Oleh Hardiwan Prayoga
Tercatat bahwa pemutaran film (dulu disebut gambar idoep) pertama di nusantara ada di Surabaya. Data ini diperoleh dari pamflet iklan film tahun 1896. Poster dan iklan film, dapat digunakan untuk melihat interseksi dunia seni visual mainstream dengan budaya pop. Selain itu, sekaligus gambaran singkat mengenai perkembangan selera penonton. Poster dan iklan film terus berkembang seiring berjalannya waktu. Tahun 1930an, iklan film menekankan pada jalan cerita. Bahasa yang dominan digunakan adalah bahasa melayu pasar. Didominasi oleh visual yang ramai dengan teknik kolase.
Film Indonesia mengalami fase mati suri pada awal hingga pertengahan 1940an. Pada masa ini didominasi film propaganda, hingga akhirnya tahun 1948, Darah dan Doa dinyatakan sebagai film nasional pertama. Memasuki 1950an, Indonesia memasuki masa produktif film nasional hingga terjadi persaingan yang ketat dengan film impor. Selebaran iklan koran, dan majalah sangat banyak digunakan kala itu. Setelah mengalami kelesuan tahun 1960an, film nasional kembali menggeliat pada 1970an. Pada masa ini poster dan iklan film masih menggunakan corak lukisan dan fotografi sederhana. Mulai hilang tulisan panjang mengenai jalan cerita, namun lebih ditekankan pada slogan dan gambar yang sensual dan emosional.
Akhirnya kini di era pasca reformasi, merespon keterbukan teknologi dan politik, memungkinkan film diproduksi secara gerilya, bahkan hingga tingkat distribusi. Iklan film kini terpusat pada trailer, dan poster mulai beralih dari cetak ke digital dengan berbagai macam versi. Catatan mengenai dinamika poster dan iklan film dapat dilihat melalui koleksi yang disumbangkan oleh Christopher Allen Woodrich, peneliti yang berdomisili di Yogyakarta. Koleksi digitalnya dapat diakses dengan datang ke Rumah IVAA.
Checklist Arsip Poster dan Iklan Film: https://bit.ly/2sKxNBV
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Arsip dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Mei-Juni 2018.