oleh Hardiwan Prayoga
Yogya Post 16 Juni 1991 memuat liputan tentang Wiku Pulangsih. Wiku, disebut sebagai bocah ajaib karena di usia 15 bulan, dinilai sudah menciptakan lukisan ekspresionisme. Oleh orangtuanya, Sri Harjanto Sahid dan Wara Anindyah, lukisan-lukisan Wiku diberi judul Dunia Wiku I, II, III, dan seterusnya. Di balik lukisan diberi catatan tanggal melukis, jam, lokasi, dan siapa saja yang menyaksikan. Orang tua Wiku mengaku, sangat menjaga kemurnian lukisannya; jangan sampai ada goresan orang lain dalam lukisan Wiku. Wiku pertama kali menggelar pameran tunggal di Benteng Vredeburg pada usia 30 bulan. Ada upaya bahwa orang dewasa, khususnya orang tua Wiku, sedang menandai bakat yang sepertinya dimiliki oleh sang anak.
Beberapa media, salah satunya Suara Merdeka edisi 25 Maret 1991, menyebut karya-karya Wiku sebagai titisan Affandi. Di lain hal, Wiku adalah bayi yang lahir secara prematur. Belum bisa berjalan di usia umumnya balita bisa berjalan, namun Wiku sudah gemar melukis. Maka aktivitas Wiku melukis juga dilihat oleh orang tuanya sebagai proses memahami kejiwaan anaknya sejak dini. Juga diungkapkan bahwa lukisan anak bergaya ekspresionis dinilai lebih jujur dibandingkan seniman senior yang melukis ekspresionis untuk menutupi kelemahan melukis natural dan realis.
Pada satu kesempatan Sardono W Kusumo mengungkapkan kekaguman pada Wiku sekaligus mewanti-wanti, bahwa kelanjutan proses kreatif Wiku harus dijaga bersama. Baginya, Wiku adalah satu fenomena unik; kalau ternyata tidak menjadi seniman hebat, maka bisa dipastikan bahwa lingkungannyalah yang harus disalahkan karena bakatnya tidak terperikan. Pernyataan Sardono yang dimuat dalam Republika, 4 Februari 1999 ini memang terdengar kritis. Tetapi tetap saja intinya adalah membicarakan perihal ekosistem dunia seni, bukan anak-anaknya.
Serupa dengan Sardono, Umar Kayam juga pernah berujar bahwa Wiku berperan penting dalam menyangga eksistensi Yogyakarta sebagai kota budaya. Fenomena pelukis anak seperti Wiku ternyata bukanlah yang pertama. Sebelumnya ada nama Natalini Widhiasi tahun 1970-an, dan Andre Suryawan tahun 1980-an. Namun ketika liputan dari Bali Post 18 Juni 1995 terbit, dua nama itu sudah tidak terdengar lagi kiprahnya di bidang kesenian. Dengan kata lain selalu ada harapan meski sebelumnya pernah punya ekspektasi yang tidak terpenuhi.
Sebelumnya, ada juga yang mempersoalkan hadirnya anak-anak dalam dunia seni lukis sejak dini. Hal ini diungkapkan dalam koran Bernas, 19 April 1993. Praktik demikian dalam dunia seni, sering dilihat sebagai sebuah eksploitasi yang dilakukan orang dewasa pada anak-anak karena membawa anak-anak pada arena kesenian yang didominasi orang dewasa. Sebutan anak ajaib atau anak jenius muncul karena mereka memang terfasilitasi secara layak. Seandainya lebih banyak anak-anak mendapat kesempatan fasilitas tersebut secara merata, maka label-label tersebut juga menjadi tidak terkesan rekayasa.
Banyak pihak lebih melihat praktik seni anak dalam kepentingan keseniannya. Dalam kasus Wiku adalah kepentingan seni lukisnya. Narasi yang mengedepankan kepentingan tumbuh kembang anak jarang diperhatikan. Memang pada akhirnya ada yang menyoroti, seperti Agus Dermawan T dalam Suara Pembaruan, 8 Januari 2001, soal pentingnya tidak melulu melihat kegemaran dan kepandaian anak-anak melukis sebagai gambaran titik tolak karir masa depannya. Di salah satu wawancara dalam rangka liputan pameran tunggalnya, Wiku berujar bahwa dewasa nanti tidak ingin menjadi pelukis. Wiku ingin jadi dokter dan arsitek yang pandai melukis.
