oleh Hardiwan Prayogo
Awal April 2020, ketika Covid-19 di Indonesia mencapai angka 1000 kasus, berbagai lini merespon dengan berbagai cara. Berbagai webinar digelar untuk bersama-sama mendiskusikan bagaimana wabah ini berdampak bagi kesenian; bagaimana siasat-siasat perlu dilakukan dan pengetahuan apa yang mungkin bisa diekstraksi dari situasi ini. Salah satu webinar yang berjudul “Festival Warga di Masa Krisis” menunjukkan bagaimana para pelaku festival sedang mencari siasat bagaimana sebuah acara kesenian tetap digelar dengan pembatasan sosial. Di samping itu juga ada dorongan untuk memaknai ulang perayaan, dalam hal ini festival, dan relevansinya dengan situasi mutakhir.
Akhir Agustus 2020, kasus Covid-19 di Indonesia telah menyentuh angka 200.000. Belum terlihat tanda-tanda kurva akan melandai. Namun, dalam pandangan sekilas mata pun terlihat bahwa respon masyarakat sudah berbeda dari ketika kasus baru mencapai 1000. Bisa jadi memang bukan lagi pada kuantitas angka kasus yang membuat warga resah, tetapi tentang bagaimana nasib ketahanan dan cara bertahan hidup dalam situasi wabah ini.
Situasi krisis kali ini tampaknya membuat orang-orang cenderung melihat kembali nilai-nilai lokal dalam dirinya. Upaya tersebut terlihat dalam beberapa festival kesenian berskala cukup besar yang tetap digelar pada semester kedua 2020. Beberapa di antaranya seperti ArtJog 2020 Resilience, Sumonar 2020: Mantra Lumina, Makassar Biennale: Maritim: Sekapur Sirih, dan Biennale Jogja: Cur(e)ating the Earth, Shifting the Center: Tata Bumi Baru, Tata Seni Baru.
Jika ditarik dari premis bahwa situasi krisis membuat orang melihat kembali laku dan nilai-nilai lokal, krisis ekonomi dan politik tahun 1998, dan krisis karena gempa dan erupsi Merapi tahun 2006 menunjukan tren serupa.
Pertama adalah Ruwatan Bumi ‘98. Disebutkan dalam arsip tersebut, menurut kitab Sabdhatama, pada jaman krisis, tidak ada aktivitas kesenian yang lebih relevan selain ruwatan. Selama April 1998, para pekerja budaya, pelaku seni, cendekiawan, melakukan 170-an kegiatan, mulai dari pameran, pertunjukan, ceramah, dll. Kegiatan ini dilakukan di desa-desa di lereng Merapi, pulau Samalona di lepas pantai Makassar, hingga Berkeley, Amerika. Salah satu karya yang ditampilkan adalah karya dari Jemek Supardi, yang mengumumkan dan melakukan prosesi kematiannya sendiri di tengah Kota Yogyakarta. Kegiatan yang tersebar ini telah menunjukkan hubungan patron non-hirarkis, komunikasi luwes dan cepat, menandai lahirnya mass society.
Sementara itu, menurut David Riesman, mass society yang terbentuk karena teknologi adalah lonely crowd (kerumunan yang kesepian). Ini ditandai dengan karakteristik seperti mundurnya kehidupan keluarga, teralienasi karena pekerjaan, kemunduran komunitas lokal, memudarnya nilai-nilai etnik, agama, dll, dan merosotnya atensi pada kegiatan-kegiatan sukarela. Identitas baru dari orang-orang yang tercerabut dari akar ini kemudian diciptakan oleh teknologi media. Hal ini semakin didesak karena lahirnya situasi krisis.
Salah satu pernyataan dari Ruwatan Bumi adalah “modernisme dalam kesenian tidak memiliki konsep mengenai keselamatan”. Prosedur yang ditempuh adalah pemberontakan terhadap konvensi. Padahal konsep keselamatan dalam masyarakat merupakan totemisme, acuan terhadap kosmologi bersama yang ekologis; melakukan upacara keselamatan bersama, membebaskan diri dari bala bencana, dan membersihkan desa dari roh jahat. Dalam kacamata budaya, kegiatan ruwatan ini diklaim oleh penyelenggara sama pentingnya dengan aksi mahasiswa. Ruwatan 1998 ini menandai masa di mana simpul jaringan kebudayaan bisa dilakukan oleh setiap individu, dengan isu sentral kehidupan manusia Indonesia yang dibingkai dalam kerangka masyarakat kontemporer.
Delapan tahun kemudian, pada 2006, Yogyakarta diguncang gempa dan erupsi Merapi dalam waktu yang berdekatan. Komunitas Merapi menggelar pameran bertajuk Mengerti Merapi di Arta Pustaka, 6-12 Agustus 2006. Pameran yang menampilkan lukisan, patung, dan hasil pertanian organik warga Kecamatan Turi, Pakem, serta Cangkringan ini berangkat dari kegelisahan warga lereng Merapi yang resah karena gunung itu yang bagi masyarakat setempat adalah sumber kehidupan, dijadikan alat kepentingan politik dan proyek. Warga setempat hanya dijadikan objek dramatis. Kepekaan warga lokal terhadap Merapi dianggap irasional oleh teknologi modern dan pembuat kebijakan. Padahal ini justru menghilangkan ikatan antara Merapi dengan manusianya.
