Oleh Krisnawan Wisnu Adi
Berikut adalah video dokumentasi kegiatan bersama warga Grogol IX, Parangtritis. Diawali dengan acara Siklus 2.0: Bunyi-Bunyi Masa Lalu (25 Oktober 2019) sebagai pengantar, kemudian dilanjutkan Festival Sejarah: Jejak Sudirman yang Tertinggal di Grogol (18 November 2019). Dua video dokumentasi tersebut diproduksi oleh teman-teman Kartitedjo: social enterprise yang bergerak dalam bidang audio visual, khususnya yang berkaitan dengan isu sosial dan kebudayaan lokal.
Pada dua acara di atas, juga terdapat bincang pengalaman warga mengenai singgungan mereka soal kisah-kisah tentang Bung Karno, Sudirman, serta aktivitas masyarakat setempat yang berkaitan makanan lokal seperti rempeyek hingga sayur lodeh, dan kandang kelompok. Bincang tersebut dikemas dengan format talkshow yang rekaman suaranya dapat diakses pada tautan.
Selain itu, untuk memperdalam refleksi atas kegiatan pengarsipan bersama warga Grogol IX ini, Eko Setyo Raharjo (perwakilan warga Grogol IX yang terlibat penuh sebagai direktur Festival Sejarah) hadir dan bercerita tentang proses pengarsipan warga tersebut. Presentasi ini digelar bersamaan dengan presentasi dari teman-teman KUNCI Study Forum & Collective (Fiki Daulay dan Nuraini Juliastuti) pada Diskusi Publik Hari 1 Pusparagam Pengarsipan di Rumah IVAA pada 19 November 2019 dengan tema Memory and Counter Memory.
Moderator:
Mengingat kita pada saat bersamaan melupakan. Karena kita selalu berkomunikasi menggunakan bahasa, dan bahasa selalu reduktif. Kita diajak untuk meyakini bahwa setiap aktivitas kita atau keberadaan kita ambivalen, dan situasi kita menyimpan itu paradox, inilah yang aku tangkap dari tema diskusi ini.
Pengarsipan yang membumi, secara umum yang saya tangkap, kerja pengarsipan yang mempertahankan pengetahuan, banyak dilakukan orang/ lembaga berotoritas tertentu yang nggak jarang berjarak dengan realitas sesungguhnya yang ingin diabadikan. Membuktikan memory and counter memory berkelindan satu sama lain.
Presentasi KUNCI – Heterotropics
Fiki Daulay:
Mei–Juni 2017, KUNCI diundang untuk terlibat dalam proyek Heterotropics melihat koleksi museum Tropenmuseum. Mulai dengan mitos akademisi dan peneliti yaitu akan sangat mudah mendapatkan arsip ketika berada di Belanda. Pada kenyataannya mitos itu sudah nggak berlaku. Kedua, museum lamban melihat realitas, agak sulit berpacu dengan realitas yang ada. Ada satu object koleksi berusia 350 tahun yang kita jadikan acuan.
Bagaimana memproblematisir pengalaman kita di sana dengan situasi hari ini? Bagaimana memahami pengalaman orang di luar museum?
Kita, alih-alih melihat museum sebagai pusat pengetahuan, kita melakukan penelitian etnografis. Mewawancarai orang yang melakukan praktik pengarsipan, namun bukan praktisi. Kita wawancarai, arsitek, seniman, sejarawan, eksil, dll. Kita mewawancara mereka, mempertanyakan praktik pengarsipan mereka dan bagaimana pengalaman ketika mengunjungi Tropenmuseum.
Pak Sarmadi, eksil yang menetap di Belanda, mengumpulkan dan mencari tahu apa yang terjadi di Indonesia sampai sekarang. Wawancara ini kami gunakan mencari tahu, adakah praktik pengarsipan lain yang dilakukan bersamaan dengan mencari tahu pengalaman mereka dengan Tropenmuseum.
