oleh Nurfadillah
Wabah Covid-19 telah mengacak-mengacak seluruh tatanan kehidupan hampir di seluruh dunia termasuk di bumi pertiwi Indonesia. Dampak dari wabah tersebut mempengaruhi seluruh sistem dan siklus kehidupan, dari kesehatan, ekonomi, hingga praktik-praktik kebudayaan. Semua sistem sosial dan tatanan masyarakat mengalami disorganisasi sosial, dan sebagian besar manusia ternyata tidak siap.
Kehidupan yang sebelumnya normal kini menjadi “abnormal”, dimana kegiatan berkumpul bersama seperti pengajian, arisan, seminar, pernikahan, hajatan, hingga ritus sosial kini dibatasi bahkan ditiadakan. Padahal, masyarakat kita dicirikan sebagai masyarakat komunal yang doyan ngumpul-ngumpul dan bergerombol dalam sebuah unit sosial yang saling berjejaring. Namun, wabah Covid-19 memaksa kita untuk mengubah habitus macam itu.
Kini, kebijakan new normal membuat masyarakat kembali lagi beradaptasi, menjalankan aktivitas seperti semula, namun dengan menerapkan protokol kesehatan. Meskipun jumlah pasien Covid-19 di Indonesia masih fluktuatif, berbagai acara yang sempat tertunda mulai digelar.
Acara yang paling cepat muncul di permukaan adalah ritus sosial seperti pernikahan dan selametan. Misalnya, masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan sudah kembali ramai menggelar aktivitas sosial budaya. Salah satunya ritus sosial selametan Menre Bola Baru atau “naik rumah baru”. Penulis akan menggambarkan bagaimana dinamika tradisi yang mengumpulkan banyak orang sebagai bentuk solidaritas sosial macam ini berhadapan dengan pandemi, melalui mini riset yang dilakukan oleh penulis.
Selayang Pandang Tradisi Menre Bola Baru
Secara etimologis Menre artinya naik. Kata naik yang digunakan merujuk pada rumah adat Bugis yang khas dengan rumah panggung yang terbuat dari kayu. Sedangkan Bola Baru adalah rumah baru. Jadi, secara umum Menre Bola adalah tradisi lokal masyarakat Bugis, ketika sebuah keluarga akan memasuki atau pindah ke rumah baru. Rumah kayu Bugis muncul dalam catatan di abad ke-17 hingga kini, dapat dikategorikan sebagai rumah model Asia Tenggara jenis Melayu yang dapat ditemukan di Aceh, Sumatera, dan Kalimantan (Pelras, 2005).
Rumah panggung kayu Bugis secara arsitektural juga memiliki makna filosofis di mana masyarakat Bugis memaknai makrokosmos atau alam semesta ini terdiri dari tiga bagian, yaitu dunia atas, tengah, dan bawah. Dunia atas disebut dengan Botting Langi. Langi atau langit merupakan atap kehidupan manusia. Kedua, dunia tengah atau Ale Kawa yang merupakan tempat manusia hidup. Ketiga, dunia bawah atau Buri Liung.
Pada Botting Langi terdapat Rakkeang (loteng) yang merupakan simbol dari dunia atas di mana Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha Kuasa) bersemayam. Ruang ini juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Kemudian Ale Bola direfleksikan sebagai manifestasi Ale Kawa, simbol dari dunia tengah dan menjadi tempat utama bagi penghuni rumah untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Kemudian bagian ketiga yaitu Awe Bola atau kolong rumah merupakan simbol dunia bawah dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat-alat pertanian, kendaraan, tempat untuk beternak, bermain dan aktivitas lainnya. Secara fungsional, rumah orang Bugis memiliki fungsi kenyamanan dan rasa aman bagi pemiliknya (Farid Makkulau, 2007).
Gambar 1. Rumah panggung Suku Bugis, Sulawesi Selatan.
Bagi masyarakat Bugis, Menre Bola merupakan simbol kehidupan. Simbol tersebut mencerminkan harapan, kejayaan, masa depan, semangat dan harmoni. Oleh sebab itu, Menre Bola memiliki rangkaian acara yang diawali dengan ritual yang tidak boleh diabaikan sekaligus sebagai wujud syukur atas anugerah rumah yang telah diperoleh. Sebagai suatu tradisi, ritual ini sarat dengan makna dan nilai-nilai kearifan lokal. Segala elemen dalam tradisi Menre Bola memiliki makna, mulai dari jenis-jenis hidangan atau makanan tradisional yang disajikan hingga penentuan hari dan waktu yang baik untuk menggelar perayaan.