Lain lagi dengan Stefan Buana, yang coba merespon gempa Jogja 2006 dengan karya batik Parang Lindu. Batik deformatif dari motif batik Parang Rusak ini tak lagi menampilkan dimensi eksklusivitas pemakainya, namun telah menjelma menjadi motif kain yang menengarai kentalnya pola relasi sosial yang inklusif. Lindu atau gempa, bagi Stefan, memberi inspirasi yang kuat dalam menumbuhkan spirit kolektivitas dan inklusivitas tersebut. Karyanya ini ditampilkan pada pameran berjudul Homo Lindhuicus, di Taman Budaya Yogyakarta, 10-20 Agustus 2006.
Dari arsip-arsip di atas, ruwatan, kepekaan warga lokal terhadap Merapi, dan motif batik, adalah laku-laku lokalitas yang ditilik kembali di masa krisis. Maka kecenderungan tema pada pergelaran dan festival seni yang disebutkan pada awal tulisan bukanlah hal yang baru muncul pada krisis karena Covid-19 ini. Meski tentu kita sepakat bahwa krisis kali ini berbeda dari 1998 dan 2006. Tetapi bahwa godaan arus balik atau revivalisme ini kembali mencuat sebagai narasi utama. Jika 1998 sudah coba melakukannya, dan pola serupa terjadi kembali tahun 2006, pertanyaan lebih lanjut adalah nilai dan laku lokalitas apa yang tertinggal dan terasa hingga kini? Kemudian bagaimana dengan konteks 2020 ini? Guna merefleksikan pertanyaan-pertanyaan tersebut, konsep ko-imunisme cukup menarik untuk dielaborasi.
~~
Co-immunism (ko-imunisme), sebuah konsep dari Peter Sloterdijk tentang sistem kekebalan tubuh yang ditumbuhkan dan disadarkan secara kolektif. Ini berangkat dari tesis bahwa jaman teknologi algoritma membuat manusia semakin jauh dari perasaan yang sama secara kolektif. Sementara itu, wabah Covid-19 melampaui batasan-batasan spasial dan rasial. Maka kekebalan atas virus ini seharusnya tidak terbatas pada organisme individu, tetapi berbentuk mutualisme yang dicapai secara kolektif.
Fidelis Regi Waton, dalam tulisannya Resiliensi dan ‘Ko-Imun’ di Harian Kompas, 11 Agustus 2020, berujar bahwa krisis adalah awal masa depan dan peluang melahirkan pola hidup baru. Pola baru yang dilahirkan oleh krisis kali ini harus mengkonstruksi bangunan hidup yang lebih tangguh. Langkah nostalgia dinilai salah kaprah. Membayangkan dunia kembali seperti jaman pra-corona adalah kesia-siaan. Resiliensi dan ko-imunisme, digarisbawahi sebagai kata kunci untuk merancang kebiasaan baru yang lebih tangguh dari ancaman krisis.
Berbagai perayaan dan peristiwa seni yang tetap digelar pada semester kedua 2020 ini akan bisa dimaknai sebagai resiliensi, jika pada praktiknya tidak hanya menjadi P3K. Tetapi bahwa berbagai macam inovasi teknologi dan interaksinya menjadi pengetahuan yang bisa dilakukan, ketika segala macam pembatasan karena wabah ini sudah dilalui, seperti yang pernah dielaborasi pada Sorotan Arsip edisi Mei-Juni 2020, yang berjudul Apa yang Berlalu Jika Pandemi Sudah Pergi?.
Sedangkan ko-imunisme, bisa dilihat dari praktik-praktik ruwatan. Cukup memberi gambaran bagaimana masyarakat mencoba menuju kekebalan kolektif tersebut. Ruwatan, atau praktik semacamnya, selalu melibatkan masyarakat secara kolektif dan berbagai lintas latar belakang. Ruwatan Sengkolo di Klaten, Ruwatan Tolak Bala di Jepara, dan lain sebagainya menjadi contoh peristiwa mutakhir pada masa pandemi Covid-19.
~~
Sorotan Arsip edisi ini ingin melihat bagaimana revivalisme menjadi semacam kecenderungan untuk bertahan di masa krisis, bagaimanapun pola dan model krisisnya. Kehidupan modern sudah tidak perlu ditegaskan kerentanannya. Salah satu yang paling kentara adalah situasi bahwa kehidupan masyarakat modern bertumpu pada keuntungan finansial (profit) untuk dapat bertahan hidup. Berbagai pembatasan sosial karena Covid-19 menjadi badai yang mengguncang tatanan itu. Di tengah badai, manusia akan mencari pegangan. Kecenderungan untuk menilik kembali laku-laku dan nilai lokalitas menjadi salah satu wujudnya.
Wajar jika berbagai konsep, inovasi, hingga jargon-jargon dan berbagai klaim yang terlihat baru banyak muncul pada situasi extraordinary. Spirit revivalis, jika dilihat dari pola yang ada sejak krisis 1998 hingga 2020, muncul sebagai upaya untuk membuat pergelaran kesenian tetap relevan dengan konteks sekarang. Tetapi seperti yang kita tahu, bahwa relevansi memiliki relativitas sesuai dengan konteks jamannya.
Festival dan berbagai pergelaran seni 3 bulan terakhir ini dengan cukup jelas mengucapkan bagaimana kita harus bertahan di tengah krisis dengan nilai-nilai dan laku lokalitas. Dan yang tidak terucap adalah sebaliknya, bagaimana nilai dan laku ini masih akan bertahan di masyarakat pasca krisis berlalu. Dari krisis-krisis yang sebelumnya pernah terjadi, nilai dan laku ini memang masih bertahan, tetapi cuma sebagai tema sebuah perayaan acara kesenian.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Arsip dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Juli-Agustus 2020.