oleh Bian Nugroho
“Bila seseorang menatap langit malam tak berbulan di suatu daerah tropis pada musim kemarau, akan tampak kanopi dari bintang-bintang statis, tak ada yang menghubungkan sekumpulan bintang tersebut selain gelap malam dan imajinasi.” -Benedict Anderson-
Saat itu, bersamaan dengan hujan yang turun dengan malu kepada matahari, di sebuah ruang di mana dua orang sedang duduk fokus menghadap laptopnya masing-masing di atas meja panjang, adalah kali kedua saya berada di sana sampai larut malam. Maklum saja, minggu itu IVAA disibukkan dengan tiga acara yang berlangsung secara bersamaan. Pusparagam Pengarsipan, Pekan Budaya Difabel dan Festival Sejarah: Jejak Sudirman (Sudirman Project) di Grogol, Parangtritis, Bantul.
Sebagai anak magang yang diancam arus hype 4.0 saya sangat antusias untuk berpartisipasi dalam rangkaian acara tersebut. Saya berkesempatan ikut serta dalam acara Pusparagam Pengarsipan yang perdana, membantu teman-teman IVAA menyeleksi tulisan-tulisan para pendaftar guna menentukan siapa saja yang akan jadi partisipan. Selepas menyeleksi beberapa berkas, kami dihampiri oleh Mas Jati, teman magang IVAA pada periode yang sama dengan saya. Tiba-tiba ia melemparkan pertanyaan yang sedang diperdebatkan di grup WA-nya, mengenai perbedaan antara metode dengan metodologi. Malam sudah semakin larut dan perbincangan kami sampai pada pembahasan astronomi.
Pusparagam Pengarsipan merupakan program yang mempertemukan para praktisi yang bekerja dengan arsip atau siapa saja yang memiliki ketertarikan dengan dunia arsip. Dengan tema The Possibility of Socially Engaged Archiving saya berasumsi bahwa tema ini akan mengarah pada upaya melihat bagaimana arah pengarsipan selama ini beserta implikasinya dalam perkembangan pengetahuan-pengetahuan lokal yang ada di tengah ketakutan-ketakutan. Ketakutan gelombang hype 4.0 yang “diberikan” oleh pemerintah dan bagaimana posisi pemerintah melalui Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Sebagai anak magang yang sebelumnya tidak pernah menyentuh dunia arsip, menjadi menyenangkan dapat terlibat dalam Pusparagam Pengarsipan kali ini. Berikut adalah refleksi saya terhadap tema dan dinamika yang terjadi selama acara berlangsung.
***
Persoalan dekolonisasi dalam negara-negara eks-koloni memang menjadi tema yang menarik untuk selalu diperbincangkan. Hal ini juga terjadi dalam dunia pengarsipan. Pertanyaan yang muncul dalam Pusparagam Pengarsipan kurang lebih adalah bagaimana posisi arsip dalam proyek dekolonisasi negara-negara eks-koloni?
Ada yang menarik dalam jalannya acara, di sebuah forum diskusi yang mengundang perwakilan dari KUNCI Study Forum & Collective dan Festival Sejarah (Sudirman Project). Saya melihat penawaran alternatif dari mereka untuk memposisikan arsip dalam proyek dekolonisasi. Pertama, KUNCI menawarkan pembacaan arsip ala filsafat pasca modern. Misal, Foucault maupun Derrida melihat makna arsip dari perspektif kuasa dan kontrol. Bagi Foucault, arsip merepresentasikan kuasa untuk menentukan tindakan dan identitas masyarakat, sementara Derrida memaknai arsip sebagai ide hukum yang menunjukkan kuasa otoritas.
KUNCI sempat mengikuti program residensi di Tropenmuseum di Belanda yang terkenal dengan koleksi arsip Hindia Belanda-nya. Dengan pendekatan pasca modern KUNCI berupaya membedah epistemologi alternatif dan merekayasa jejak-jejak kolonialisme melalui bahasa arsip dan politik ingatan. Dengan demikian arsip-arsip yang di-dekonstruksi oleh KUNCI setidaknya dapat mengusik para pengunjung setelah berkunjung ke Tropenmuseum. Hegemoni Belanda terhadap arsip-arsip tersebut diusik melalui narasi baru yang ditawarkan oleh KUNCI.
Salah satu program KUNCI pada waktu itu adalah membuat simposium sebagai acara penutup proyek residensi mereka di Tropenmuseum. Simposium yang diberi tajuk “Tropical Dissonance: Decolonizing knowledge through ethnographic archives” mempertemukan para cendekiawan, kurator, dan seniman dari berbagai praktik untuk mengeksplorasi titik temu antara penelitian dekolonialisasi, praktik artistik, dan produksi pengetahuan alternatif. Berfokus pada penggunaan benda-benda etnografis, atau arsip kolonial yang lebih luas dalam formasi pengetahuan dinastik dan pasca dinasistik di Indonesia, KUNCI ingin menjelajahi berbagai warisan yang kerap kali tersembunyi dari masa lalu kolonial ini di masa kini dan dampaknya pada cara memahami dunia saat ini. Para kontributor simposium ini membahas berbagai metodologi mempelajari arsip dan epistemologi kolonial, melalui berbagai pendekatan dan pengalaman sensoris.
