GERILYA URBAN: STUDIO PERANCANGAN ARSITEKTUR KONTEMPORER 2010
Redaktur dan Perancang Grafis : Ardi Yunanto dan Farid Rakun
Penulis : Iswanto Hartono, Mohammad Nanda Widyarta, Veronica Gandha, Ardi Yunanto, Farid Rakun
Foto Isi : Koleksi mahasiswa Studio Perancangan Arsitektur Kontemporer 2010
Foto Sampul : Kelompok 5 (Archangela E. Natalia, Livia Louis, Yoana Linda)
Tahun Terbit : 2010
Penerbit : Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara
Hidup di ruang publik kota Jakarta bagai berlaga di arena pertarungan. Penuh taktik, strategi, dan keberanian. Para mahasiswa jurusan Arsitektur Universitas Tarumanagara, yang mengikuti mata kuliah pilihan Studio Perancangan Arsitektur Kontemporer pada semester enam 2010 ini, menawarkan beragam taktik dan strategi untuk ‘memenangkan’ kembali ruang publik yang terus-menerus tergerus di ibukota ini dengan bergerilya. Mereka mengamati, meneliti, dan menanggapi berbagai permasalahan warga dan ruang publiknya, serta membuat arsitektur kembali mempermasalahkan tata bina ruang dan perilaku manusia yang sejatinya tidak hanya mengenai bangunan. Duabelas karya mereka menjadi karya arsitektur yang memiliki pengertian yang luas, meliputi desain rompi, tas alas belajar, naungan bermain, paviliun kampung, sampai sebuah situs interaktif tentang jalanan kota.
Kumpulan karya para mahasiswa ini disertai berbagai foto dan gambar rancangan dalam halaman berwarna, diulas secara kritis, dan dilengkapi dengan esai-esai reflektif dari para pengajar yang terlibat. Buku ini merekam gerilya mereka, sekaligus menjadi catatan dari pencarian jawaban arsitektur dalam menanggapi permasalahan sehari-hari yang terus hidup berjaga secara nyata di Jakarta.
THINKING ART: A PHILOSOPHICAL APPROACH TO ART EDUCATION
Penulis : Charles M. Dorn
Tahun Terbit : 1994
Penerbit : The National Art Education Association
Buku ini mengkaji cara orang berpikir tentang objek dan peristiwa di dunia. Pemikiran-pemikiran tersebut menentukan asumsi apriori yang menunjukkan apa yang akan dianggap indah, berharga, dan baik. Keputusan yang dibuat selanjutnya menentukan tindakan apa yang akan diambil. Pergeseran cara berpikir tentu berubah terus-menerus secara historis dan menjadi pendorong ciri praktik pendidikan seni. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan seni rupa harus sejalan dengan cara berpikir yang sedang hidup. Buku ini disusun ke dalam lima bab. Bab 1 berisi tinjauan singkat tentang pemikiran filosofis abad ke-18 dan ke-19 serta konsep-konsep terkait hubungan antara objek dan peristiwa. Lalu Bab 2 lebih mengeksplorasi konsep-konsep tersebut sebagaimana ditafsir oleh para ahli estetika, sejarawan seni, kritikus dan seniman abad ke-20, khususnya terkait dengan pemikiran dan produksi seni. Bab 3 mengkaji paradigma untuk konsepsi artistik. Kemudian Bab 4 mengidentifikasi bagaimana paradigma konsepsi artistik ini berfungsi dalam kurikulum seni di sekolah. Terakhir, Bab 5, lebih ke soal bagaimana paradigma berhubungan dengan praktik kurikulum.
In Search of Lost Space
Penulis : Arham Rahman, Febrian Adinata Hasibuan, Habiburrahman, Yohanes Marino
Penerjemah : Maria Puspitasari Munthe, Khoiril Maqin
Desain Sampul : Yahya Dwi Kurniawan
Foto Dokumentasi : Suluh Senja Rohmana
Tata Letak : Rudi Hermawan
Penerbit : Penerbit Antinomi
Tahun Terbit : 2021
Buku ini merupakan catatan tekstual dan visual dari sebuah proyek bertajuk “The Museum of Lost Space” yang diinisiasi oleh para peneliti dan seniman muda di Yogyakarta, bekerja sama dengan Galeri Lorong. Sebuah proyek tentang fenomena klitih yang utamanya marak di Yogyakarta. Dalam Pengantar, Habiburrachman menulis bahwa klitih menjadi peristiwa kekerasan yang menggores sejarah Yogyakarta. Sejauh ini klitih hanya dipahami sebagai kenakalan remaja. Padahal sejatinya ia kompleks; melibatkan sistem pendidikan sekolah yang kian terkapitalisasi, penempatan ruang sosial dan kultur premanisme yang menyejarah di Yogyakarta. Oleh karena itu proyek ini dimaksudkan untuk menginvestigasi klitih dalam trajektori kekerasan di Kota Yogyakarta. Ada tiga kegiatan utama. Pertama, riset yang dikepalai Yohanes Marino. Kemudian pameran yang dikerjakan utamanya oleh Yahya Dwi Kurniawan bersama kurator Arham Rahman. Terakhir, pertunjukan teater yang digawangi oleh Febrian Adinata Hasibuan dan Habiburrachman.