Dari beberapa koleksi berumur 350 tahun, kami menemukan manekin Suwarsih Joyo Puspito, sastrawan yang ternyata di Indonesia tidak begitu populer. Kami ingin menghidupkan kembali manekin ini dan memasukan karakter yang ada di manekin ini. Kemudian manekin ini yang mewakili rangkaian proses kerja kami dalam proyek ini. Kami merekonstruksi kembali karakter Suwarsih dan menghidupkan narasi fiktif yang kami sandingkan dengan peta, yang tentu saja peta merupakan hal yang penting di era kolonial. Suara Suwarsih menjadi audio guide dalam pameran ini.
Bagaimana membagi metode, apa yang kita lakukan di sana dengan masyarakat, yaitu dengan podcast, simposium dan diskusi publik.
Nuraini Juliastuti (Nuning):
Konteks. Kita melakukan proyek ini di Belanda, dimana Belanda tidak hanya menjajah Indonesia, tapi juga negara lain.
Kita melakukan ini di Tropenmuseum, yang didirikan pertama kali sebagai colonial institution yang menyimpan semua temuan-temuan etnografis yang dijajah oleh Belanda. Yang kita hadapi di sana adalah colongan.
Persiapan yang kita lakukan: spekulasi teori, kita menyiapkan landasan teori, kita membuat seri membaca bersama teman-teman KUNCI yang lain. Membaca buku Ann Laura Stoler (Along Archival Grain), Foucault (Archeology of Knowledge), Derrida. Ini landasan teori yang kami pertimbangkan sebelum kami berangkat ke Belanda. Poin yang kami dapatkan, pentingnya memperhatikan arsip bukan semata-semata sebagai sumber, karena itu adalah mindset yang kita pakai. Kami berusaha menggeser paradigma itu dan melihat arsip sebagai subyek. Kami menelusuri bagaimana arsip digunakan, kami melihat arsip sebagai alat surveillance (pengawasan) untuk mengendalikan kenormalan. Satu poin lain, arsip bukan dilihat sebagai kumpulan artefak atau materi yang dikumpulkan oleh orang, tapi arsip yang punya agenda, yang dikumpulkan orang-orang yang tentu saja punya agenda.
Kami sangat tertarik dengan gagasan Ann Laura Stoler. Kami tidak tertarik untuk melakukan counter, tidak tertarik melihat Belanda sebagai bekas penjajah, kami lebih tertarik untuk melihat apa ada sisa-sisa yang ditinggalkan oleh Belanda.
Kami juga tertarik dengan gagasan, bukan dengan gagasan materiality arsip, tapi lebih melihat wacana, arsip dan bagaimana dia menentukan masa depan. Saya melihat ada kebebasan untuk mengkonseptualisasi masa depan lewat pengumpulan arsip, itu yang ingin kita capai dalam proyek kita.
Itu hal yang tentang teori. Begitu kami di sana, saya melihat Tropen sebagai museum, bukan hanya fisik tapi juga birokrasi, betapa sulitnya kita mengakses apa yang ada di sana, yang bahkan adalah berasal dari Indonesia. Itu yang jadi refleksi kita. Kita lebih tertarik untuk melihat arsip bukan sebagai legacy atau warisan, kami akhirnya lebih tertarik untuk membongkar, artist and researcher technology.
Bagaimana kita mencoba memproduksi gangguan kerapian dan cara artefak ditata di dalam museum itu. Dengan mewawancarai orang-orang dalam berbagai topik, dan siaran radio, podcast di museum. Itu cara kita melakukan intervensi.
Gagasan audio guide itu, kita sampai di ujung residensi kami berpikir untuk melihat museum lebih dari sebuah institusi tapi bisa bermain-main dengan koleksi yang ada di Tropen.
