Oleh Krisnawan Wisnu Adi
Pusparagam Pengarsipan ialah sebuah program yang mempertemukan para praktisi yang bekerja dengan arsip, arsiparis atau siapa saja yang memiliki ketertarikan dengan semesta arsip dan pengetahuan. Pusparagam Pengarsipan yang pertama ini menggarisbawahi tema “The Possibility of Socially Engaged Archiving” atau mencari arah kerja pengarsipan yang membumi. Ide ini bermula dari kebutuhan kami untuk mempelajari keberagaman model pengarsipan yang tumbuh di sekitar kita, sekaligus melihat kembali model-model kerjanya. Hal ini kita lakukan sambil mempertanyakan ulang arah pengetahuan dan pengarsipan.
Program ini digelar selama tiga hari, 19-21 November 2019, di Rumah IVAA dengan format forum partisipatif dan diskusi terbuka. Partisipan yang terlibat dipilih melalui seleksi tulisan; dari 50 pendaftar, dipilih 24 partisipan. Masing-masing partisipan membawa konteks lokal kerja pengarsipannya. Seperti maksud dari program ini, yakni mencari arah kerja pengarsipan yang membumi, kehadiran konteks dari masing-masing partisipan menegaskan bahwa kerja pengarsipan tidak hanya beroperasi di tubuh Negara, tetapi juga di tengah-tengah masyarakat dengan persoalannya.
Kita ambil contoh praktek pengarsipan yang telah dilakukan oleh salah satu partisipan, yakni Feysa Poetry, seorang asisten akademik dan penelitian ITB. Secara kolaboratif, ia bersama warga Kampung Besukih, Sidoarjo berusaha mengumpulkan kembali ingatan kolektif mereka tentang rumah yang hilang akibat peristiwa Lumpur Lapindo. Suatu ironi, ketika Lumpur Lapindo tidak lagi dilihat sebagai dampak eksploitasi korporat melainkan disulap menjadi ikon baru kota Sidoarjo sebagai lahan turistik. Untuk mengantisipasi merebaknya ‘amnesia kolektif’, Feysa bersama warga merekonstruksi desain arsitektur rumah-rumah yang sekarang menjadi bagian dari ingatan. Sebentuk tanggung jawab masa depan arsip.
Pemetaan kolektif bersama penduduk Kampung Besukih. Dokumentasi Feysa Poetry, 2016.
Proses dan salah satu sketsa hasil pemetaan kolektif. Dokumentasi Feysa Poetry, 2016.
Berbeda lagi dengan Zainal Abidin. Ia adalah anggota dari Sivitas Kotheka, sebuah komunitas literasi di Pamekasan, Madura. Pendiri ‘Pena Aksara: Kelas Menulis Bahasa Madura’ ini melalui tulisannya menjelaskan bahwa kerja pengarsipan yang ia lakukan di komunitasnya adalah mendokumentasikan kegiatan-kegiatan yang digelar setiap bulan. Teks-audio-visual menjadi wujud arsip yang merepresentasikan pengelolaan diri. Tetapi ia punya keprihatinan bahwa ada banyak pengetahuan yang hanya mampu ditangkap dengan indra, tidak melulu bisa ‘diarsipkan’. Begitu pula dengan pengetahuan-pengetahuan lokal di Madura.
Konteks lokal dalam kaitannya dengan arsip juga dibawa oleh Baskoro Pop, pendiri Yayasan Lasem Heritage. Sebagai bagian dari kerja Perlindungan, Pengembangan dan Pemanfaatan/ Pelestarian Pusaka-Pusaka/ Heritage di Lasem, arsip ia maknai sebagai elemen paling penting untuk dikelola dalam rangka produksi pengetahuan. Tidak hanya bekerja dengan arsip teks-audio-video, ia juga melihat urgensi dari pengetahuan yang beroperasi secara tutur.
Tiga konteks di atas merupakan bagian kecil dari ragam praktek pengarsipan yang tersebar di sekitar kita. Dalam situasi ini, pusparagam menjadi upaya untuk ikut menjahit keragaman tersebut. Para partisipan tidak hanya berperan sebagai partisipan saja, karena upaya lebih lanjut pun muncul. Fransiskus Xaverius Berek, ketua Ikatan Guru Daerah Flores Timur periode 2018-2023, menulis beberapa artikel terkait Pusparagam dan pentingnya praktek pengarsipan sebagai strategi kebudayaan secara kontekstual di wilayah Flores Timur: IGI Flotim Presentasikan Kisah Besi Pare Tonu Wujo Dalam Ajang IVAA 2019, Sosiolog UIN Jakarta dan Peneliti ITB Tertarik Meneliti Situs Besi Pare Tonu Wujo Di Flores Timur, dan Besi Pare Tonu Wujo – Dewi Sri Orang Flores Timur Versi Muhan.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi November-Desember 2019.