Judul : Wayang Potehi Gudo: Seni Pertunjukan Peranakan Tionghoa di Indonesia
Penulis : Dwi Woro Retno Mastuti
Penerbit : PT Sinar Harapan Persada
Tahun Terbit : 2014
Tempat Terbit : Jakarta
Halaman : 143
ISBN : 978-602-95696-8-1
Resensi oleh : Wahyu Siti Walimah
Wayang adalah salah satu seni pertunjukkan di Indonesia yang berkembang pesat di Jawa dan Bali. Pada 7 November UNESCO menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, yang merupakan warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur. Ada beragam jenis wayang menurut bahan pembuatannya. Ada wayang kulit, wayang kayu, wayang orang, wayang rumput, dan wayang motekar. Salah satu jenis wayang kayu yang tidak begitu dikenal adalah wayang potehi. Buku Wayang Potehi Gudo: Seni Pertunjukan Peranakan Tionghoa di Indonesia yang ditulis dalam dua bahasa ini, Indonesia dan Inggris, dapat menjadi pengantar mengenal wayang potehi dan singgungannya dengan Tionghoa.
Dwi Woro Retno Mastuti memberikan Pendahuluan yang dapat mengantarkan pembaca mengenal maksud dari judul buku ini. Ia menerangkan secara singkat perbedaan antara China, Cina, dan Tionghoa. Selanjutnya buku ini dibagi ke dalam sub bab seperti, Peranakan Tionghoa di Indonesia, Wayang Potehi, Kota Gudo dan Wayang Potehi, Seni Pertunjukkan Wayang Potehi, dan yang terakhir Penutup.
Topik awal yang ditulis adalah riwayat peranakan Tionghoa di Indonesia. Pada abad ke-17, suku Hokkian dari China berlayar ke arah Laut China Selatan hingga ke Jawa. Imigran China masuk ke pulau Jawa melalui pelabuhan-pelabuhan yang berada di pantai utara, kemudian menyebar ke daerah-daerah di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Lambat laun sebagian besar unsur-unsur budaya Tionghoa melebur dengan unsur-unsur budaya Jawa. Akulturasi budaya tersebut dapat diamati melalui unsur-unsur kebudayaan seperti bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, serta sistem religi dan kesenian. Proses akulturasi yang berlangsung lama telah menciptakan budaya baru yang berbeda antara budaya asal dengan interaksi masing-masing masyarakat tersebut. Budaya baru itu berkembang dengan perpaduan yang unik. Salah satu contoh produk budaya baru yang kemudian menjadi identitas masyarakat campuran itu adalah wayang potehi. Dua etnik yang bergabung tersebut masih menampilkan tanda yang dapat ditelusuri jejaknya, bahwa itu adalah bentuk yang berasal dari dua budaya China-Jawa.
Sejarah wayang potehi menjadi topik yang cukup banyak dibicarakan dalam buku ini. Wayang potehi telah ada di provinsi Hokkian sejak 3.000 tahun yang lalu. Istilah wayang potehi berasal dari kata poo 布 (kain), tay 袋 (kantong), dan hie 戯 (wayang) yang kemudian disebut sebagai boneka kantong. Wayang potehi juga bisa diartikan sebagai wayang boneka yang terbuat dari kain meski bahan untuk beberapa bagiannya terbuat dari kayu. Susunan wayang potehi terdiri dari kepala, tangan, kaki menggunakan sepatu, dan badan yang berupa kantong. Ukurannya sekitar 30 cm, lingkar kepala sebesar 5 cm dan memiliki lebar 15 cm jika dibentangkan. Pementasan wayang potehi dilakukan di sebuah panggung yang disebut paylow dengan ukuran 130 x 105 x 40 cm dan berwarna merah, lambang dari kebahagiaan.