Dari kliping-kliping koran ini sekilas terlihat bahwa keinginan orang dewasa agak berbeda dengan keinginan anak. Entah apakah pernah atau tidak membicarakan keinginan satu sama lain secara setara, itu mungkin persoalan lain yang harus kita periksa hari ini melalui berbagai cara. Pada intinya, kliping tidak hanya sebuah potongan berita tanpa konteks. Koran yang memuat berbagai macam berita, namun hanya satu-dua bagian yang kita simpan, tentu melalui seleksi mana yang ingin dilihat mana yang ingin dilupakan. Muhidin M Dahlan dalam tulisannya yang berjudul “Praktik Kliping dan Daya Budi Kultural” pada buku Arsipelago: Kerja Arsip & Pengarsipan Seni Budaya di Indonesia, menceritakan bagaimana kliping adalah sebuah laku kebudayaan dan kerja-kerja politik.
Muhidin pernah menerbitkan buku Lekra Tak Membakar Buku bersama Rhoma Dwi Aria Yulianti, yang sengaja ingin memberikan pukulan balik pada Prahara Budaya yang disusun oleh Taufiq Ismail. Prahara Budaya yang sumbernya berasal dari kliping, coba disandingkan dengan buku Lekra Tak Membakar Buku yang juga bersumber dari kliping. Lekra Tak Membakar Buku disusun dari kliping-kliping Harian Rakjat tahun 1950-1965. Dari sini, Muhidin dan Rhoma memperlihatkan bagaimana Lekra adalah organisasi solid yang mengurusi musik, film, seni pertunjukan, tari, penerbitan, dan pengelolaan akademik. Jauh lebih beragam dan progresif daripada seperti yang diungkapkan Taufiq Ismail dalam Prahara Budaya. Selain itu, Muhidin juga menyebut Pramoedya Ananta Toer dan HB Jassin sebagai tokoh yang gemar mengkliping, bukan semata hanya untuk kesenangan, tetapi terdapat kegigihan untuk mengolah data menjadi makna baru dan menjadi daya budi kultural. Ada pula Oei Hiem Hwie, pendiri Perpustakaan Medayu Agung yang mengumpulkan begitu banyak kliping hingga pernah mendapat penghargaan Museum Rekor Dunia – Indonesia sebagai ‘Kolektor Surat Kabar Terlengkap Sejak Awal Terbit’. Pada september 2019, tim IVAA sempat bertemu dan ngobrol-ngobrol di Medayu Agung bersama Pak Oie. Cerita singkatnya bisa disimak pada tautan ini.
Maka rasanya terlalu sempit jika kliping mengenai Wiku Pulangsih yang dikumpulkan selama 10 tahun, dari 1991 hingga 2001, hanya dilihat sebagai kumpulan portofolio. Kita bisa melihat lebih dalam bagaimana para pesohor memposisikan kiprah seorang anak yang gemar melukis. Lebih banyak komentar dan pembicaraan dalam kepentingan kelangsungan dunia kesenian, bukan soal bagaimana tumbuh kembang anak. Wacana perihal tersebut boleh jadi bukannya tidak ada, bisa saja memang luput untuk dikumpulkan. Tetapi setidaknya melalui kliping yang berasal dari media massa di atas, kita mendapat gambaran apa yang diperbincangkan para pesohor waktu itu. Dengan menandai apa yang dominan, kita dapat mencari celah untuk membongkar kebekuan.
IVAA sendiri membagi pengelolaan kliping dalam 2 jenis: pertama yang diurutkan berdasarkan tahun, dan kedua dipilah berdasarkan tema. Untuk kliping dengan urutan tahun, IVAA mengumpulkan kliping dari 1970-2007. Sebagai catatan, setelah 2007 IVAA melakukan kliping dengan proses digital, beberapa di antaranya sudah bisa diakses melalui archive.ivaa-online.org. Tentu tidak semua berita kami kumpulkan, hanya beberapa yang terkait persoalan seni dan budaya secara umum. Kemudian dari bendel tahun tersebut, kami gandakan untuk dikelompokkan ke dalam tema-tema seperti seni lukis, seni tradisi, seni tari, musik, film-tv-sinema, arsitektur, agraria, komik-kartun-animasi, patung-instalasi, desain dan seni grafis, komunikasi, hingga pornografi dan pornoaksi. Koleksi kliping IVAA dapat diakses dengan mengunjungi perpustakaan.