Sebagai sebuah catatan kritis, selain beberapa dokumentasi foto dan naskah pertunjukan, terdapat tiga tulisan yang disuguhkan dalam buku ini: “Yang Hilang, Yang Datang Kemudian” (Arham Rahman), “Klitih: Ruang Sosial & Sadisme” (Yohanes Marino), “Klitih: Usaha Menjadi Jogja Versi Geng Pelajar” (Febrian Adinata Hasibuan), dan “Pengalaman Merekam Sepenggal Riwayat Hidup Pelaku Klitih” (Habiburrachman). Buku ini bisa menjadi bagian dari cara pandang atas klitih yang berbeda; bukan hanya sebatas kenakalan remaja karena faktor ekonomi dan pergaulan.
PENDIDIKAN DEMOKRASI UNTUK SEMUA
Penulis : Ben Kristian Citto Laksana
Penyunting : Daniel Sihombing, Fathimah Fildzah Izzati
Desain sampul & tata letak : Sukutangan
Penerbit : Pribadi
Tahun Terbit : 2021
Sebuah zine yang memuat kumpulan tulisan Ben K. C. Laksana yang sebelumnya sudah dimuat oleh IndoPROGRESS pada 2020. Ben K. C. Laksana adalah pendidik dan peneliti lepas yang fokus pada wilayah sosiologi, pendidikan, dan anak muda. Selain di wilayah pendidikan formal, ia juga terlibat di sebuah kolektif fotografi Arkademy sebagai pengajar.
Melalui zine ini, selain karena niat agar pembaca lebih mudah memahami pikiran Ben Laksana dalam bentuk tulisan terhimpun, ia juga memberi beberapa revisi dan penambahan atas beberapa tulisan yang dimuat sebelumnya. Misal, perubahan untuk tulisan “Kerangka untuk Pendidikan Emansipatoris” dan penambahan “Pedoman untuk Komunitas”.
Di dalam Kata Pengantar, Ben juga mengutarakan bahwa proses pengembangan pemikirannya terinspirasi dari seorang sosiolog marxist Erik Olin Wright. Bagi Ben, Wright menulis dengan sangat kolektif; selalu mengupayakan adanya umpan balik dari publik atas beragam tulisannya. Oleh karena itu, Ben cukup menggarisbawahi umpan balik dari Chris Wibisana atas tulisannya di IndoPROGRESS dengan tajuk “Catatan Empiris untuk Esai Ben K. C. Laksana”.
Secara umum, tujuan dari buku ini adalah untuk mengajak publik memikirkan kembali strategi yang tepat dalam hal isu pendidikan dan aspek sosio-politisnya. Bahwa penting untuk melihat bagaimana peran pendidikan dalam membangun dunia baru yang lebih dekat dengan publik abad 21 ini. Tak hanya memandang peran pendidikan dan bagaimana bentuknya untuk bertarung dengan negara yang menindas tanpa manifestasi yang aktual sesuai perubahan sekitar.
Entablado: theaters and performances in the Philippines
Penulis : Sir Anril Pineda Tiatco
Desain Buku : Lara Gotis
Penerbit : The University of the Philippines Press
Tahun Terbit : 2015
Kumpulan esai di dalam buku ini mencoba melanjutkan pembicaraan seputar studi teater dan pertunjukan dalam konteks keilmuan di Filipina. Kiasan ‘entablado’ dipakai sebagai idiom utama. Pertama, entablado mengacu pada makna literalnya, sebagai ruang di mana sebuah pertunjukan berlangsung. Ruang pertunjukan, bagaimanapun, tidak hanya terbatas di dalam dinding auditorium. Ia bisa saja di jalanan, serambi dari landmark budaya yang besar, sungai, atau auditorium sekolah. Ruang-ruang itu juga belum tentu menjadi lokasi khusus yang diperuntukkan sebagai tempat pertunjukan. Bisa saja ruang di mana orang banyak berkumpul, untuk hiburan, protes publik, atau untuk percakapan akademis.
Kedua, entablado digunakan sebagai tanda untuk ambivalensi dan kemungkinan. Ambivalensi ada dalam determinisme konsep, seperti entablado yang memiliki asal-usul Hispanik, yang tampaknya menunjukkan suatu kebutuhan di disiplin akademis Filipina di mana titik awalnya adalah ruang entablado (teater dan pertunjukan).
Visual Representations of the Cold War and Postcolonial Struggles: Art in East and Southeast Asia
Editor : Midori Yamamura, Yu-Chieh Li
Penerbit : Routledge
Tahun Terbit : 2021
Beragam esai dan karya seni yang dikumpulkan dalam buku ini mengkaji manifestasi visual perjuangan pascakolonial dalam seni rupa di Asia Timur dan Tenggara, ketika dunia beralih dari perpecahan ideologis komunis-kapitalis ke dalam struktur kekuatan global baru di bawah neoliberalisme yang mulai terbentuk selama Perang Dingin.
Para kontributor menyelidiki seni rupa yang muncul di Australia, Cina, Kamboja, Indonesia, Korea, Okinawa, dan Filipina. Dengan pandangan kritis dan pendekatan baru, mereka menelisik bagaimana seni rupa dari negara-negara pascakolonial bergerak di luar dikotomi komunis-kapitalis untuk mengeksplorasi isu identitas, lingkungan, komersialisasi seni rupa yang pesat, dan soal independensi. Fokus ini menawarkan jendela ke beberapa aspek Perang Dingin yang kurang dikenal, termasuk tanggapan humanistik terhadap eksploitasi neo-imperial atas manusia dan sumber daya ketika kapitalisme berubah menjadi bentuknya yang paling agresif.