Masih senada dengan apa yang dilakukan oleh KUNCI, masyarakat Grogol, Parangtritis mencoba memahami ulang jejak Jendral Sudirman, mengingat desa mereka pernah menjadi tempat singgah Sudirman ketika masa gerilya. Semua itu dibungkus dalam sebuah festival yang diberi tajuk “Festival Sejarah: Jejak Sudirman yang Tertinggal di Grogol”. Festival ini mengajak kita untuk napak tilas ke lokasi-lokasi yang pernah disinggahi oleh Jendral Sudirman dan mencicipi menu-menu makan kesukaannya. Hal ini menjadi sebuah alternatif bagi kita untuk mengingat bagaimana hegemoni narasi sejarah selalu berbau militeristik/ heroisme, mengeksklusi posisi warga.
Apa yang dilakukan KUNCI dan warga Grogol dapat menjadi alternatif di tengah agenda dekolonisasi yang digandrungi oleh negara-negara eks-koloni. Kerja-kerja yang “membumi” seperti ini bisa menjadi tamparan keras bagi intelektual-intelektual kelas menengah yang sering memilih untuk berjuang di jalan sunyi mereka. Para intelektual ini acap kali tanpa sadar melupakan aspek terpenting dalam agenda dekolonisasi, yaitu masyarakat negara-negara eks-koloni itu sendiri. Bahkan, tidak jarang masyarakat mendapatkan efek samping dari gejolak yang ditimbulkan para intelektual tersebut. Masih ingat dengan konflik Sejarah Nasional Indonesia? Apa yang dilakukan KUNCI dan warga Grogol menjadi pembeda. KUNCI berusaha mengubah fungsi Tropenmuseum untuk agenda dekolonisasi; melibatkan pengunjung museum dengan cara mengusik mereka melalui pembacaan arsip-arsip kolonial secara dekonstruktif. Lalu warga Grogol yang mencoba merajut sejarah gerilya Jenderal Sudirman yang ada di desa mereka.
Maka dari itu kita harus menengok kembali bagaimana kerja-kerja pengarsipan selama ini dilakukan. Ditambah melalui pengesahan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, pemerintah mulai melirik untuk memetakan kekayaan pengetahuan tradisional yang dimiliki Indonesia selama ini. Indonesia sebagai negara yang memiliki sejarah panjang perdagangan yang mengandaikan pertukaran informasi khususnya mengenai manfaat dari rempah-rempah yang dihasilkan. Lihat perdagangan kapur barus yang dihasilkan dari wilayah Sumatra ke Mesir sekitar 2500 tahun lalu yang dimanfaatkan sebagai pengawet mayat di Mesir kuno. Namun, mulai sekitar abad ke-16 ada gelombang “arus balik’ kompendium pengetahuan yang dulu mengalir dari Indonesia ke Utara sekarang mengalir dari Utara dengan modifikasi dan kembangan ke dalam bentuk-bentuk yang lebih ilmiah dan baru, yang membuat kita tidak mengenalnya lagi. Hal ini yang kurang lebih membuat anggapan ketika ingin belajar mengenai kebudayaan Indonesia maka datanglah ke Belanda.
Indonesia dengan kekayaan kompendium seperti itu sebenarnya juga sudah menciptakan beberapa kota besar seperti Aceh dan Makasar, tetapi dengan kontribusi yang minim dan lebih sering menerima gelombang pengetahuan dari Barat. Mengingat untuk menciptakan sebuah kompendium peta pengetahuan tradisional yang emansipatoris dibutuhkan kerjasama antar unsur masyarakat dan para arsiparis pun harus mencoba untuk keluar dari jalan sunyi mereka dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam kerja-kerja pengarsipan. Kompendium pengetahuan tradisional seperti bintang-bintang bertebaran membentuk kanopi di tengah semesta dan tugas arsiparis adalah menyambungkan bintang-bintang tersebut menjadi kanopi yang terintegrasi satu sama lain.
Dengan demikian apa yang akan terjadi dalam kerja-kerja pengarsipan memiliki hubungan aksidental dan kausal dengan koordinat tindakan terkecil yang dilakukan manusia detik ini. Jika boleh saya mengambil kesimpulan, kerja pengarsipan yang membumi adalah mencatat sejarah sebagai praksis dari titik terkecil, hal sepele. Membuka horizon peristiwa lewat momen dari celah kecil, subjek kecil yang sering ‘dinistakan’. Menyingkap kabut-kabut ilusif tentang kekinian yang stabil, tenang, damai, dan mooi yang dicipta oleh status quo keilmuan maupun politik, untuk kemudian sampai pada cerita tentang manusia yang disebut Ong Hok Ham ‘Take a significant individual who is under stress. Follow what happens to that person. That is history”.
Terima kasih untuk semua yang terlibat dalam proses berkembang saya untuk mengetahui kerja-kerja pengarsipan yang belum pernah saya jamah. Teman-teman magang Muntimun, Fika, Om Jati, Dek Nada, Grady Bin Agus dengan roti bule-nya, dan Firda. Juga teman-teman IVAA Mas San dan Mas Ed atas tempe dan sambal terinya, Mas Yoga, Mas Wis atas dunia ikannya, Kak Ros bersama kremes kiloannya, Mbak Sukma, Papa Dwe dengan tebak-tebakan lucunya dan Mbak Lisis dengan anjingnya yang saya lupa namanya. Juga tak lupa untuk pengunjung di IVAA yang pernah berpapasan, diam, tersenyum, menyapa, marah, bahagia, bersedih dan lupa.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Magang dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi November-Desember 2019.