Menre Bola Baru: Elemen dan Maknanya
Sebelum memasuki rumah baru, dalam keyakinan masyarakat Bugis ada waktu-waktu tertentu untuk melaksanakan setiap kegiatan yang bersifat sakral seperti pernikahan, selametan, hajatan dan sebagainya. Saransi (2003) menulis bahwa sebagian masyarakat Sulawesi Selatan percaya tentang hari-hari pantangan atau yang disebut nakasa. Hari-hari nakasa merupakan hari-hari yang dianggap terlarang untuk melakukan berbagai kegiatan yang dianggap penting dan bersejarah. Setiap orang akan menentukan terlebih dahulu hari-hari baik yang tepat agar jangan sampai jatuh pada hari nakasa. Nakasa terbagi dua, yaitu setiap tanggal satu Muharram dan dalam sepanjang tahun hari tanggal jatuhnya Muharram itu.
Sebagai contoh, jika tanggal satu Muharram (tahun Hijriah) jatuh pada hari Senin, maka sepanjang tahun itu hari Senin merupakan hari nakasa sampai akhir bulan Zulhijjah. Sebaliknya, pada tanggal sepuluh Muharram, orang Bugis percaya bahwa hari itu adalah hari baik yang disebut sebagai hari asyura. Hal tersebut menjadi prioritas utama dalam memulai setiap kegiatan penting. Waktu penyelenggara upacara ini disesuaikan dengan waktu yang baik menurut ketentuan adat. Pemilihan waktu yang baik sangat penting untuk memastikan hasil positif sebuah usaha serta menjadi perhatian utama untuk memulai sebuah perjalanan.
Selain itu ada juga beberapa bulan dalam hitungan Hijriah yang dianggap baik oleh masyarakat Bugis, di antaranya Bulan Safar, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Syaban, Ramadhan, Zulqaidah, dan Zulhijjah. Beberapa bulan tersebut dianggap baik untuk mendirikan rumah, selametan atau menyelenggarakan pernikahan, karena akan senantiasa memperoleh keuntungan dan kebahagiaan dan dijauhi dari marabahaya. Sedangkan bulan yang lain seperti Muharram, Rabiul Awal, Jumadil Akhir, Rajab, dan Syawal dianggap kurang baik, karena akan mendapatkan kesusahan, penderitaan, musibah, sakit-sakitan, dan bahaya lainnya.
Sementara itu, karena efek pandemi beberapa kegiatan sempat tertunda sehingga aktivitas sosial tidak terlaksana. Namun, situasi new normal sejak Juni seakan memberikan angin segar kepada masyarakat. Ada kelonggaran untuk mulai beraktivitas seperti biasa meski tetap wajib mengikuti protokol kesehatan. Angin segar yang bertepatan dengan bulan Zulhijjah yang jatuh pada Agustus, bulan yang dianggap baik oleh masyarakat Bugis dan di beberapa daerah lain. Hampir seluruh masyarakat di seluruh penjuru mata angin mulai ramai menggelar sejumlah ritus sosial terutama pernikahan dan naik rumah baru seperti yang ada di salah satu daerah Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten Barru.
Menurut Panrita Bola (orang yang ahli dalam melihat seluk-beluk rumah), selain pertimbangan waktu, perayaan tradisi menre bola juga harus memperhatikan elemen lain seperti hidangan. Biasanya semua perlengkapan berupa makanan akan diletakkan di Posi Bola (pusar rumah) yaitu tempat atau tumpuan pertama pada saat mendirikan Sao Raja atau rumah kayu. Hal ini hampir sama dengan peletakan batu pertama.
Adapun makanan hingga buah-buahan yang harus disiapkan ketika memasuki rumah baru adalah 7 rupa kue tradisional khas Bugis, seperti kue lapis, jompo-jompo, onde-onde (klepon), cangkuling, bedda, buah seppang, dan kue oto. Bahan dasar kue tersebut kebanyakan menggunakan tepung beras ketan dan gula merah yang disimbolkan sebagai penghalau bencana atau bala yang dapat menimpa penghuni rumah.
