oleh Lisistrata Lusandiana
Pusparagam Pengarsipan bermula dari sebuah gagasan bahwa kita hidup di tengah keragaman budaya. Kerja pengarsipan juga merupakan bagian dari kebudayaan yang tidak bisa dipisahkan dari dinamika masyarakatnya. Selain itu, mengingat bahwa metodologi pengarsipan yang selama ini kita praktikan merupakan warisan dari kolonialisme, kita perlu memunculkan berbagai metode dan metodologi pengarsipan lain yang juga hidup di masyarakat kita. Hal ini kita lakukan sambil mempertanyakan ulang arah pengetahuan dan pengarsipan kita. Seberapa jauh arah pengetahuan kita membutuhkan arsip? Bagaimana kerja pengarsipan ketika dihadapkan pada berbagai persoalan sosial spesifik? Bagaimana kita mengaitkan kerja pengarsipan dengan upaya mencari demokrasi yang lain? Bagaimana agar gerakan pengarsipan senafas dengan perjuangan politik?
Dari pertanyaan-pertanyaan itulah akhirnya kita bertemu. Beberapa individu dengan beragam latar belakang; ada yang pekerjaannya sebagai pekerja kantoran, pengajar, penjual buku bekas, pemandu wisata, pembuat cinderamata dan mahasiswa. Latar sosialnya pun berbeda-beda, ada yang sehari-harinya tinggal di Flores Timur, Pare-pare, Surabaya, Padang Panjang, Rembang, Madura, Bandung hingga Jakarta. Keberadaan berbagai macam praktik yang dijalani dilakukan dengan bermacam-macam latar belakang. Ada yang melakukan kerja pengarsipan karena berawal dari hobi, ada yang mengarsipkan data-data murid atau anak didiknya, ada yang menggunakan arsip sebagai metode pengorganisasian, ada yang melakukan pengarsipan untuk menghidupkan medan sosial seni, ada yang menggunakan pengarsipan sebagai strategi untuk merebut kembali utopia yang telah direbut paksa oleh penguasa.
Pertemuan ini di satu sisi ingin membuktikan satu hal, bahwa keragaman praktik pengarsipan kita berserakan, tidak memiliki pola tunggal. Di sisi lain, kita juga perlu mengetengahkan keberagaman praktik tersebut untuk kita sadari dan rayakan bersama. Yang coba kami upayakan dari pertemuan tersebut adalah sebuah pertemuan produktif, yang memunculkan berbagai pengetahuan kritis, dalam konteks dekolonisasi kultural.
Ketika membicarakan soal bagaimana kebudayaan dihidupi, di sudut lain terdapat pembicaraan mengenai museum yang tidak bisa dilewatkan. Di antara upaya-upaya masyarakat yang telah tumbuh seiring sejalan dengan praktik sosial, ruang hidup dan kebudayaannya, terdapat keluhan dari para praktisi dan pegiat museum, yang dari tahun ke tahun mengeluhkan soal partisipasi masyarakat, atau melihat jarak yang terbentang antara masyarakat dan museum. Apakah transmisi pengetahuan dengan metode ‘white cube’ tradisi yang asing bagi sebagian besar masyarakat kita?
Selain itu, di tengah lahirnya berbagai produk regulasi yang bermasalah, kita semakin dibuat yakin untuk tidak begitu saja percaya pada penyelenggara negara. Di tengah keberadaan upaya mainstreaming kebudayaan, nampaknya juga terdapat agenda-agenda lain dari pusat yang tidak selalu tepat dengan kondisi akar rumput. Pekerjaan Rumah kita tentu saja masih banyak. Perjalanan untuk menebalkan keberagaman praktik pengarsipan ini juga masih jauh dari ujungnya. Kedepannya, kami akan melanjutkan perjalanan ini. Mempertemukan praktik pengarsipan dan produksi pengetahuan secara langsung di ruang dan waktu yang spesifik dengan persoalan yang lebih menukik.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Dokumentasi dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi November-Desember 2019.