiwa ketok” memungkinkan karya tersebut untuk ‘direproduksi’ oleh para netizen yang gemas. Namun sebenarnya tanpa usaha para netizen pun, karya itu memang harus direproduksi karena pisangnya akan membusuk. Dilihat dari sudut pandang kontemporer, hal ini bukanlah masalah, karena peran seniman dalam karya itu memang sebatas pada konsepnya. Pisang dan lakban tidak dibuat oleh seniman itu sendiri – dia hanya ‘merakitnya’ menjadi sesuatu yang baru, menjadi karya seni. Oleh Sudjojono dalam Saya dan Tiga Venus, kontemporer yang seperti ini disimbolkan dengan Venus von Willendorf yang merupakan penanda zaman pra sejarah namun berdiri di atas buku yang berjudul “Kontemporer” dan kakinya terbungkus koran dengan tulisan “klenik”. Wujudnya usang dan mati. Ia digambarkan dengan tone yang gelap, opaque, dan di belakangnya terdapat sebatang pohon tanpa daun. Suasananya seperti di kuburan.
Namun analisis Stanislaus Yangni terhadap Saya dan Tiga Venus tidak berhenti sampai di sini. Sudjojono tidak hanya mengkritik dan mengatakan bahwa kontemporer sebenarnya sudah lebih dulu mati. Dia juga menawarkan opsi pemahaman lain mengenai ‘kontemporer’ melalui figur Sudjojono, Rose, dan Venus de Milo yang digambarkan dengan warna yang hidup namun transparan, menyatu dengan latar. Lebih jauh, dapat juga dilihat bahwa figur Rose dan Venus de Milo memiliki pose yang hampir sama. Yangni juga menyebutkan bahwa ada cahaya yang “datang seperti dari kiri agak ke tengah,” sehingga mereka berdualah yang paling terang. Cahaya ini menggarisbawahi keberadaan zona yang tak terbedakan, atau dalam istilah Deleuze: “zone of indiscernibility”. Istilah ini digunakan untuk “menjelaskan pengalaman “menjadi”, becoming, yaitu antara yang mati dan hidup”, dalam lukisan ini adalah “antara manusia dan patung”. Venus de Milo dan Rose seakan “saling menjadi” atau “passing one another”. Mereka nampak seperti hantu yang berusaha memperlihatkan wujudnya, berusaha “ngetok”. Komitmen untuk “ngetok”, “menjadi”, atau “mem-figur” inilah yang menawarkan pemaknaan kontemporer yang sebenarnya. Yang lebih tepat dikatakan sebagai ‘kontemporer’ adalah ‘kemunculannya’, bukan “apa yang muncul”.
Lebih jauh lagi, dengan meminjam istilah Deleuze bahwa seni adalah “mendirikan monumen”, dan “monumen adalah pengalaman ngetok, becoming: melahirkan Figur”, Yangni menyimpulkan bahwa Saya dan Tiga Venus yang membicarakan tentang “realisme jiwa ketok” itu adalah “monumen dari yang sekarang, becoming-now”. Karena membicarakan tentang “realisme jiwa ketok” yang seharusnya selalu ada dalam karya seni, Saya dan Tiga Venus akan terus hadir selama manusia terus berkesenian. Terlebih lagi, karena Saya dan Tiga Venus telah mengingatkan kita yang dulu pernah “terlanjur salah kaprah dan percaya”.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi November-Desember 2019.