Ada juga makanan manis sebagai harapan kehidupan bahagia, seperti tebu, buah pandan, otti mattunrung (pisang bertandan) dan gula merah. Kemudian kaluku mattunrung (satu ikat buah kelapa) yang bejumlah ganjil (5, 7, atau 9). Angka ganjil adalah angka kehidupan, sedangkan angka genap adalah kematian. Simbol kelapa adalah sesuatu yang bermanfaat bagi semua orang karena keseluruhan dari pohon kelapa dapat berguna. Kemudian beras, air, nasi dalam panci dan satu buah telur di atasnya serta sayur nangka dimaknai sebagai sumber kehidupan dan keselamatan.
Gambar 2. Tujuh rupa kue tradisional khas Bugis (kiri), dan buah-buahan, air, beras, tebu, gula merah, hingga nasi sebagai perlengkapan ritual (kanan).
Upacara ini berfungsi sebagai permohonan doa restu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar rumah yang didirikan itu diberkahi dan dilindungi dari pengaruh-pengaruh roh jahat yang mungkin akan menganggu penghuninya. Upacara ini diadakan di tempat atau lokasi di mana rumah itu didirikan, sebagai bentuk penyampaian kepada roh-roh halus dan penjaga-penjaga tempat tersebut; bahwa orang yang pernah memohon ijin pada waktu yang lampau, sekarang sudah datang dan mendirikan rumahnya.
Menre Bola di Masa New Normal
Selain sebagai ritus tradisi, Menre Bola juga sebenarnya merupakan salah satu mekanisme solidaritas sosial-ekonomi masyarakat. Secara konkret hal ini nampak dari bagaimana masyarakat menyuguhkan hidangan-hidangan. Makanan yang disajikan dalam upacara ini sesuai dengan kemampuan ekonomi pemilik rumah. Bagi mereka yang kurang mampu secara finansial, biasanya menyajikan beras ketan dan barobbo. Sedangkan bagi mereka yang lebih berkecukupan biasanya menyajikan nasi ketan hitam, putih, kuning, beragam kue tradisional, dan bahkan menyembelih sapi atau kerbau. Semua proses menghidangkan makanan, baik itu dari penyembelihan hingga memasak, dilakukan secara gotong-royong. Hasilnya pun dimakan bersama pada saat hari upacara. Tetangga dan sanak keluarga diundang untuk menikmati sajian.
Selain itu masyarakat Bugis juga memiliki nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam hal siassijingeng (sistem kekerabatan orang Bugis). Seluruh kerabat yang berasal dari generasi yang sama, saudara laki-laki, saudara perempuan atau sepupu dimasukkan ke dalam kategori “sumpung lolo” atau ”silessureng” atau ”seajing” (saudara satu asal). Itulah mengapa jika melakukan kegiatan atau perayaan yang sakral maka seluruh keluarga dekat maupun keluarga jauh yang dianggap seajing akan diundang untuk berkumpul sebagai bagian dari assedi-seddingeng (sikap persatuan dalam masyarakat Bugis). Hal inilah yang kemudian sangat sulit untuk dibatasi di tengah pandemi, meski hanya temporer. Pembatasan pertemuan sebagai bagian dari dampak pandemi Covid-19 bertabrakan dengan kebiasaan masyarakat Bugis.
Menghentikan budaya komunal untuk sementara demi mencegah persebaran Covid-19 tentu saja bukan persoalan mudah bagi masyarakat kita. Tentu saja ada perasaan ganjil, kikuk, dan tidak lazim ketika mereka melakukan “ritual sosial” tidak sebagaimana biasanya. Pasti ada sesuatu yang hilang ketika masyarakat kita dipaksa merubah kebiasaan sosial tersebut, karena ada kontradiksi kognitif antara nalar kesehatan seperti menjaga jarak sosial (social distancing) dengan nalar komunal tersebut. Bukan hanya dalam hal merawat tradisi atau kearifan lokal, menghentikan sementara tradisi Menre Bola, di satu sisi sama saja menghentikan satu putaran roda sosial-ekonomi-budaya masyarakat. Sebuah dilema.
Referensi:
Nurfadillah adalah alumni program pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan aktif di komunitas SRILI (Srikandi Lintas Iman Yogyakarta).
Artikel ini merupakan rubrik Baca Arsip dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Juli-Agustus 2020.