Rumah IVAA
Rumah IVAA
oleh Edy Suharto
Kurang lebih tiga bulan sejak masa pandemi kami sudah mulai bekerja seperti biasa, meski tetap dengan protokol kesehatan. Masing-masing orang mengerjakan apa-apa saja yang harus dikerjakan dan update setiap dua minggu sekali. Akses publik di Rumah IVAA juga sudah dibuka, meski awalnya memang dengan sistem janjian. Tentu, rasa was-was tetap kami rasakan ketika bertemu tamu atau pengunjung perpustakaan. Kadang jadi parno, langsung reflek jaga jarak.
Jaga jarak saja tidak cukup kalau badan tidak benar-benar sehat. Oleh karena itu, kami mencoba berolahraga, yang ringan-ringan saja tapi cukup bikin berkeringat. Pingpong adalah pilihan yang tepat. Akhirnya kami membeli perlengkapannya, dari meja hingga bola. Beli di daerah Jalan Kaliurang setelah membanding-bandingkan dengan lapak-lapak lainnya. Harga miring, gratis ongkos kirim. Dan jadilah kami berolahraga di hampir setiap sore selepas bekerja. Untungnya ada area parkir depan yang bisa disulap jadi lapangan tenis meja.
Bicara soal pingpong, ternyata jenis olahraga ini masuk ke Indonesia pada sekitar 1930. Saat itu orang-orang Belanda yang mengenalkannya dengan memainkan tenis meja di balai-balai pertemuan. Hanya pribumi golongan pamong yang boleh ikut bermain. Untuk sekarang mungkin sudah lumrah kalau di setiap balai pertemuan itu ada meja pingpong untuk warga. Tapi secara profesional, warga Indonesia betul-betul ikut ajang pingpong ketika masuk era 1970-an. Pada 1973, Abdul Rojak mendapatkan peringkat 11 di ajang World Tennis Table. Selanjutnya muncul insan-insan berprestasi seperti Sugeng Utomo dan Anton Suseno. Tak ketinggalan Rossy Pratiwi Dipoyanti Syechabubakar yang berhasil menyabet 13 medali emas di ajang SEA GAMES pada 1990-an.
Bicara soal olahraga, IVAA punya satu arsip yang menarik. Sebuah pameran bertajuk Olympics yang digelar di The Pakubuwono Residence, Kebayoran Baru, Jakarta pada 20 Agustus-2 September 2004, dan diorganisir oleh Nadi Gallery, perupa Astari Rasjid dengan kurator Enin Supriyanto. Pameran ini dimaksudkan untuk merespon sebuah perhelatan di Athena, Yunani, yakni Olimpiade.
Wicaksono Adi dalam tulisannya yang berjudul “Melihat Seniman Belajar Olahraga”, mencatat bahwa di dalam pameran tersebut muncul tiga kelompok dengan kecenderungan respon yang berbeda. Kelompok pertama: para perupa yang melihat olahraga dalam bentuk wantahnya, sebagai teks yang mengacu pada sesuatu yang sensous dan stereotype dari kegiatan fisik dengan karya seni sebagai wadah penampungnya. Kelompok kedua: para perupa yang menautkan pertanda formal Olimpiade dengan konteks yang lebih luas, seperti gender, budaya pop, hingga seks dan tubuh. Kelompok ketiga: para perupa yang melihat seni dan olahraga sebagai hubungan teks dan meta-teks; dari yang subversif sampai memainkan bahasa. Intinya, Wicaksono Adi menggarisbawahi bahwa pameran ini berhasil memunculkan kesan bahwa seni dan olahraga ternyata tidak jauh-jauh amat.
Lalu, kalau soal arsip dan olahraga, dekat atau jauh? Biasanya ketika waktu sudah menunjukkan pukul 17.07 WIB, saya dan Mas Santosa menyiapkan tempat untuk bermain pingpong. Lalu satu per satu teman-teman lainnya keluar, menunggu giliran main sambil memberi semangat dan sesekali mengejek. Tak jarang, Master Pro aka Mas Santosa menjadi partner dan membantu teman-teman yang sedang belajar cara bermain. Suasana jadi menyenangkan. Dalam konteks ini saya tidak tahu apakah hubungan arsip dan olahraga itu dekat atau jauh. Yang jelas, dekat untuk para arsiparisnya. Dekat yang tidak muluk-muluk, tapi sehari-hari.
Olahraga itu mengajarkan bagaimana kita mengikuti aturan yang berlaku, mengajarkan kita rasa lega ketika menang, dan kecewa ketika kalah. Hal seperti ini juga kita temukan dalam kehidupan sehari-hari kita. Salam olahraga jaya!
Artikel ini merupakan rubrik Agenda Rumah IVAA dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Juli-Agustus 2020.