Pada mulanya wayang potehi diciptakan untuk mengisi waktu luang para tahanan yang telah divonis mati. Dalam perjalanan waktu, fungsi hiburan tersebut berkembang menjadi fungsi ritual. Lakon yang dimainkan mengisahkan cerita kepahlawanan, sejarah, kerajaan, dan kehidupan para dewa. Sejak wayang potehi mengisahkan kehidupan para dewa, masyarakat Tiongkok beranggapan bahwa pertunjukkan wayang potehi merupakan sarana yang tepat untuk menyampaikan puji-pujian kepada para dewa dan juga segala hal yang berkaitan dengan para leluhur sesuai dengan ajaran Konghucu. Ungkapan rasa syukur atas keberhasilan yang diperoleh di bidang usaha, disampaikan melalui pertunjukkan wayang potehi. Mereka meyakini bahwa pementasan wayang potehi di halaman klenteng mendatangkan berkah dan rejeki yang melimpah untuk kehidupan mereka. Ketika wayang potehi dipentaskan di luar kelenteng, misalnya di taman hiburan atau di pesta, ia berubah fungsi menjadi media kritik sosial dan sarana penyampaian ajaran moral.
Dalam sub bab Kota Gudo dan Wayang Potehi, penulis menjabarkan sejarah Kota Gudo melalui penelitian yang mendalam dengan melibatkan berbagai sumber-sumber arsip pada masa Hindia-Belanda, cerita rakyat, dan sumber lain yang terkait dengan Gudo serta perkembangan wayang potehi di kota ini. Gudo merupakan kota yang cukup penting karena memiliki pabrik gula yang masih beroperasi sampai sekarang. Penduduk Kota Gudo terdiri dari keturunan Jawa dan Cina. Banyaknya penduduk keturunan Cina di Gudo membuat terbentuknya sebuah daerah pecinan di sana. Keberadaan pecinan tersebut lebih disebabkan oleh pabrik gula yang banyak mempekerjakan orang-orang Cina sebagai mekanik mesin pabrik. Daerah pecinan tersebut diberi nama Kampung Tukangan dan di sana terdapat Kelenteng Hong Sang Kiong.
Perkembangan wayang potehi di kota ini lebih maju apabila dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di Jawa. Sejak 1967 hingga 1998 wayang potehi tidak berkembang. Terkait dengan kebebasan berekspresi di bidang seni, ada dua faktor yang mempengaruhi perkembangannya yakni peristiwa politik Gerakan 30 September 1965 (G30S) dan Peraturan Pemerintah No 14/1967. Pada masa pemerintahan orde baru, kegiatan yang berbau Tionghoa dibatasi untuk tampil di masyarakat. Hal tersebut membuat wayang potehi tidak dapat diapresiasi secara intensif. Sebagai akibatnya, di kota-kota besar seperti Surakarta, Yogyakarta, dan Semarang jarang terdengar pertunjukkan wayang potehi, karena setiap pertunjukkan Wayang Potehi di kota besar memerlukan surat izin petugas keamanan tingkat kota. Di sisi lain, kondisi politik Kota Gudo lebih kondusif. Pertunjukkan wayang potehi tetap berlangsung secara intensif. Jumlah penduduk yang sedikit membuat warga Gudo saling mengenal satu sama lain dan hal itu menciptakan hubungan baik di antara pihak keamanan dan warga.
Buku Wayang Potehi Gudo: Seni Pertunjukan Peranakan Tionghoa di Gudo tidak hanya menyajikan sejarah proses akulturasi dua budaya. Penulis juga menyajikan tahapan pertunjukkan wayang potehi mulai dari pembacaan suluk/ doa pembuka pagelaran, kemudian jejer (babak penceritaan): tahap ketika dalang mulai memainkan wayang potehi, hingga pertunjukkan selesai. Penutupan pagelaran wayang potehi diakhiri dengan pembacaan suluk/ doa.
Artikel ini merupakan rubrik Sorotan Pustaka dalam Buletin IVAA Dwi Bulanan edisi Mei-Juni 2019.