Kita bertanya, bagaimana colonial archive ini engage dengan perasaan kita, dengan subyek kolonial dulu, dan bagaimana melihat arsip itu sebagai tempat kembali. Bagaimana kita pengguna memandang arsip kolonial bukan hanya sebagai pengingat, tapi bisa mempertanyakan diri sendiri.
Momentum untuk mempertanyakan Indonesia, bagaimana kita melihat replika ini. Kita melihat Papua dalam kacamata kolonial. Makanya kita pakai Suwarsih ini untuk membaca ulang arsip kolonial.
Moderator:
Menarik bagaimana kita dikonstruksi untuk berada dalam perspektif tertentu ketika kita mengunjungi suatu museum.
Bagaimana rasanya mengarsipkan diri sendiri?
Eko:
Saya akan bercerita mengenai proses bagaimana cara kita mengarsipkan:
Moderator:
Hasil dari kerja tersebut, hal apa yang berkembang dari masyarakat?
Eko:
Sebelumnya, masyarakat di area tersebut belum mengetahui adanya situs bersejarah.
Moderator:
Mungkin selanjutnya kita bisa berdiskusi ringan terkait kedua pengalaman kerja pengarsipan.
TANYA:
Mas Fiki, kenapa sosok perempuan dinarasikan sebagai sosok Suwarsih? Sepengetahuan saya Suwarsih banyak membahas karya di bidang feminisme pada saat itu. Kenapa kok Suwarsih?
JAWAB:
TANYA:
Jika untuk Grogol, pemilihan atau klasifikasi yang layak tampil atau tidak itu dasarnya apa ya? Kenapa kok memilih hal itu?
JAWAB:
TANYA:
Yang saya pelajari dari dua presentasi ini, satunya arsip sebagai subjek, yang satu arsip sebagai bahasa. Pertanyaan tadi juga oke, jika di Purwokerto mungkin narasi tentang Sudirman masih sangat kental ya. Ada satu hal yang hilang jika berbicara tentang arsip, jika kita ingin mendekoloni sistem arsip, kita harus mempelajari relasi kuasa. Dalam konteks itu kan audiens penting. Bisa tolong dijelaskan nanti Mas Eko dan Fiki, audiensnya siapa saja?
JAWAB:
Fiki:
Kenapa kita menggunakan suara sebagai medium, gagasan utamanya adalah untuk bisa melampaui ruang dan waktu. Suara itu sendiri punya sebuah kekuatan untuk mengetahui sebuah jarak tertentu. Jika pertanyaannya adalah audiensnya, agak sulit juga didefinisikan.
Nuning
Eko
Moderator
Saya menangkap dari kedua presentasi tadi yaitu: sejarah akan menemukan audiensnya sendiri.
TANYA:
Saya tertarik terkait arsip yang dijelaskan, apakah kemudian arsip itu bersifat politis? Saya penasaran teman-teman KUNCI ini seperti apa menggunakan arsip ini dan bagaimana bentuk interpretasi akan arsip tersebut?
JAWAB:
Moderator:
Yang harus ditangkap adalah teman-teman KUNCI berusaha untuk mengintervensi arsip-arsip di Tropenmuseum ya. Melawan dominasi arsip lain.
TANYA:
Aku penasaran gimana caranya berkompromi untuk melakukan apropriasi dengan Tropenmuseum?
JAWAB:
Lisis:
Sejujurnya, keberadaan patung, dan nama-nama Jenderal Sudirman di kota-kota terlihat memuakkan. Ada nggak sih narasi-narasi di luar itu, kisah-kisah di luar itu yang muncul? Ini berangkat dari asumsi-asumsi Pak Dirman yang muncul selalu berkaitan dengan ABRI, polisi, dll. Pastinya ada alasan-alasan lain. Muncullah titik-titik yang berupa kantung pemikiran yang mengimajinasikan Indonesia ke depan. Menariknya, IVAA harus belajar pengarsipan dari warga. Karena spiritnya berbeda.
Moderator:
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi November-Desember 2019.